KAYANTARA.COM, JAKARTA – Komite II DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dengan para ahli terkait pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), Rabu (5/2/2020).
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Dewan Komisioner dan Ekonom Senior INDEF, Profesor Dr. Bustanul Arifin, PhD bertindak sebagai narasumber dalam pertemuan tersebut.
Ia menyampaikan SBPB harus menjamin dan memperkuat hak petani, dan memperjels kewajiban negara membangun usaha pertanian berkelanjutan.
Pengembangan sistem insentif berbasis inovasi dan teknologi, mulai faktor produksi, proses produksi, panen dan pasca panen.
“Agar pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong penguatan kerja sama contract farming antara petani dan dunia usaha, menuju sharing ecobomy yang sesuai kepribadian bangsa” tegas wakil ketua umum pengurus pusat PERHEPI ini.
Selanjutnya, pemaparan dari Prof. Dr. Ir. Sobir, M.Si. yang menjelaskan tentang penguatan kelembagaan, pemerintah kurang mengatur tantangab kekinian, sertifikasi produk untuk export tidak dibahas baik SDM maupun produknya, good agriculture practise, pembahasan SDM Terbatas Penyuluhan
“Di lapangan, banyak penyuluh pertanian tidak mampu menjelaskan dengan baik, sebab lebih paham petaninya daripada penyuluhnya, oleh sebab itu pentingnya SDM penyuluh yang berkualitas” ujarnya.
Senator Hasan Basri, S.E.,M.H. selaku Wakil Ketua Komite II DPD RI menyampaikan bahwa perlu kajian mendalam terkait Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Anggota DPD RI Dapil Kaltara ini menjelaskan bahwa dibutuhkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk daerah tingkat 1 dan 2 tentang arahan pola ruang dan pengembangan pembamgunan serta sistem budidaya pertanian berkelanjutan.
Kemudian perlu upaya lebih nyata dalam sinkronisasi dan harmonisasi sistem perencanaan budidaya pertanian berkelanjutan.
“Perencanaan harus lebih dominan melalui pendekatan bottom-up dan partisipatif lebih pihak petani. Dalam konteks keberlanjutan, petani harus dijadikan objek bukan subjek pembangunan pertanian berjelanjutan” urainya di hadapan para Narasumber dan anggota RDPU Komite II.
Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, seperti pengembangan teknologi benih yang tahan terhadap hama dan penyakit serta cara pengendalian Organisme Pengganggu Tananam (OPT) yang ramah lingkungan.
Adaptasi petani terhadap perubahan teknologi pertanian saat ini dapat memudahkan petani dalam mengelola hingga memasarkan produk pertanian.
Pemerintah perlu memberikan insentif kepada petani yang sawahnya masuk dalam Peta Lahan Sawah Dilindungi (PLSD). Namun, pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, juga perlu didorong untuk melakukan percepatan penetapan PLSD yang terintegrasi dan aktual.
Peran sektor swasta melalui program CSR juga dapat berperan dalam mewujudkan model pertanian terintegrasi. Juga sebagai off-taker untuk dapat memastikan seluruh produk pertanian dan/atay peternakan yang telah dibina dalam model integrasi pertanian dapat terserap pasar.
Kolaborasi antar pemerintah, pemerintah daerah sektor swasta hingga seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan dalam merealisasikan model integrasi lahan pertanian demi terwujudnya budi daya pertanian berkelanjutan.
Perlunya meningkatkan kapasitas petani yang memiliki wawasan berkelanjutan. Petani memiliki wawasan berkelanjutan. Petani yang memiliki pola pikir pertanian berkelanjutan dapat menjadi solusi masalah alih fungsi lahan. (adv)