Oleh: H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)
KEDAI kopi itu masih sepi. Baru tiga orang terlihat duduk di bangku panjang. Agak berjauhan. Sepertinya mereka jaga jarak sesuai perintah tuan corona. Saya memilih meja di sudut ruang belakang kedai itu. Tak lama, seorang pelayan wanita datang. Dia menyedorkan menu. Pelayannya sangat ramah.
“Bapak minumnya apa,”tanyanya. “Minumnya air,” jawab saya spontan. Seorang di samping saya ngakak. “Loo, kok minum air sih?” balas pelayan. “Di sini ada kopi. Ada teh. Jus, dan lain-lain. Bapak pilih yang mana?”. “Naah,” kataku. Kalau kedai mbak menyediakan aneka minuman, harusnya mbak tanya begini: “Bapak (mau) minum apa?”
Tapi sudahlah. Tak usah dibahas. Pertanyaan mbak itu standar. Saya paham maksudnya. Mereka yang ke luar-masuk kedai kopi juga ngerti pertanyaan itu. Cuma, kebetulan, saya lagi latihan ngeles – tradisi para politisi ketika menjawab pertanyaan rakyat yang tidak puas terhadap kinerja mereka.
Kalau tak ada halangan, tahun ini pemerintah kembali menggelar pesta demokrasi: pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Saya menyebutnya demokrasi ‘kawin’ massal. Demokrasi dengan ‘kursi pelaminan’ hingga miliaran rupiah. Jika tak mampu membeli kursi, calon ‘pengantin’ pasti tak jadi dikawinkan. Tak boleh ikut pesta.
Di tahap proses jual-beli kursi inilah yang paling melelahkan. Paling menegangkan. Dan paling memprihatinkan. Mengapa melelahkan? Karena pasangan calon harus bolak-balik ke Jakarta beberapa kali sekadar melobi pemilik kursi agar kursinya bisa jadi tempat duduk pelaminan.
Mengapa menegangkan? Lantaran belum tentu sang pemilik kursi mau menjualnya murah. Sementara pasangan pengantin lainnya menawar dengan harga yang lebih mahal. “Lalu kenapa ”memprihatinkan?”. Sebab, hak-haknya sebagai warga negara dikebiri. Mereka yang punya kompetensi untuk memimpin daerahnya terpaksa jadi penonton lantaran tidak cukup uang untuk itu.
Bukan tidak mungkin, ke depan hanya orang-orang yang punya uang yang bisa jadi kepala daerah. Ini riskan bagi jalannya proses demokrasi. Sebetulnya, sistem politik model ini sudah bagus. Sebab, melalui pemilu langsung, hak demokrasi masyarakat tersalurkan. Mereka memilih wakilnya yang akan duduk eksekutif dan legislatif tanpa harus diwakili seperti sistem politik era orde baru.
Hanya saja, secara proses, sistem pilihan langsung punya kelemahan. Contoh, seorang tokoh yang punya kompetensi, ingin bertarung di Pilkada (gubernur), misalnya. Ia ‘disunnahkan’ punya uang hingga ratusan miliar. Untuk posisi wakil puluhan miliar.
Ini bukan rahasia lagi. Masyarakat tahu itu. Bahkan mantan calon kepala daerah pernah cerita. Ia dan pasangannya terpaksa gagal maju lantaran tak mampu membeli kursi. Ini yang dulu disebut mahar alias politik transaksional. Kelemahan lainnya, kepala daerah yang terpilih, secara legalitas memang kuat. Tetapi, secara politis, Ia berpotensi tersandera oleh kepentingan eksternal, baik dari partai pengusung, maupun pendukung.
Sang kepala daerah kadang ragu melaksanakan eksekusi. Kebijakannya tak jarang diintervensi. Hingga mengabaikan kepentingan publik. Dari sudut pandang sekuriti, juga rawan. Sebab, kampanye terbuka yang digelar setiap pasangan calon berpotensi menimbulkan friksi yang tidak sehat di antara pendukung yang berseberangan. Proses politik itulah mestinya di-retas dengan membuat regulasi baru sebagai penangkal.
Ironi, ketika sejumlah kelemahan dalam proses pilkada langsung ini jadi sorotan publik, sejumlah politisi justru ngeles. Mereka sibuk mencari pembenaran sebagai dukungan terhadap pilkada langsung. Mendagri, HM Tito Karnavian, bahkan pernah menyinggung agar pilkada kembali ke sistem perwakilan. Namun, hingga hari ini, usulan tersebut tak pernah ditanggapi.
Seorang kawan malah melihat ada pemborosan dalam pelaksanaan Pilkada langsung. Ia katakan, Jika uang Rp 100 miliar digunakan membangun pabrik, bisa berdiri sebuah pabrik kapasitas menengah, dengan serapan karyawan hingga seratus orang lebih.
Kalau misalnya ada 30 provinsi ikut pilkada, dan uang yang akan dipakai membeli kursi digunakan bangun pabrik, maka akan ada 30 pabrik terbangun di seluruh Indonesia setiap lima tahun. Bayangkan, berapa ribu penganggur diterima bekerja.
Berapa persen angka pengangguran bisa diturunkan. Itu baru lima tahun. Kala uterus-terusan? Rakyat pasti makmur, negara pasti kuat. Kalkulasi pengusaha tentu saja beda dengan kalkulasi politik. Ibarat langit dan bumi. Bagi pengusaha ada istilah: “uang Rp1 menggugurkan angka Rp 1 miliar”.
Maksudnya, kurang dari Rp 1, angka Rp 1 miliar tidak mungkin ada. Jika istilah ini diterjemahkan secara luas, maka pesannya adalah: “uang susah dicari. Jangan hambur untuk sesuatu yang belum pasti: Pilkada, maksudnya. (*)