Pembungkaman Kemerdekaan Pers, Juga Bagian Dari Kejahatan Kemanusiaan

Agus Dian Zakaria S.E

Akhir-akhir ini pers sedang berkabung, pasca kabar duka meninggalnya seorang jurnalis yang ditemukan tewas dengan luka tembakan di tubuhnya. Ialah Mara Shalem Harahap seorang wartawan asal Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang menambah daftar panjang kekerasan pada wartawan sejak berakhirnya orde baru.

Harus diakui, pasca berakhirnya orde baru kebebasan pers mulai mengalami kelonggaran, namun hal itu belum sepenuhnya memberikan kemerdekaan bagi buruh kuli tinta tersebut. Kekerasan, intimidasi bahkan pembunuhan kerap dialami jurnalis dalam beberapa dekade terakhir.

Dalam sejarahnya, denyut nadi kehidupan kebebasan pers telah mengalami beragam pergolakan yang sangat maha dasyat baik dari kalangan elite penguasa, pengusaha, hingga mafia. Teror premanisme sepertinya sudah menjadi bagian dari resiko kerja seorang jurnalis. Alhasil, kebebasan pers hingga kini belum sepenuhnya dapat dirasakan secara utuh oleh khalayak publik.
Mengingat, transparansi bukan hal yang menyenangkan bagi sebagian pelanggar setia. Oleh karenanya kekerasan bahkan penghilangan nyawa masih menjadi ancaman terbesar pekerja media.

Tewasnya Marshal atau Mara Shalem Harahap, menunjukan bahwa pers senantiasa dibawa bayang-bayang teror oleh para pelanggar sosial. Meski motif tewasnya Marshal belum diketahui, namun banyak spekulasi dan dugaan penembakan ini, masih memiliki hubungan dengan aktivitas jurnalistiknya.

Mari mengingat sebagian rentetan kekerasan bahkan pembunuhan yang pernah menimpah wartawan tanah air. Masih ingat dengan peristiwa tewasnya Fuad M Syafruddin alias Udin seorang
Jurnalis Harian Bernas Yogyakarta yang meninggal pada 16 Agustus 1996. Pembunuhan Udin diduga kuat lantaran kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul kala itu, seperti kasus korupsi dan bobroknya sistem pemerintahan. Adapun Herliyanto, seorang wartawan lepas Tabloid Delta Pos yang ditemukan tewas pada 29 April 2006 di hutan jati Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur yang belakangan diketahui berhubungan dengan aktivitas jurnalistiknya.

Selanjutnya, tewasnya AA Gede Bagus Narendra Prabangsa Jurnalis Radar Bali yang dibunuh pada 11 Februari 2009. Prabangsa dibuang ke laut dalam kondisi sekarat. Jasadnya ditemukan mengambang di Perairan Padang Bai, Karangasem, 16 Februari 2009. Adapun yang masih segar diingatan peristiwa penyekapan dan penganiayaan kepada jurnalis Majalah Tempo, Nurhadi di Surabaya pada 27 Maret 2021 lalu. Saat ini hal kekerasan kembali terjadi pada Mara Shalem Harahap seorang wartawan asal Kabupaten Simalungun, yang tewas setelah peluru tajam menembus pahanya.

Secara global, Committee to Protect Journalists ( CPJ ) mencatat di tahun 2020 saja, sedikitnya 30 wartawan tewas dibunuh selama bertugas. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 21 kasus pembunuhan tercatat sebagai tindakan balas dendam. Sebaliknya kasus kematian wartawan di medan perang menyusut ke angka terendah sejak 20 tahun terakhir.

Apapun alasannya, tentu kita sepakat tindakan Kekerasan bahkan penghilangan nyawa dalam penyelesaian perkara, sangat tidak dibenarkan. Apalagi, hal itu dilakukan guna menutupi kejahatan atau kesalahan yang dilakukan.

Kita semua tahu, sejak dibentuk kebebasan pers telah direstui khalayak publik dengan harapan terciptanya sistem kehidupan yang lurus dan transparan. Sehingga kebebasan pers dituangkan sebagai pilar demokrasi keempat sebagai institusi sosial yang tak pernah tidur.

Atas dasar itulah tidak ada alasan pembenaran apapun dan oleh siapapun dengan cara apapun melakukan pembiaran terjadinya tindakan kejahatan pada praktik pembungkaman terhadap kinerja pers.

Bagaimana aksi teror dikaitkan dengan kejahatan kemanusiaan?

Hingga hari ini, praktik pembungkaman pers masih dilakukan untuk menutupi informasi yang harus diketahui masyarakat. Sebagai masyarakat yang patuh menjalankan kebijakan negara, masyarakat berhak tahu segala petistiwa yang terjadi setiap harinya. Termasuk skandal di masyarakat yang terjadi di luar urusan pemerintah.

Dengan pembukaman yang pernah terjadi, membuat masyarakat tidak bisa sepenuhnya mengupdate informasi. Sehingga hal itu mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat untuk mengikuti perkembangan informasi terkini.

Di sisi lain, pembungkaman yang tak jarang berujung pada kekerasan hingga pembunuhan juga merampas hak jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Belum lagi hak hidupnya, jika ia gugur saat menjalankan rutinitasnya. Hak-hak itu akan terampas bersama ribuan bahkan jutaan hak masyarakat yang menantikan asupan karya ilmiahnya.

Mari melihat dari sudut pandang lain, semisal dalam sebuah kasus aktivitas pembangunan infrastruktur, terdapat kecurangan dalam proses pengerjaannya. Bila saja hal itu tidak pernah terpublish dan itu mengakibatkan rusaknya infrastruktur saat digunakan, hingga mengorbankan nyawa, maka pers baru saja gagal dalam mencegah hilangnya nyawa manusia.

Hingga saat ini berapa banyak nyawa yang hilang dari pembungkaman informasi. Berapa banyak masyarakat yang merenggang nyawa karena bencana alam, dari pembalakan liar yang tidak diberitakan. Berapa banyak warga yang tengelam di lautan karena penyelewengan aturan yang tak diberitakan. Apakah pembungkaman informasi tersebut tidak termasuk kejahatan kemanusiaan.

Jika belum terpikir, Bagaimana bila korban dari salah satu peristiwa di atas adalah keluarga atau kerabat kita. Atau bagaimana yang menjadi korban keselamatan manusia adalah kita sendiri. Apakah kita masih tidak sepakat bahwa pembungkaman informasi bukan bagian dari kejahatan kemanusiaan.

Tanpa disadari, kontribusi pers dalam pencegahan dan memberikan pelajaran untuk meminimalisir terjadinya hal yang tidak diinginkan, cukup besar. Meski tidak dipungkiri, masih ada pers yang memanfaatkan identitasnya untuk kepentingan pribadi dan bertentangan kepada kaidah jurnalistik.

Namun sebagai pilar demokrasi, pers harus selalu hidup dan berada di sudut mana saja dalam sendi sosial pemerintah dan masyarakat. Agar saya, kamu, anda, kita, kalian dan mereka tetap fokus dalam bekerja dalam menjalankan amanah yang digariskan oleh Tuhan.

Sejatinya, pembukaman pers memang tidak selalu tindakan pembunuhan secara langsung, namun pembungkaman pers adalah bibit hilangnya banyak nyawa di masa depan atas tindakan kejahatan yang tidak pernah tersiarkan. (*)

Oleh : Agus Dian Zakaria S.E

Jurnalis dan Pegiat Literasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here