Menjelang Kongres XXV PWI di Bandung, Ayo Kita Jauhkan PWI dari Masa Gelap

Catatan: Zulnadi

Zulnadi (Foto:IST)

BELUM pernah ada masa di dalam kepengurusan di PWI Pusat segelap sekarang. Masuk akal apabila tiga kandidat Ketum Umum sepakat untuk lakukan perubahan, siapapun dari ketiga kandidat itu yang terpilih. Tiga kandidat itu kita sudah tahu : Hendry Bangun, Zulmansyah Sakedang, dan Akhmad Munir.

Dalam tulisan minggu lalu saya menggunakan metafora ‘habis gelap terbitlah terang’ bagi PWI. Dalam tulisan sekarang pun saya menggunakan frasa gelap.

Masa gelap? Iya.

Era gelap ini bahkan tidak terjadi di era PWI Pusat dipimpin dua tokoh PKI, Djawoto ( pada akhir tahun 50 an ) dan Karim DP (1963-1965).

Ketum PWI PWI periode 2018-2023, Atal S Depari. Dia terpilih jadi Ketum PWI dalam Kongres XXIV di Solo (2018). Ia menang tipis, hanya dua suara, atas Hendry Bangun.
Pada Kongres PWI XXV mendatang yang rencananya digelar akhir September di Bandung, Atal bermaksud mau lanjut menjabat periode kedua.

Bisakah itu terwujud?

Jejak digital kepengurusan Atal yang lalu dicatat tidaklah amat baik- baik saja jika tak mau disebut amat buruk. Tatanan organisasi berjumpalitan dibuatnya. Sulit diterima akal sehat kalau dia mengklaim diri sebagai tokoh pers, wartawan senior dan berpengalaman mengurus organisasi dengan hasil seperti sekarang.

Separuh cabang yang mengalami penggantian pengurus diwarnai pergolakan. Menimbulkan masalah. Alhasil tiap cabang itu terpecah menjadi dua kubu.
Itu terjadi karena Atal sulit berlaku tegas mengatur antara kepentingan pribadi dengan organisasi. Ia lebih butuh “setoran” balas budi cabang- cabang agar mendukung dia di Kongres Bandung nantinya.

Maka, itu Atal akan selalu berada di sisi gelap : mengorbankan kepentingan organisasi demi melanggengkan “perkoncoan”. Jangan pernah berharap pada Atal ada perkoncoan intelektual. Jauh dari itu wilayahnya.

Berkat Atal, PWI Sumbar melenggang dipimpin seorang PNS dengan masa jabatan tiga kali. Padahal itu sesuatu yang tidak diperkenankan oleh aturan organisasi namun boleh cincai dengan Atal yang juga melabrak SK PWI Pusat nomor 360-PLP/PP-PWI-2022 tanggal 12 Agustus 2022.
Dalam SK tersebut pada diktum a menyatakan belum akan melantik Pengurus PWI Sumbar sampai SK berhenti/pensiun Basril Basyar terbit dari BKN pusat.
Diketahui bahwa SK PLT Ketua PWI Sumbar hanya berlaku selama 6 bulan dan berakhir 12 Januari 2023 maka dibuat skenerio, Ketua terpilih melayangkan surat ke PWI pusat agar dia dilantik. Jika tidak Basril Basyar akan menempuh jalur hukum menuntut PWI Pusat.


Entah takut dengan ancaman Basril, maka Atal segera mengeluarkan SK Pengurus sekalian menjadwalkan pelantikan 15 Januari 2023. Maka resmilah Basril Basyar yang ASN Unand itu menjabat Ketua, meskipun DK menyatakan bahwa SK PWI pusat tidak sah. Unligitimete!

Dari seluruh Ketum PWI sejak reformasi, tampaknya Atal satu- satunya yang kurang beruntung. Maka itu ia bekerja ekstra, terpaksa bekerja keras, memaksakan kehendak. Tanpa sadar Atal telah melumuri sejarah dan tangannya dengan jejak hitam.


Berbeda dengan pendahulunya, karena prestasi baik, Tarman Azzam maupun Margiono, menjadi Ketum dua priode dengan mulus. Dan, kebetulan pada priode keduanya masing-masing terpilih secara aklamasi. Kedua mendiang selalu akan dikenang. Legacynya menginspirasi.

Bagaimana dengan Atal? Inilah yang menjadi topik ulasan. Minggu ini tersingkap lagi jejak digitalnya yang tak sengaja bocor dan menjadi pergunjingan dan olok-olok komunitas wartawan di beberapa daerah.
Atal membentuk perangkat panitia Kongres PWI di Bandung dengan memilih sendiri orang-orangnya. Persis seperti itu hanya panitia acara perkawinan yang Atal lah menjadi pengantinnya.

Sebelum ini, bocor juga sebuah proposal yang menjelaskan secara detil strategi pemenangan Atal yang ditawarkan kepada beberapa pihak. Orang yang disebut banyak menginspirasi Atal adalah Zulkifli Gani Otto ( Zugito ).

Zugito anggota pengurus yang dikenakan skorsing oleh DK -PWI Pusat tahun lalu. Oleh Atal ia diangkat menjadi Ketua Tim Penyempurnaan PD/PRT. Dalam SK berbeda, terbuat bulan Juni, ia juga diangkat menjadi Ketua Pengarah Kongres. Perangkapan jabatan itu seakan terjadi kebangkrutan sumber daya di PWI.

Hilangnya Gedung Kantor PWI Sulsel yang bersejarah tidak terlepas dari diduga perbuatan Zugito itu. Kuat dugaan Zugito lah
yang menyewa-nyewakan asset Pemprov Sulsel tanpa izin apalagi menyetor hasil persewaannya ke kas daerah. Zugito melakukan itu di masa dia Ketua PWI Sulsel dua priode. Lalu, setelah menjadi Ketua DKD PWI Sulsel, dia “memperalat” PWI Sulsel untuk menggugat Pemprov Sulsel atas kepemilikan gedung kantor PWI Sulsel di PN Makassar. Soal gedung PWI Sulsel telah ditulis panjang oleh rekan kita UPA tinggal klik( https://makassarpena.com/2023/07/28/siapa-yang-menyewakan-gedung-pwi-sulsel-hingga-disegel/)

Gugatan itu kemudian dimenangkan oleh Pemprov Sulsel. Adapun Zugito
salah membaca putusan PN yang dikira PWI Sulsel yang menang. Sehingga tidak naik banding maupun kasasi. Kemenangan Pemprov Sulsel telah berkekuatan hukum tetap. Gugatan itu membuat Pemprov Sulsel punya dasar hukum yang baru untuk mengambil gedungnya. Kabar terakhir, seperti orang sudah lupa pada sejarah kantor PWI Sulsel, Zugito dan Atal mau membuat sejarah baru. Keduanya, berencana meresmikan sebuah bangunan ruko di pinggiran kota Makassar sebagai kantor baru PWI. Seakan- akan itu prestasi.

Padahal, itu adalah bukti senyata- nyatanya masa gelap PWI di bawah Atal. Ruko seluas 300 m2 itulah ganti dari gedung PWI semula di atas lahan 3200 m2 di lokasi strategis kota Makassar. Inilah sebuah
masa yang tidak pernah terjadi di PWI sebelumnya. Don’t forget!!!

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here