Swing Voters

Catatan: H. Rachmat Rolau

KEDAI kopi di ujung jalan itu mulai ramai. Baru pukul 09.00 pagi. Saya masuk bersama putra saya dan memilih meja tak jauh dari teman yang sudah duluan di kedai itu. Sebelum duduk saya pesan minum kesukaan: kopi hitam gula aren. Singkat kisah, setelah nyeruput kopi, kawan saya tiba-tiba menggeser kursinya dan duduk di sebelah saya. Sepertinya ada sesuatu yang serius.

“Dari mana bos. Kok, pagi-pagi sudah ngopi”? sapanya dengan callsign bos. Biasa, kami memang begitu. Memanggil siapa pun dengan panggilan  bos. Tak peduli entah itu pengangguran   atau pejabat. Semua kami panggil bos agar terkesan lebih akrab. Nah, di saat ngobrol itu, kawan saya mulai bertanya menyerempet ranah politik. “Begini, bos. Dari tiga capres dan cawapres yang ikut kontestasi, bos pilih yang mana”?.    

“Ah, itu sih rahasia,” jawabku. “Ngapain juga ada rahasia-rahasiaan di sini. Wong kita saja kok. Lagian ini bukan kampanye. Obrolan kayak kita nih, gak termasuk bilangan pengawasan bawaslu (badan pengawasan pemilu). Ini kan cuma bincang lepas, tok,” yakinnya.

“Begini, kataku. Memilih pemimpin  tidak sama memilih makanan. Memilih makanan cukup dengan selera, selesai. Itu paling gampang. Yang agak susah dikit memilih pakaian. Sebab, orang memilih pakaian punya prinsip. Misalnya, “kalah membeli menang memakai”. Itu prinsif pembeli yang mengutamakan kualitas. Ada juga yang bilang;  “biar murah-murahan yang penting warnanya cocok”.

Kedua prinsip di atas tentu sama-sama punya maksud yang orang lain tidak bisa mengintervensi karena lagi-lagi kembali ke soal selera pribadi. Nah, dalam konteks pemimpin apalagi selevel presiden dan wakil presiden, itu lebih susah lagi. Tidak bisa hanya memilih kualitas atau warna sebagaimana makanan dan pakaian. Sebab, selain kualitas sang tokoh, juga dibutuhkan varian-varian gagasan yang mendukung kualitas itu.

“Sorry bos, saya potong! Kalau saya sih simple saja. Cukuplah calon pemimpin itu merakyat, suka beri bantuan sama rakayat, itu sudah cukup,” kata kawan ini serius. “Kalau begitu, anda termasuk orang yang masih polos. Boleh jadi suatu saat anda akan tertipu oleh pilihan anda sendiri,” kata saya.

“Lalu cara terbik memilih pemimpin yang bagaimana”? tanyanya lagi. Begini. Sampai hari ini, saya pun belum ahli menentukan pilihan. Bisa saja pilihan saya justru lebih jelek dari pilihan anda. Tetapi, sebodoh-bodohnya kita memilih pemimpin, masih lebih bodoh orang yang memilih tanpa referensi.

Supaya kita tidak bodoh-bodoh amat, lebih bijak kalau sebelum menentukan pilihan kita lebih dahulu mencari tahu tentang siapa tokoh pilihanan. Sebab, dalam hal politik ada banyak jebakan yang bisa membuat banyak orang menyesal dan menderita. Bukan hanya seminggu, sebulan tapi bertahun. Apatah lagi  jabatan presiden – pemimpin berskala nasional dan internasional yang notabene diberi amanah oleh kita untuk berkuasa selama 5 tahun. Makanya harus cermat dan hati-hati.

Dan cara terbaik mencari pemimpin yang punya kompetensi adalah  memperbanyak referensi atau mencari rekam jejak sang tokoh lewat buku-buku atau melalui  pernyataan-pernyataan akademisi, tokoh masyarakat, ulama atau ke sedikit politisi yang jujur.

Dari sini kita bisa menemukan sosok pemimpin terbaik nasional yang kelak mampu mensejahterakan seluruh rakyat, berlaku adil untuk semua, serta konsisten menjalankan perintah undang-undang. Dan hati-hati mencari rekaman prestasi seorang pemimpin melalui media sosial. Sebab jika nalar hanya  “setengah tiang”,  bisa sesat. Sebab, tidak semua konten di media tersebut tersaji secara utuh.

Sekarang ini, kecanggihan teknologi informatika makin sempurna. Contoh, teknologi “kecerdasan buatan” atau artificials intelligence (AI). Teknik ini dengan mudah bisa memalsukan bentuk rupa dan suara seperti wajah dan suara aslinya. Ada juga teknologi yang dengan gampang memanipulasi hasil wawancara (suara) seorang tokoh dan menggantinya sesuai keinginan mereka (buzzer). Jadilah tokoh yang faktanya berprestasi menjadi tanpa prestasi. Yang anti korupsi diganti menjadi antek korupsi. Yang smart – pintar menjadi seolah-olah bodoh. Ini parah! 

Ketika anda salah memilih, tentu bukan anda saja yang rugi.  Andaikan, anda memilih seorang ketua RT yang korup maka yang terdampak palingan di RT itu saja. Bila memilih kepala desa yang korup, yang rugi warga desa itu saja. Tetapi ketika anda salah memilih presiden, itu sama saja kita mengorbankan seluruh rakyat Indonesia.

Dan yang perlu digaris bawahi adalah, memilih presiden bukan karena soal selera, bukan karena satu partai, bukan karena keluarga, teman atau kelompok. Tetapi memilih presiden karena gagasannya, idenya dan track record atau rekam jejaknya. 

Berdasarkan survey, pemilih rasional yang masih bisa berubah pilihan (swing voters) karena gagasan dan ide masih cukup banyak, yakni sekitar 34 peren yang didominasi oleh kalangan milenial. Pemilih ini berubah berdasarkan ide, gagasan serta rekam jejak sang calon. Kata mereka,   “kalau ada ketupat mengapa mesti memilih  singkong. Kalau ada yang hebat mengapa pilih janji kosong”.(*)

Penulis adalah Wartawan Senior dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Kaltara  

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here