SAYA pernah ngotot ngototan dengan kawan saya. Soal “politik uang”. Bahasa kerennya money political. Kawan saya bilang begini: “seorang tokoh yang berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil rakyat, ia harus punya banyak uang. Kalau tidak, lebihbaik mundur”.
Saya bantah. “Uang bukan segalanya. Kalausang tokoh memang popular, dikenal jujur, cerdas dan amanah, pastilah dipilih rakyat. Tidak harus punya uang banyak,” kata saya.
“Harusnya memang begitu. Tetapi, untuk zaman sekarang, praktiknya tidak demikian. Tidak cukup hanya dengan modal popular, dan cerdas saja, tapi juga harus punya uang,” tegasnya.
Kawan saya lantas menyebut beberapa contoh pejabat daerah dan wakil rakyat yang terpilih, bukan semata- mata karena kejujurannya, popularitasnya atau elektabilitasnya, melainkan karena uangnya
Artinya, kata kawan saya, mereka yang berniat menjadi calon kepala daerah atau anggota dewan harus siap secara finansial. “Kalau ‘berangkat’ hanya dengan modal popularitas dan cerdas, itu mustahil,” ulangnya.
Pelibatan uang dalam pilkada memang bukan rahasia lagi. Di level akar rumput (grass root level) termasuk yang paling banyak merasakan ‘sedekah’ 5 tahunan itu. Saya lantas bertanya sendiri. “Apa iya, uangadalah segalanya? “Apa benar, seorang tokoh terkenal dan berkualitas dapat dikalahkan oleh sosok yang hanya mengandalkan setumpuk uang”?
Pertanyaan itu terus mengusik. Lalu saya coba mencari tahu sejauhmana “kesaktian” uang dalam politik. Ternyata memang benar. Dari belasannorang yang saya ajak obrol, sebagian besar meyakini, uang merupakan semiotik dalam pranata sosial dan politik.
Uang dapat menentukan segala arah. Termasuk arah politik. Bahkan yang lebih ekstrem uang bisa mengubah orang bodoh menjadi terlihat seperti orang pintar. Pengakuan mereka tentang kesaktian fulus, memang tidak merepresentasi seluruh masyarakat. Namun kita patut prihatin mendengar hal itu.
Uang memang dibutuhkan. Tapi uang bukan untuk segalanya. Uang hanyalah kertas yang sesungguhnya tidak punya nilai apa-apa. Uang/menjadi/bernilai karena dinilai. Dan yang menilai menjadi bernilai adalah manusia.
Mana mungkin uang bisanmengubah sistem. Namun secara empiris begitulah adanya. Uang merupakan provokator paling hebat. Karena itu menjadi amunisi yang sangat efektif dalam perang politik praktis: pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota hingga wakil-wakil rakyat.
Karena peran uang, sistem menjadi kadang tidak berfungsi. Jika uang dibiarkan terus membungkam kecerdasan dan kejujuran penguasa, maka boleh jadi semua produk pemerintah yang berkaitan dengan regulasi tidak akan mampu berjalan sesuai harapan.
Tentu, kita tidak ingin penguasa diperdaya oleh uang. Dalam situasi di mana uang sebagai raja, para politisi harusnya tampil sebagai lokomotif pembaharuan politik. Dari politik ‘isi tas’ ke politik berkualitas. Dengan demikian, pemimpin pilihan rakyat pasti orang hebat. (**)