BANK Indonesia mengkampanyekan “belanja bijak” selama Ramadhan guna mengendalikan inflasi. Sebagai nara sumber dari MUI dan berbicara ditengah komunitas umat Islam, saya mengusulkan istilah “belanja syar’i”.
Belanja syar’i atau belanja syariah atau belanja yang islami maksudnya adalah berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan selalu memperhatikan tuntunan syariat Islam.
Devinisi konsumsi atau belanja menurut ahli ekonomi adalah menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Namun menurut ekonom Islam, redaksinya dilengkapi dengan kata secara halalan thoyyiban.
Untuk kriteria halal saya kira sudah sangat jelas pengertiannya. Sedangkan tentang thoyyiban cakupannya sangat luas dan fleksibel. Dalam literatur fiqih ekonomi Umar Bin Khattab diuraikan beberapa kriteria thoyyiban yang intisarinya adalah sebagai berikut :
Belanja kebutuhan yang layak atau mendasar;
Konsumsi bagi seorang muslim hakikatnya adalah untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia yang diciptakan Allah agar tetap bisa beribadah menghambakan diri kepada-Nya (QS. Adz Dzariyat : 56). Untuk itu setiap muslim harus menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidupnya termasuk pada saat ia berbelanja harus meyakini apakah yang dilakukannya itu diridhai Allah atau tidak.
Tidak mubazir dan tidak mendatangkan mudharat/ kesia-siaan;
Berbelanja memenuhi kebutuhan hidup bukan saja harus memenuhi azas manfaat, tapi juga tidak boleh mubazir dan mendatangkan mudharat bagi dirinya dan orang lain. Allah swt berfirman : “Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang (QS. Muhammad : 12). Perhatikanlah bagaimana pola makan binatang yang menghalalkan segala cara, rakus, serakah, mengutamakan kesenangan belaka dan tidak mempedulikan dampak buruk bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kikir/ pelit (QS. Al Furqan : 67);
Berbelanja harus sesuai kebutuhan bukan untuk mengikuti keinginan. Harus terukur menurut keperluan yang dibutuhkannya. Dari sini islam menghindarkan seseorang agar tidak melakukan panic buying dan penimbunan barang yang dalam hadits Rasulullah riwayat Imam Muslim dikatakan bahwa perbuatan seperti itu hukumnya adalah berdosa.
Berkesusaian antara belanja dan kemampuan pendapatan;
Seorang muslim harus cermat dalam mengukur kemampuannya. Sehingga ia tidak akan berbelanja yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Pola hidup yang konsumtif dapat menjebak seorang muslim dalam posisi “besar pasak daripada tiang” yang pada akhirnya akan menyengsarakan kehidupannya dalam jeratan utang. Allah melarang hambanya menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan (QS. Al Baqarah : 195).
Memperhatikan skala prioritas;
Muslim yang bijak akan cermat dalam berbelanja dengan memperhatikan kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Dalam kebutuhan dan kepentingan yang sama, tetap harus memperhatikan mana yang harus lebih dulu diutamakan, mana yang kemudian dan mana yang bisa ditinggalkan. Dalam kontek ini akan memungkinkan seorang muslim hidup dalam kesederhanaan, sedangkan kesederhanaan itu adalah hal yang sangat baik dalam agama. Sayidina Umar Bin Khattab pernah berkata,”Hendaklah kamu sederhana dalam makananmu, karena sesungguhnya kesederhanaan itu lebih dekat kepada kebaikan, lebih jauh dari pemborosan dan lebih menguatkan dalam beribadah kepada Allah swt.”
Ada aspek sosial. Banyak ayat dan hadits yang mendorong seorang muslim untuk hidup bukan hanya mementingkan dirinya sendiri. Berbagi dan peduli kepada orang lain melalui konsep zakat, infaq dan sedekah menanamkan prinsif kepada setiap muslim bahwa dalam hartanya ada hak orang lain (QS. Adz Dzariyat : 19). Rasulullah bersabda,”Tidak beriman seseorang yang perutnya kenyang sementara tetangganya lapar (HR. At-Thabarani).” Sehingga muslim yang baik tidak akan membelanjakan hartanya hanya untuk dirinya sendiri. (*)