Raker dengan Menperin, Komite II DPD RI Minta Litbang Daya Saing Nasional Harus Ditingkatkan

Peringkat Kapasitas Inovasi Indonesia Masih Kalah dari Sejumlah Negara di Asia Tenggara

Rapat kerja Pimpinan Komite II DPD RI bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, secara virtual, Senin (14/9/2020)

KAYANTARA.COM, JAKARTA – Komite II DPD RI menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, secara virtual, Senin (14/9/2020).

Raker yang dilaksanakan di kediaman Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai di Jakarta ini juga dihadiri Wakil Ketua Komite II DPD RI, Hasan Basri.

Dalam raker tersebut, disebutkan bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan kawasan industri dari sisi jumlah dan sisi luasannya. Kawasan industri di luar Jawa telah bertambah sebanyak 14 kawasan pada tahun 2020.

Penambahan kawasan industri ini dapat menjadi daya tarik investasi baik melalui PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).

Hasan Basri menuturkan saat ini pemerintah terus mendorong kawasan industri ke arah generasi ketiga dan keempat untuk menumbuhkan kawasan industri di seluruh wilayah Indonesia.

“Kawasan industri generasi kedua dibangun sebagian besar oleh swasta dengan peran pemerintah sebagai regulator,” katanya.

Saat ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sedang mendorong kawasan industri halal.

Dia menyebutkan, indeks daya saing global Indonesia pada tahun 2019 menempati peringkat 50 dari 141 negara (Global Competitiveness Index 4.0), turun dari tahun sebelumnya (2018) pada peringkat 45.

Indonesia memiliki keunggulan pada faktor daya saing market size (peringkat 7) dan dinamika bisnis (peringkat 29). Sebaliknya, masih lemah dalam aspek kesehatan (peringkat 96), labour market (peringkat 85), infrastruktur (peringkat 72), adaptasi teknologi informasi & komunikasi (Information and Communication Technologies/ ICT – peringkat 72), serta kapasitas inovasi (peringkat 74).

“Di ASEAN, peringkat kapasitas inovasi Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) terhadap daya saing nasional masih harus ditingkatkan,” sebutnya.

Hasan menerangkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kapasitas inovasi Indonesia di antaranya adalah rendahnya rasio pembiayaan litbang terdapat GDP (Gross Domestic Product), rendahnya produktivitas riset seperti pengajuan paten dan merk dagang, sitasi pada karya tulis ilmiah (h-index), dan kualitas dari lembaga litbang.

Selain itu, ketidaksesuaian hasil penelitian, pengembangan dan perekayasaan (litbangyasa) dengan kebutuhan industri juga menjadi persoalan yang memerlukan solusi.

Selanjutnya diperlukan peta jalan/roadmap litbangyasa prioritas agar pelaksanaan litbangyasa tersebut dapat terarah dan dapat bermanfaat bagi peningkatan daya saing industri.

“Hanya ada empat sektor industri yang mencatat pertumbuhan positif, yaitu industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi industri rekaman; industri makanan dan minuman; industri logam dasar; serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional,” ujarnya.

Industri pengolahan dan industri manufaktur merupakan katalis perekonomian nasional. Ekspor non-migas menyumbang 94,81 persen dari total ekspor Januari-Juli 2020. Impor yang rendah tidak selalu menggambarkan hal positif.

PMI (Purchasing Manager’s Index) Manufaktur Asia Tahun 2020 untuk Indonesia pada periode Agustus sebesar 50,8.

“Penguatan sektor data industri menjadi isu penting Kemenperin. Program substitusi impor 35 persen sampai dengan tahun 2022. Struktur industri Indonesia masih memerlukan pendalaman karena ada permasalahan supply shock,” kata Senator Kaltara ini.

Substitusi impor bukan merupakan gerakan anti-impor. Langkah strategis program substitusi impor 35 persen, yaitu penurunan impor melalui substitusi impor pada industri dengan nilai impor besar; dan peningkatan utilisasi produksi seluruh sektor industri pengolahan.

Untuk mengalihkan 35 persen impor barang input sektor manufaktur ke produksi dalam negeri dengan total kebutuhan investasi 197 Triliun.

Pengembangan Kawasan Industri Bintuni dibiayai melalui skema Multi Years. Kemenperin mengusulkan dua opsi untuk rencana pembangunan Kawasan Industri Bintuni, yaitu seluas 200 ha dan seluas 1.000 ha.

“Operasional Kawasan Industri Bintuni diperkirakan berjalan pada tahun 2023 dengan pembangunan infrastruktur diperkirakan selesai pada tahun 2021,” pungkasnya. (mediaHB/sur)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here