Oleh: H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)
KAWAN saya bilang: media cetak sudah tidak laku, lantaran serbuan media sosial (medsos). Saya bilang, mungkin itu salah satunya. Tetapi, penyebab utama ada pada pemegang kebijakan redaksi di masing-masing media cetak.
“Maksud Anda”? “Begini,” kata saya. Kalau media cetak kurang diminati masyarakat, itu karena contentnya sama dengan medsos. Media sosial memang cenderung tidak tuntas. Mengapa? Karena mereka cuma butuh kecepatan, bukan ketuntasan.
Medsos memberitakan sebuah peristiwa dan melengkapinya hanya dengan 3W: What, Where, dan When. (Apa?, Di mana?, dan Kapan?). Sementara 2W + 1H sisanya nyaris diabaikan: Who, Whay, dan Haw, (Siapa, Kenapa, dan Bagaimana). Tiga pertanyaan dasar ini sangat penting bagi setiap media sebagai pelengkap.
Media cetak punya waktu kurang lebih 12 jam (baru terbit). Jeda waktu selama itu cukup untuk digunakan melengkapi informasi dengan melakukan penelusuran atau investigasi serta mewawancai berbagai sumber yang dianggap punya kompetensi untuk itu.
Namun, bila media (mainstream) hanya dikelola layaknya media sosial, memang tidak mungkin laku. Tidak mungkin ada yang mau baca. Beritanya dianggap tidak valid, terlebih lagi jika sumbernya berasal dari orang-orang yang bukan ahli. Pembaca sulit menjadikan media itu sebagai referensi.
Untuk membangkitkan kembali trust pembaca terhadap media cetak, dibutuhkan upaya. Yakni, upaya mengembalikan persepsi negatif masyarakat yang belakangan menganggap pers hanya sebagai corong pemerintah. Untuk hal ini, pers harus kembali ke ‘khitah’. Kembali ke Undang-Undang No.40 tahun 1999, tentang Pers.
Konstitusi telah memberikan kepada pers FUNGSI dan PERAN. Di pasal 3 ayat (1) disebutkan: Pers Nasional sebagai alat Kontrol Sosial. Untuk mewujudkan fungsi kontrol sosial itu, Undang-Undang Pers memberi 5 peran sekaligus. Salah satunya di pasal 6 huruf (d): “pers nasional berperan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”.
Pertanyaannya: “apakah semua media (belakangan ini) benar-benar sudah menjadi alat kontrol jalannya pemerintahan? Apakah media sudah melakukan pengawasan, kritik, dan saran terhadap pemerintah? Atau sekadar menunaikan tugas jurnalistik semata? Jika itu jawabannya, maka tidak perlu menjadi wartawan profesional.
Esensi jurnalis sesungguhnya adalah, “memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui” (Pasal 6 huruf (a). Artinya, publik berhak mengetahui dari pers tentang plus-minusnya kinerja pemerintah.
Di era virus corona misalnya. Tidak satu pun media yang melakukan penelusuran atau investigasi untuk menjawab keluhan masyarakat mengenai biaya Rapid Test yang dianggap terlalu memberatkan. Bahkan belum ada media memberikan informasi tentang sisi lain dari virus corona selain yang resmi dari pemerintah.
Di tengah kesimpang-siuran informasi, pers harusnya tampil sebagai dewan juri. Dewan juri yang jujur melihat suatu persoalan sosial, politik dan ekonomi melalui fungsi dan perannya tadi. Masyarakat butuh informasi lain selain dari penguasa sebagai bahan perimbangan dan perbandingan.
Tak hanya sebatas virus corona. Pekan lalu, misalnya. Saya bertemu seorang teman yang pengusaha. Ia banyak bertutur soal kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat justru di tengah pandemik covid-19.
Ia katakan, harga kebutuhan pokok masyarakat seharusnya turun, menyusul turunnya harga bahan bakar minyak dunia. Andai harga kebutuhan pokok mengikuti barga BBM, masyarakat tidak akan terbebani kesulitan ekonomi.
Ia jelaskan, harga bahan bakar minyak dunia per Maret 2020 berada pada kisaran USD 40/barel atau kurang lebih Rp 560.000/barel. (1 barel = 158,97 liter) Harga solar misalnya. Kawan ini mengaku membeli langsung ke perusahaan minyak dengan harga Rp.4.356 per liter termasuk PPn 10 persen. Sementara, harga solar di sejumlah SPBU seluruh Indonesia masih bercokol di posisi Rp.5.150 per liter.
“Wartawan mestinya tulis dong, kenapa BBM tidak turun sehingga harga-harga kebutuhan pokok melonjak,” katanya menyindir – mengira saya wartawan yang masih aktif. Inilah sekelumit penjelasan saya pada kawan, dan obrolan saya dengan teman (**)