Ramadan dan Optimalisasi Pengontrolan Diri

Oleh: Syamsuddin Arfah

KEISTIMEWAAN bulan Ramadan salah satunya terletak pada dampak yang ditimbulkannya, serta pengaruh yang diberikan bagi yang menjalankan ibadah secara sungguh-sungguh.

Puasa akan memberikan kekuatan kepada manusia untuk mengoptimalisasikan pengontrolan diri (self control) mengapa? Karena menjalankannya dengan motif  keimanan (imanan wahtisaban), puasa yang dilakukan berhubungan langsung antara seorang hamba dengan Al-Khaliq.

Karena ibadah puasa disebut sebagai ibadah sirriyah (ibadah rahasia) dimana hanya Allah yang mengetahui terhadap apa yang di kerjakan oleh sang hamba, sebagaimana hadist qudsi yang sering kita dengar dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: Allah ‘azza wajalla berfirman “Kullu amali ibni adama lahu illa shiyama, fainnahu li-wa- Ana ajzi bihi”. Setiap amalan manusia itu diberikan untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan memberikan balasannya langsung. (Bukhari-Muslim).

Pertanyaan yang muncul berdasarkan hadist qudsi diatas adalah apakah amalan lain selain dari puasa tidak di balas? Dibalas, tetapi puasa yang dilakukan berhubungan langsung kepada Allah, sehingga seolah-olah selain dari ibadah puasa tidak ada jaminan langsung dari Allah untuk diterima, apakah selain dari ibadah puasa tidak mendapatkan jaminan balasan?

Tentu jawabannya tetap ada jaminan balasan dari Allah tetapi ibadah puasa merupakan ibadah sirriyah (ibadah rahasia) dimana berkait dan berhubungan langsung kepada Allah SWT.

Kalau ingin terkenal dan  dilihat orang bukan puasa tempatnya, jika ingin populer dan mungkin dapat  perhatian orang banyak cukup jadi penceramah, ustadz atau politisi, pejabat atau bahkan artis. tetapi yang pasti bukan pada ibadah puasa.

Optimalisasi pengontrolan diri memang tidak mudah, sehingga Ramadhan datang untuk “mentarbiyah dan mentadrib” (mendidik dan mentraining) jiwa manusia agar terkendali, kata kunci kebaikan dan kedamaian ada pada pengontrolan diri, dimana kerusakan pelanggaran serta kemaksiatan (membunuh, mencuri, korupsi, dll) adalah ketidak mampuan untuk melakukan control diri, kemampuan mengontrol diri adalah menunjukan terjadinya keseimbangan pada jiwa manusia dan keseimbangan pada jiwa akan muncul manakala sering melakukan mawas diri, ini yang ditempa pada Ramadhan, Ramadhan ingin menjadikan jiwa manusia kembali kepada “fitrah” dan menuju kepada ketinggian jiwa dan akhlak, itulah “Takwa”.

Rasulullah Saw. Bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Dan, orang yang ediot (bodoh) adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia menyatakan hadist hasan) banyak godaan dalam menjalankan ibadah ramadhan ini, lagi puasa atau sedang tarawih serius mendengar ceramah dari ustadz dimasjid tiba-tiba listrik padam (karena kota kita ini lagi sedang dilanda biyarpet) timbul kejengkelan, malam hari bangun  inginnya untuk melaksanakan shalat malam taqarrub kepada Allah ketika masuk kamar mandi untuk mandi dan berwudhu, air  juga tidak mengalir (lengkaplah sudah di kota ini PDAM juga ikut-ikutan ngadat), muncul kemarahan keluar ucapan cacian dan makian yang tidak pantas diucapkan yang merupakan ekspresi dari sakit hati, bagi mereka yang mampu mengontrol dirinya tentu lebih bisa mengendalikan diri, contoh lain berpuasa menahan lapar dan dahaga seharian, ketika bedug terdengar suara adzan maghrib di kumandangkan dan, dimeja makan tersedia berbagai menu makanan untuk berbuka, muncul keinginan untuk melahap semua makanan yang ada dimeja makan, padahal seharian mampu menahan lapar dan dahaga tetapi  waktu berbuka tiba, malah tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, berbuka tidak lagi secukupnya tetapi menikmati sekenyang-kenyangnya (edisi balas dendam), tanpa terbersit dan terlintas dalam hati bahwa ditempat lain mungkin ada yang ingin berbuka, tetapi tidak tersedia makanan. Padahal berbuka puasa juga dituntut untuk pengendalian diri.

Berdasarkan hadist diatas yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi sesunggunya ciri orang cerdas ada dua : Pertama, kemampuan mengendalikan hawa nafsu dan Kedua, mempersiapkan amal untuk kehidupan setelah kematian (mengorientasikan diri untuk akhirat), inilah yang disebut dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan hakiki yang mengalahkan kecerdasan intelektual, yang muncul dari keseimbangan dan kematangan jiwa, yang lahir dari kemampuan untuk mengoptimalisasi pengontrolan diri, merekalah yang sukses untuk meraih kebahagiaan yang sesungguhnya, sebagaimana pada firman Allah: “ Dan bagi orang  yang takut akan kedudukan Tuhannya, dan menahan diri dari mengikuti hawa nafsu maka sesungguhnya surga-lah tempat kembalinya.” (An-Naaziat : 40)

Allah telah menetapkan perjalanan hidup yang seharusnya ditempuh manusia di dunia. Dia juga telah menetapkan tujuan yang semestinya dicapai manusia. Dan, kesuksesan seseorang diukur dengan hasil akhirnya. Allah Swt. Menegaskan, “Setiap jiwa akan merasakan mati. Maka siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga sungguh ia telah beruntung. Dan, tidaklah kehidupan dunia melainkan kesenangan menipu.” (QS: Ali-Imran :185).

Allahu a’lamu bis-shawab Al-Faqiir ilallah.

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here