Fenomena WTP di Tengah Korupsi yang Tak Pernah Putus

Penulis Fajar Mentari di depan Kantor BPK Perwakilan Kaltara di Tarakan (Foto: Istimewa)

TULISAN ini dilatarbelakangi oleh fenomena banyaknya pemerintah daerah (Pemda) mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tapi mengapa korupsi jalan terus?

Selama ini, predikat WTP menjadi idaman oleh para pengelola keuangan negara.

Para pejabat, kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah berlomba untuk memperoleh opini tersebut, karena dianggap status pengelolaan keuangan negara yang bersih.

Perolehan opini WTP sebagai tolok ukur yang menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil meletakkan tata kelola yang baik atau good governance, dari aspek akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan APBD / APBN khususnya pertanggungjawaban uang negara.

Keberhasilan meraih predikat WTP itu dianggap sebagai buah dari profesionalitas dan integritas. Terlebih lagi bagi mereka yang punya hajat untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat.

Meskipun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) telah disajikan secara wajar dan memadai untuk seluruh aspek material sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, namun bukan berarti predikat WTP dari BPK itu menjadi garansi tidak adanya penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran, karena predikat tersebut hanya sebagai patokan untuk melihat kepatutan dan kewajaran dari segi peraturan yang berlaku.

Sampai dengan saat ini belum ada indikasi bahwa pemerintah atau sebuah lembaga pemerintah baik di pusat dan di daerah yang mendapatkan opini WTP, maka sekaligus bisa dinyatakan bahwa pemerintahan yang dijalankannya adalah pemerintahan yang bersih (clean goverment). Faktanya  opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).

Opini WTP yang diberikan BPK terhadap suatu lembaga pemerintahan tak menjamin bahwa lembaga tersebut tidak ada pemborosan yang keterlaluan dalam menyusun anggaran atau bahkan bersih dari kolusi dan korupsi gede-gedean. Terbukti bahwa tidak sedikit lembaga pemerintah yang menyandang status WTP, tetapi kemudian ditemukan kasus korupsi di dalamnya.

Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Kementerian Agama (Kemenag) 2012 lalu. BPK menyerahkan hasil audit dengan status WTP kepada menteri agama (Menag). Tapi beberapa hari setelahnya, KPK malah membongkar korupsi pengadaan Al-qur’an di kementerian ini. Ada juga kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Namun, BPK tetap memberikan opini WTP atas penyajian laporan keuangan Kemenpora.

Tidak sedikit pejabat daerah yang begitu membanggakan keberhasilannya meraih opini WTP dengan serta merta mengaitkannya sebagai daerah yang bebas korupsi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa klaim tersebut tak beralasan, karena tidak sedikit juga daerah yang mendapat opini WTP dari BPK justru kepala daerahnya ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya sudah ada enam kasus suap melibatkan 23 auditor BPK sejak 2005 – 2017. Auditor dimaksud menerima sogokan agar memberikan opini WTP terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga pemerintah. Dan di 2018, ICW mencatat, setidaknya ada 10 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK walau daerahnya sudah menerima predikat WTP. Para kepala daerah itu terdiri dari bupati, walikota, hingga gubernur.

Berdasarkan uraian dan fakta di atas, kita dapat memetik kesimpulan bahwa opini WTP atas LKPD yang diberikan oleh BPK belum menjamin penyelenggara pemerintahan daerah lepas dari jeratan tindak pidana korupsi. Hal ini lebih disebabkan pada ruang lingkup pemeriksaan BPK yang masih terbatas pada proses penatausahaan dan pertanggungjawaban.

Sedangkan Kepala Daerah sebagai penanggungjawab jalannya pemerintahan daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK banyak melakukan tindak pidana korupsi pada proses perencanaan dan bahkan kegiatan yang memang tidak mampu dideteksi hanya melalui prosedur penatausahaan dan bentuk pertanggungjawaban keuangan yang sifatnya sangat administratif.

