Jadi Narsum Webinar IKA UMI, Hasan Basri: RUU HIP Tidak Dicantumkan Tentang Larangan Terhadap Komunisme

Webinar yang bertajuk  RUU HIP Dalam Perspektif UUD Negara RI Tahun 1945 yang digelar IKA UMI Makassar, Selasa (16/6/2020).

KAYANTARA.COM, JAKARTA – Rancangan Undang- Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila atau HIP yang saat ini pembahasannya ditunda oleh pemerintah, terus menjadi perhatian dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia.

Salah satunya dari Ikatan Alumni Universitas Muslim Indonesia (IKA UMI) Makassar dengan menggelar diskusi online atau webinar yang bertajuk  RUU HIP Dalam Perspektif UUD Negara RI Tahun 1945, Selasa (16/6/2020).

Webinar yang dimoderatori oleh Rahmat Jaya ini menghadirkan enam nara sumber. Yakni pimpinan Komite II DPD RI Hasan Basri, Guru Besar Fakultas Hukum UMI Makassar Prof Dr Muin Fahmal, Pakar Hukum Tata Negara Margaritho Kamis, Guru Besar Fakultas Hukum UI Prof Jimly Asshidiqie, dan Suparman sebagai anggota Komisi III DPR RI.

Dalam kesempatannya untuk memberikan pandangan tentang RUU HIP, Hasan Basri mengatakan lahirnya lima sila pada Pancasila memiliki nilai dasar, yaitu diinginkan manusia, didasarkan pada kodrat manusia, dan diperjuangkan oleh manusia karena berharga.

Pancasila juga memiliki nilai instrumental seperti dipedomanin di dalam sistem politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan, bersumber pada nilai dasar dan bersifat berubah.

Sementara itu dari nilai praktis adalah nilai implisit yang terkandung dalam sikap, perilaku serta perbuatan manusia, perwujudan nilai instrumental dan nilai dasar.

“Pancasila sebagai ideologi Pancasila yang terkandung di dalamnya pembukaan UUD 1945, dan batang tubuh UUD 1945. Maka ideologi final,” tegasnya.

Lantas perlukan RUU HIP? Diterangkan Wakil Ketua Komite II DPD RI ini, pada pasal 20 ayat (1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah selanjutnya dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 pasal 95A ayat (1) menyenbutkan Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang- Undang dilakukan setelah Undang-Undang berlaku.

Senator asal Kalimantan Utara ini juga menerangkan tentang tugas dan Wewenang DPD RI. Pertama, pengajuan Usul (RUU) untuk diajukan kepada DPR RI terhadap RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua, pembahasan RUU Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Ketiga, pertimbangan atas RUU dan pemilihan anggota BPK Pertimbangan atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK.

Keempat, pengawasan atas pelaksanaan UU pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Berikutnya, penyusunan Prolegnas Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Terakhir, pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda, melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan Peraturan daerah (Raperda) dan peraturan daerah (Perda). “Tentang RUU HIP tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 tentang larangan terhadap komunisme,” tegasnya.

“Pancasila telah final sebagai Ideologi dan dasar NKRI, sehingga tidak perlu lagi dirancang menjadi sebuah RUU HIP, karena justru itu akan mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila,” demikian Hasan Basri. (sur)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here