Komisi Informasi Kaltara Buka-bukaan Soal Gaduh-gaduh Ijazah Palsu di Kaltara

KAYANTARA.COM, TARAKAN – Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) tengah memperjuangkan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberikan kewenangan untuk memverifikasi ijazah calon legislatif dan kepala daerah secara administratif yang dalam arti menyeluruh, mulai dari ijazah SD hingga ijazah terakhir.

Langkah ini diharapkan dapat menutup celah penyalahgunaan dokumen dan mencegah terjadinya Pemungutan Suara Ulang (PSU) akibat maraknya dugaan ijazah palsu seperti yang terjadi di Kaltara.

Saat menjadi narasumber di acara sosialisasi keterbukaan informasi Pemilu dan wawancara kepada awak media, Selasa (22/7/2025), Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari, menyebut pembahasan soal akses verifikasi ijazah oleh Bawaslu sedang berlangsung di tingkat pusat. Ia menilai, regulasi saat ini terlalu membatasi ruang gerak pengawasan karena alasan perlindungan data pribadi yang memang juga dipayungi regulasi.

“Terkhusus untuk ijazah, ini sedang kita bahas bersama di pusat agar Bawaslu diberikan akses memverifikasi secara administratif, mulai dari ijazah SD, SMP, hingga SMA yang berkaitan dengan kelayakan calon,” ujar Fajar, Kamis (24/7/2025).

Fajar menyoroti pentingnya keterbukaan ini bagi masyarakat sebagai pemilih. Ia menilai, publik berhak mengetahui latar belakang pendidikan para calon wakil rakyat, pasalnya mereka yang merumuskan produk-produk kebijakan publik, sehingga negara harus benar-benar menjamin standar kelayakan calon, apakah benar-benar pernah sekolah, ijazahnya diperoleh secara benar atau tidak.

Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi ijazah yang asli palsu, yaitu ijazah yang kepalsuannya asli. Dan mengantisipasi ijazah asli tapi palsu (Aspal), yaitu ijazah yang memang asli, tapi prosesnya yang palsu.

“Bayangkan kalau ternyata semua jenjang pendidikan calon itu cuma dari sekolah paket, dari A, B, hingga C. Sebab yang dipakai mendaftar ‘kan ijazah terakhirnya. Semisal paket C, Itu memang sah menurut aturan, tapi kasihan masyarakat kalau mereka tidak tahu ijazah SD dan SMP nya yang barangkali juga paket A dan B. Syukur-syukur kalau ijazah paket C nya asli, bagaimana kalau ya paket ya palsu?, dan kalaupun asli, bagaimana seandainya ijazah SD atau SMP nya yang palsu, maka otomatis ijazah terakhirnya itu batal demi hukum,” ungkapnya.

Menurutnya, akses verifikasi tidak hanya penting dari sisi administratif, tapi juga demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Fajar menegaskan, keterbukaan informasi adalah kunci mencegah konflik hukum yang berujung PSU.

“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, harus ada pengecualian bagi Bawaslu agar bisa mengakses data ini secara terbatas dan bertanggung jawab. Semakin banyak yang mengawasi, maka resiko tingkat pelanggaran akan semakin terminimilasir,” ujarnya.

KI Kaltara, lanjut Fajar, telah aktif mengawal transparansi Pemilu sejak 2024. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi oleh KPU dan Bawaslu.

“Ini adalah langkah awal kami dalam mendampingi transparansi Pemilu, baik itu Pileg, maupun Pilkada. KI menaruh harapan besar agar seluruh tahapan Pemilu harus terbuka dan bisa diakses publik, termasuk regulasi yang mengaturnya,” ucapnya.

Fajar juga mendorong kolaborasi erat antara KPU, Bawaslu, dan KI untuk menciptakan Pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel. Ia berharap jurnalis dan masyarakat ikut berperan aktif mengawal keterbukaan informasi demi menjaga integritas proses demokrasi di daerah.

Cek fisik dan cek administrasi berkas itu harus sungguh-sungguh ‘diplototin’. Setiap calon ini kan pasti punya riwayat hidup. Jadi, ibarat beli mobil bekas, jangan cuma cek surat-suratnya saja. Tapi perlu dicek bodi, kerangka mesin apakah sudah sesuai surat, dan lainnya. Sebaliknya jangan cuma cek fisik saja, tapi administrasinya secara keseluruhan itu juga harus sesuai dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Seyogianya pada saat para kader partai mendaftarkan dirinya untuk menjadi calon pejabat publik, maka ada konsekuensi logis untuk jenjang pendidikannya bisa dikonsumsi publik, agar pemilih tahu seberapa pantas dirinya untuk dipilih rakyat. Kalau bersih, kenapa harus risih?, ujar Fajar.

