Pemberlakuan RDT per 8 Juni Dinilai Tak Punya Payung Hukum, Ini Penjelasannya

Jika Dipaksakan Harus Disubsidi atau Ditentukan pihak Rumah Sakit

Supa’ad Hadianto

KAYANTARA.COM, TARAKAN – Surat edaran (SE) atau peraturan wali kota Tarakan terkait penerapan pembatasan sosial bersakala besar (PSBB) yang mengacu pada surat keputusan Menteri Kesehatan akan berakhir pada tanggal 6 dan 7 Juni nanti.

Begitu juga dengan SE Wali Kota Tarakan No.3 tahun 2020 tentang kriteria pembatasan perjalanan orang dan protokol pemeriksaan bagi calon penumpang moda transportasi penyeberangan (ferry), laut dan udara di Kota Tarakan dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19).

Termasuk SE Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 nasional dengan No.5 tahun 2020 tentang perubahan atas surat edaran nomor 4 tahun 2020 terkait perihal yang sama.

Dengan demikian, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalimantan Utara (Kaltara) Supa’ad Hadianto menilai kesepakatan Pemkot Tarakan bersama instansi vertikal terkait pengoperasian transportasi laut yang diizinkan pada 8 Juni nanti, khususnya mengenai pungutan biaya rapid diagnostic test (RPT) dan polymerase chain reaction (PCR) tidak memiliki payung hukum karena terjadi kekosongan aturan hukum.

“Jika kita cermati SE wali kota yang berlaku sampai 7 Juni dan Perwali PSBB maupun Gugus Tugas nasional yang berakhir tanggal 6 dan 7 Juni, artinya ada kekosongan hukum yang terjadi pada tanggal 8 Juni nanti,” ujarnya.

“Lantas dasar hukum mana yang dipakai pada tanggal 8 Juni nanti tentang pungutan RDT yang sudah disepakati itu, dengan akan kembali membuka transportasi laut dengan protokol kesehatan seperti RDT dan PCR kepada calon penumpang,” tanya Supa’ad menambahkan.

Apabila hal tersebut dilakukan dengan alasan mengikuti aturan pemberlakuan PSBB berdasarkan SK Menkes untuk Tarakan, Ia kembali menegaskan juga tidak memungkinkan lagi untuk diterapkan. Pasalnya, kasus perkembangan Covid-19 di Bumi Paguntaka dalam beberapa pekan terakhir cenderung melandai atau menurun.

“Kemudian kalau pungutan RDT dan PCR itu memakai peraturan daerah (perda) Tarakan baik tentang pajak daerah dan retribusi daerah melalui Perda No.1 tahun 2012 kemudian diubah Perda No.5 tahun 2017 dan Perda No.7 tahun 2012, PCR dan RDT tidak ada diatur di dalamnya. Tapi sifatnya membebani masyarakat, ini masalahnya,” urai politisi Partai NasDem dapil Tarakan ini.

Karena pungutan atau pembayaran RDT dengan nominal yang ditetapkan sebesar Rp1 juta kepada calon penumpang kapal laut dari Tarakan yang dilakukan di empat rumah sakit di Tarakan sangat membebani ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan langkah-langkah lain yang diharus diambil Pemkot pada 8 Juni nanti.

“Hanya ada satu cara yang bisa dipakai pada tanggal 8 Juni nanti yang terjadi kekosongan payung hukum saat itu, yakni pemberlakuan new normal. Tapi dari pemerintah pusat belum menetapkan tanggalnya kapan,” tuturnya.

“Jadi di tanggal 8 Juni masyarakat yang beraktivitas keluar dari Tarakan hanya boleh diterapkan protokol kesehatan Covid-19 seperti pakai masker, cek suhu tubuh, sosial dan physical distancing dengan mengatur jumlah penumpang 50 persen, dan cuci tangan dengan pakai sabun bersama air mengalir,” sambung mantan anggota DPRD Tarakan ini.

Menurut kacamatanya, secara filosofi aturan atau Undang-undang (UU) menyebutkan bahwa setiap pungutan atau pembayaran yang membenani masyarakat harus diatur oleh UU, atau melalui Perda jika di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

“Sekarang dasarnya pemkot memungut pembayaran RDT itu apa? Malah yang akan terjadi dampak ekonomi yang berpotensi menghambat laju perekonomian masyarakat Tarakan maupun Kaltara, khususnya bagi pelaku bisnis antar daerah di Kaltara melalui Tarakan. Kecuali kalau fasilitas itu merupakan aset pemkot yang otomatis telah diatur melalui Perda,” ucapnya.

Kemudian bila memang RDT dan PCR itu harus tetap diberlakukan kepada calon penumpang semisal speedboat reguler, setidaknya nominal biaya yang harus dikeluarkan masyarakat disubsidi oleh pemkot. “Kalau harus tetap dibebankan kepada masyarakat ya aturannya harus jelas,” cetusnya.

Sejatinya, pemberlakuan RDT yang harus dimiliki setiap calon penumpang dengan hasil negatif yang bertarif sebesar Rp1 juta per orang dengan alasan upaya mencegah mobilisasi perjalanan orang keluar dari Tarakan melalui jasa angkutan transportasi laut, dianggap sudah tepat.

Akan tetapi, disisi lain hal tersebut tidak bisa lagi diterapkan pada 8 Juni nanti lantaran semua aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah termasuk Pemkot Tarakan akan berakhir sehari sebelumnya. “Solusi lain yang bisa saya tawarkan adalah biaya RDT dan PCR diberikan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit yang ditunjuk, mereka bisa menetapkan biaya RDT itu sendiri melalui surat keputusan direkturnya masing-masing, hal ini agar tidak berimbas pada jalur hukum. Kan rumah sakit itu merupakan badan layanan umum daerah (BLUD), jadi tidak masalah,” demikian Supa’ad. (sur)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here