KAYANTARA.COM, TARAKAN – Sejumlah anggota DPRD Kalimantan Utara dari lintas partai politik menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pemkot Tarakan, Pemprov Kaltara dan RSUD Tarakan, Kamis (11/6/2020).
Rapat ini dipimpin oleh anggota DPRD Kaltara Ir Yancong mewakili Partai Gerindra bersama Supa’ad Hadianto (NasDem), Syamsuddin Arfah (PKS), Achmad Usman (PKB), Muddain (Demokrat), Markus Sakke (Hanura), dan Jufri Budiman (Gerindra).
Bertempat di ruang pertemuan lantai III RSUD Tarakan, juga turut hadir Asisten I Pemkot Tarakan Hendra Rohendi mewakili Walikota Tarakan, Kepala Dinas Kesehatan Tarakan, Kepala Dinas Kesehatan Kaltara, dan Dirut RSUD Tarakan dr Hasbi Hasyim beserta staf.
Ada beberapa poin yang dibahas dalam pertemuan ini salah satunya tentang kebijakan penanganan Covid-19 di Bumi Benuanta, khususnya mengenai tingginya tarif rapid diagnostic test (RDT) yang diberlakukan Pemkot Tarakan.
“Kami meminta kepada Pemkot Tarakan untuk meninjau ulang pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) mengenai tarif rapid test sebesar Rp1 juta yang membebani masyarakat,” ujar Yancong usai rapat yang berlangsung sekitar empat jam tersebut.
Permintaan wakil rakyat Kaltara itu sangatlah beralasan. Salah satunya kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada perekonomian masyarakat Kaltara khususnya Tarakan.
“Kalau tadi kondisi sekarang ini normal, jangankan Rp1 juta, Rp2 juta pun saya kira tidak masalah. Tapi kondisi sekarang kan tidak normal. Masyarakat sekarang ini terbebani kebutuhan lain yang mendesak, ditambah lagi biaya rapid test. Sehingga kami minta Pemkot tinjau ulang,” tegas anggota Komisi IV DPRD Kaltara ini.
Dikatakannya, beberapa waktu lalu, hal tersebut telah disikapi oleh Pemprov Kaltara melalui surat permohonan tinjau ulang biaya RDT sebesar Rp1 juta per orang bagi yang berpergian, baik kepada Pemkot Tarakan maupun Pemkab Bulungan.
Namun, lanjut anggota DPRD Kaltara dapil Tarakan ini, dari dua daerah di Kaltara yang memberlakukan tarif yang sama itu, hanya Kabupaten Bulungan yang mengindahkan permintaan gubernur tersebut. Dengan mencabut kebijakan biaya RDT sebesar Rp1 juta.
Tak hanya itu, alasan lain adalah karena keakuratan RDT seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kaltara dalam rapat hanya berada di angka 30 sampai 40 persen.
“Alasan pemkot Tarakan ini cuma membatasi keluar masuknya orang tapi tidak ada klasifikasinya. Sementara keakuratan rapid tes itu cuma 30-40 persen, sehingga harus dilanjutkan tahapan karantina,” ungkapnya.
“Tapi kalau kita mengacu SE (surat edaran) Gugus Tugas Nasional tidak ada pemberlakuan karantina bagi warga Indonesia khususnya dalam perjalanan dalam negeri, kecuali dari luar negeri dan warga asing tetap ada rapid test,” tambahnya.
Pemberlakuan RDT seharga Rp1 juta di Tarakan seharusnya ada klasifikasi yang disebutkan ke publik. Sebab, menurut penuturuan Dirut RSUD Tarakan biaya RDT itu tidak sampai Rp500 ribu atau 450 ribu.
“Karena selama ini fasilitas karantina di Tarakan dari penilaian Dinkes Kaltara menilai tidak standar dengan menempatkan orang di sekolah-sekolah atau fasilitas kantor. Ini berbeda yang diterapkan di Bulungan yang fasilitasnya mirip hotel. Nah, rapid test seharga Rp1 juta di Tarakan ini kelebihannya dimana,” bebernya.
Dalam pertemuan itu Dirut RSUD Tarakan memaparkan bahwa pada pekan depan, rumah sakit milik provinsi ini akan melaunching layanan RDT dan PCR kepada masyarakat umum. Namun hingga saat ini pihaknya masih mengodok tariff yang akan diberlakukan dengan perkiraan seharga Rp450 ribu per orang. (sur)
Kalau lintas provinsi ndak masalah Pakai RDT .
Kalau lintas kabupaten aja kenapa harus bayar ? Kayak beda provinsi aja .