Penangkapan kepala daerah penerima predikat WTP ini menjadi anomali. Alasan banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT oleh KPK tetapi tetap mendapat opini WTP dari BPK, itu lantaran praktik suap yang dilakukan kepala daerah tersebut tidak memengaruhi laporan keuangan.

Kasus korupsi seperti “suap” masih mungkin terjadi meski BPK sudah memberi label predikat WTP. Mereka terima suap biasanya tidak bisa dideteksi dengan audit, karena itu mereka menerima suap.

Pihak BPK tidak bisa mendeteksi apakah kepala daerah yang diaudit melaksanakan praktik suap atau tidak, sebab BPK tidak memiliki kewenangan penyadapan. Sehingga, audit hanya dilakukan pada laporan keuangan pemerintah setempat.

Sebenarnya BPK telah memiliki sistem dalam menjaga kualitas pemeriksaan. Namun, sistem itu belum dapat menghilangkan kolusi meski telah melakukan quality control dan quality Inssurance dalam tugasnya.

BPK memiliki proses yang ketat dan jelas dalam melakukan audit sebelum mengeluarkan opini terkait laporan keuangan yang diaudit. Dalam arti, opini yang dikeluarkan BPK terkait hasil audit laporan keuangan tersebut memiliki tingkat kepastian yang tinggi. Dalam perumusan opini, BPK punya proses yang jelas dan ekstra ketat. Proses pemberian opini biasanya dilakukan tim yang terdiri anggota, ketua, sampai penanggungjawab. Proses yang dilakukan mulai dari hasil pemeriksaan hingga temuan pemeriksaan seperti apa.

Dari temuan, apakah temuan mempengaruhi pada opini atas laporan keuangan suatu lembaga. Predikat itu hanya mencerminkan empat hal. Kriteria yang ditentukan oleh BPK dalam pemeriksaan, yaitu (1) apakah laporan keuangan sudah sesuai standar akuntasi, (2) apakah ada kecukupan bukti, (3) apakah sesuai dengan sistem pengendalian internal dan (4) bagaimana ketaatan terhadap perundang-undangan.

Pemeriksaan BPK lebih dominan di keuangan, lalu Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), dan terakhir pemeriksaan kinerja. Tim akan melihat apakah itu berpengaruh secara materiil terhadap laporan keuangan atau tidak. Biasanya yang digunakan berupa ‘materiality’ yang disusun tim sampai proses pembahasan di penanggungjawab.

Opini itu diusulkan tim pemeriksa yang merupakan penanggungjawab pemeriksaan. Nantinya, usulan tersebut akan direview oleh tim independen bernama tim review opini.

Hasil audit ini nantinya dipublikasikan, sehingga semua pihak mengetahui, termasuk opini atau pendapat BPK yang menyertai penilaian laporan keuangan lembaga tersebut.

Temuan BPK terhadap uang negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan ditidaklanjuti dapat berakhir pada penegakan hukum. Hal itu menjadi salah satu upaya menekan kemudahan penyelewengan uang negara.

Orientasi BPK adalah menegakkan hukum administrasi keuangan negara. Sementara aparat penegak hukum (KPK, Red) memproses pidana atas uang negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan benar.

Saya menilai bahwa transparansi keuangan daerah masih kurang memuaskan. Ada banyak Pemda yang enggan untuk membuka laporan keuangan kepada masyarakat, padahal masyarakat berhak untuk mengetahui kondisi keuangan yang dikelola. Terlebih lagi jika ada permintaan dari publik. Seruan saya agar BPK tidak dengan mudah memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Sebagai contoh dekat, belum lama ini Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kota Tarakan meminta soal transparansi penggunaan anggaran Humas dan Protokol Pemda Provinsi Kalimantan Utara agar ditransparansikan data terkait audit secara prosedur dan mekanisme penggunaan anggarannya.

Menengok dari banyak pemberitaan media massa, jika kita perhatikan secara seksama, selama ini lembaga pemerintah dengan gampangnya memperoleh WTP dari BPK. Sebaiknya BPK harus memperbaiki sistem dalam pemberian WTP, karena WTP tidak menjamin keuangan sehat dan transparan, bahkan terkadang WTP dimanfaatkan untuk menutupi kasus-kasus penyimpangan keuangan di daerah.

Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjual-belikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi buruk.

Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.

Predikat WTP dari BPK biasanya hanya berdasar audit berbasis sampel, oleh karenanya mungkin saja lolos dari perhatian BPK. Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri. Pada umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang menggunakan anggaran besar.

Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.

Penggunaan sampling merupakan praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko terjadinya salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat diminimalisir.

Situasi itu sangat menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat “rekayasa” yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi.

Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum (KPK, red).

Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit, karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi, untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi korupsi. Apalagi jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit dideteksi dari transaksi yang diaudit

Terlepas dari itu, terkait kemungkinan adanya auditor BPK yang bisa disuap untuk menghasilkan opini WTP bagi Pemda atau lembaga tertentu, itu kemungkinan besar bisa terjadi, wajar saja jika oknum manusianya tergoda oleh bukan uang receh. Dan sudah terbukti dari beberapa kasus yang berhasil dibongkar, tapi tentu itu berpulang ke diri pribadi masing-masing. Guna mengantisipasi perilaku demikian, BPK diharap terus memperbaiki dan memperkuat sistem yang ada.

Jika sudah menyandang predikat WTP, mestinya makin sulit terjadi penyimpangan, karena sudah terbangun sistem pengendalian internal yang baik. Faktanya, tidak sedikit pejabat publik yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Saya menilai fenomena tersebut menjadi kontradiktif bila dilihat dari fakta lain yang menjelaskan bahwa sebagian pihak yang terjaring OTT KPK adalah kepala daerah yang telah berhasil membawa daerahnya memperolah opini WTP atas LKPD untuk beberapa tahun anggaran ketika daerah tersebut berada di masa kepemimpinannya.

Di satu sisi, OTT yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti KPK merupakan sebuah prestasi atas keberadaannya sebagai pelopor OTT terhadap koruptor. Sekaligus membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

OTT KPK secara umum dimaknai sebagai nama ‘kegiatan’ yang dilakukan KPK dengan melakukan penangkapan langsung terhadap seseorang dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Sedangkan di sisi yang lain, penilaian WTP merupakan bentuk apresiasi positif yang diberikan BPK sebagai auditor terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tertentu yang dinilai telah mengungkapkan informasi keuangan yang bebas dari salah saji material. Sehingga bagi penyelenggara pemerintahan daerah, perolehan opini WTP atas LKPD merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan.

Predikat WTP yang diberikan BPK atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda, bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku. Jika penggunaan anggaran dilaporkan secara baik itu bisa merupakan suatu comply (memenuhi) terhadap laporan keuangan.

Walau telah disajikan secara wajar atas seluruh aspek yang material, namun tentu masyarakat berharap agar pemerintah tetap perlu menindaklanjuti rekomendasi BPK atas temuan sistem pengendalian internal dan kepatuhan.

Untuk diketahui masyarakat bahwa terdapat titik-titik rawan terjadinya korupsi dalam pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Area rawan yang dimaksud adalah berkaitan dengan perencanaan anggaran, transaksi pelayanan perizinan kemudian pajak dan retribusi, pemberian konsesi, jual-beli jabatan, mekanisme pemberian barang, dan jasa-jasa lainnya yang sifatnya tidak berupa penggelapan aset negara.

Modus yang biasa digunakan kepala daerah untuk mengambil keuntungan secara pribadi tapi tidak terlacak dalam laporan keuangan yang diaudit BPK, umumnya dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Banyak yang mencoba mengambil keuntungan melalui pengadaan barang dan jasa, entah itu dari sisi rekanan, atau dari sisi pengelola dari Pemda.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan bukan jaminan tidak ada korupsi. Sepanjang tidak ada penyimpangan yang material dari standar akuntansi, maka opini WTP bisa diberikan. (**)

Penulis: Fajar Mentari

(Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Utara,)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here