Pemilu ini kan melibatkan partisipasi rakyat sebagai pemilihnya, yang bahkan tidak lepas melibatkan masyarakat dengan SDM paling rendah sebagai pemilih. Hal ini terjadi sejak reformasi lahir dari rahim seorang laki-laki bernama Amien Rais.

Sementara kalau mau jujur, Partai mendaftakan para calonnya lebih kepada berdasarkan kuantitasnya, bukan kualitasnya. Lebih mementingkan peluang keterpilihan setiap calonnya, dengan tolok ukur siapa yang dianggap punya kemampuan financial penunjang, tokoh masyarakat, punya keluarga besar.

Tapi di antaranya ada yang abai dan lupa bahwa modal kaya saja tidak cukup untuk memperbaiki sistem. Dan di daerah pedalaman, sudah bisa jadi tokoh masyarakat hanya modal dituakan, atau karena banyak keluarganya di kampung, dan alasan subjektif lainnya.

“Tujuan Pemilu akhirnya hanya berorientasi pada kepentingan Partai tertentu. Pemilu hanya dijadikan topeng, seolah menjadikan rakyat sudah berdaulat. Demokrasi hanya kamuflase untuk menguntungkan segelintir kelompok rakyat, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Sejatinya semangat tujuan Pemilu ini ‘kan untuk mengusung kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan Partai tertentu. Demokrasi itu tidak egois. Rakyat menjadi korban atas nama demokrasi, dan alhasil wakil rakyat hanya didominasi orang-orang yang tidak kompeten,” terangnya.

Dijelaskannya, memang negara memberikan ruang, membuka kesempatan bagi mereka yang putus sekolah atau tidak lulus melalui program paket. Tapi hal itu harusnya dimaknai bahwa semisal ijazahnya paket B, maka ia mestinya mengambil sekolah normal SMA selama 3 tahun, bukan ambil paket C lagi. Atau jika ijazahnya paket C, maka mestinya ia kuliah normal untuk mengambil strata satunya. Kemudian, ijazah terakhir melalui pendidikan normal itulah yang digunakan untuk mendaftar. “Idealnya ‘kan harusnya seperti itu,” papar Fajar.

Fajar juga menjelaskan bahwa fenomena ini kemudian membangun sebuah mindset, buat apa sekolah dan pendidikan tinggi, kalau perlu tidak perlu sekolah, cukup ambil paket A, B, dan C. Toh juga sudah bisa jadi pejabat. Padahal Pemilu harusnya menjadi salah satu ajang edukasi, bukan ajang pembunuhan mental.

“Ini ‘kan bukan soal siapa yang jenjang pendidikannya paling tinggi, tapi ini soal keterbukaan informasi kepada rakyat bahwa apakah calon pejabat yang bakal membuat produk kebijakan pernah sekolah atau tidak, ijazahnya asli atau tidak,” ucapnya.

“Ini ‘kan bukan soal siapa yang jenjang pendidikannya paling tinggi, tapi ini soal keterbukaan informasi kepada rakyat bahwa apakah calon pejabat yang bakal membuat produk kebijakan pernah sekolah atau tidak, ijazahnya asli atau tidak. Tidak apa-apa staf DPRD nya ijazah S-1, S-2, atau bahkan Doktor, sementara anggota DPRD nya ijazah paket C, tapi setidaknya ijazahnya asli,” ucapnya.

Lanjut Fajar menjelaskan, karena memang bukan jaminan juga jika kemampuan seseorang itu harus diukur dari seberapa tinggi jenjang pendidikannya.

“Kita harus akui juga bahwa tidak sedikit yang lulusan bukan sarjana, tapi mereka punya kemampuan yang lebih baik bahkan melebihi yang cuma menang kantongi ijazah sarjana doang,” lanjutnya lagi.

Dikatakannya, tetapi itu tidak mewakili secara keseluruhan, karena tidak adanya standar syarat yang memadai. Paling tidak ada standarnya, minimal ijazahnya asli semua.

“Agar tidak ada lagi pertanyaan ini apa-apaan?, demokrasi macam apa ini?, kalau anda semuanya mau jadi pejabat, caranya adalah jadi wakil rakyat saja, toh dengan syarat yang gampang, tidak perlu sekolah, cukup ambil paket A, B, dan C,” tutup Fajar. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here