Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Menabrak Hukum dan Melukai Masyarakat Di Tengah Pandemi Covid-19

Wakil Ketua Komite II DPD RI, Hasan Basri

KAYANTARA.COM, JAKARTA – Di tengah kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi akibat terdampak pandemi Covid-19, dikagetkan dengan berita Presiden Jokowi telah menaikkan iuran BPJS untuk peserta mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah ditandatangai oleh Presiden Jokowi dan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan setelah oleh Mahkamah Agung (MA) membatalkannya.

Padahal, sebelumnya MA telah membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur terkait besaran iuran yang berubah menjadi Rp42.000 per orang per bulan untuk Kelas III, Rp110.000 per orang per bulan untuk Kelas II, dan Rp160.000 per orang untuk Kelas I.

Perpres tersebut dibatalkan oleh MA disebabkan bertentangan dengan UU, bahkan UUD NRI Tahun 1945. MA mengembalikan iuran menjadi sebesar Rp25.500 untuk kelas III, sebesar Rp51.000 untuk kelas II, dan sebesar Rp80.000 untuk kelas I.

Namun, setelah dibatalkan, justru Presiden Jokowi kembali menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Disebutkan jika Iuran BPJS Kesehatan Kelas I naik menjadi Rp150.000 dan Kelas II naik menjadi Rp100.000. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2020. Adapun untuk kelas III yang menjadi Rp35.000 baru akan naik pada 2021. Sedangkan MA sendiri telah membatalkan Perpres Nomor 75/2019.

Menanggapi kenaikan iuran BPJS tersebut, Wakil Ketua Komite II DPD RI, Hasan Basri dengan tegas menyatakan penolakan dan kritikan terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden. Kenaikan iuran BPJS yang sebelumnya sudah dibatalkan oleh MA, seharusnya tidak diambil langkah dengan menaikkan kembali di tahun pandemi ini.

“Presiden Jokowi harus mendengarkan teriakan rakyatnya yang menderita dan kesusahan dengan adanya pandemik Covid-19. Jangan ditambah lagi dengan beban kenaikan iuaran BPJS. Selain itu, kebijakan ini mengabaikan dan bertentangan dengan putusan MA yang sudah berkekuatan hukum untuk tidak menaikkan iuran BPJS,” tegasnya.

Tidak ada alasan pembenaran bagi Pemerintah untuk mengambil kebijakan dengan menaikan iuran BPJS apalagi di tengah kondisi bangsa yang sedang fokus menangani Covid-19. Jika alasan untuk menutup defisit triliunan rupiah yang dialami oleh BPJS seharusnya Pemerintah melakukan kajian untuk mengambil kebijakan yang Pro Rakyat.

“Kalau alasan defisit anggaran BPJS harusnya pemerintah mengevaluasi seperti program kartu prakerja yang telah menghabiskan anggaran besar namun tidak begitu berdampak, serta mencari alternatif di beberapa sektor yang lain. Tidak benar jika masyarakat harus menanggung ini semua dengan dibebankan kenaikan yang tidak logis,” pungkas anggota DPD RI dapil Kalimantan Utara. (*/sur)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here