Pemimpin Ideal

Catatan H. Rachmat Rolau

(Wartawan Senior)

PEMIMPIN itu sejatinya mereka yang mengerti keinginan dan kebutuhan rakyatnya. Dalam konteks moral, pemimpin merupakan panutan dan tauladan untuk semua. Maka, ketika sang pemimpin menjalankan tugas, rakyat pasti mendukung dan membantunya. Keteladanan memimpin itulah seseorang dapat disebut pemimpin ideal.

Baginda nabi Muhammad S.A.W menjadi pemimpin dunia bukan karena pendidikan yang tinggi tetapi keteladanan dan kecerdasannya dalam mengelola sistem pemerintahan. Baginda nabi tidak memisahkan antara moral dan politik dalam artian, agama tidak terpisahkan dari politik. Kolaborasi keteladanan yang bertumpu pada moral dan politik membuat baginda nabi disegani oleh lawan-lawan politiknya di zaman itu.

Dalam terminologi islam, agama memang tidak pernah terpisahkan dari politik. Sebab, untuk menunjang jalannya politik yang baik dan benar, dibutuhkan moral yang baik pula. Tanpa moral yang bersumber dari agama, politik akan berjalan sebagaimana sistem politik yang kita nikmati saat ini. Karena itu, pemimpin ideal tidak hanya cakap dalam politik dan ilmu pemerintahan  tapi juga memiliki moral serta etika yang bersumber dari agama.

Jauh sebelum nabi diangkat menjadi rasul, tanda-tanda kepemimpinannya sudah terlihat. Nama Muhammad telah dikenal seantero jazirah Arab. Ia  mendapat gelar al Amin dari kalangan masyarakat Quraisy yang artinya “terpercaya”.  Pengakuan masyarakat ini tidak hanya datang dari kalangan bani Hasyim yang merupakan kelompok suku baginda nabi, tetapi juga dari kabilah-kabilah di luarnya.

Kejujuran, adab dan etika yang dimiliki beliau tentu saja membuat takjub orang Arab di masa itu. Tidak ada sepatah-katapun yang diucapkan nabi kecuali yang benar dan bermanfaat. Karena keteladanan yang baik, hingga kini jejak-jejak tutur-dan bahasanya sampai sekarang masih menjadi pegangan kaum muslimin di seluruh dunia: al hadist.

Andai keteladanan itu dimiliki oleh pemimpin masa kini, dunia pasti damai dan akan berjalan tanpa friksi yang (mungkin) pada akhirnya dapat memicu konflik yang besar. Sulit memang mengembalikan kepemimpinan ala nabi. Tidak sekadar sulit, tetapi tidak mungkin model kepemimpinan para nabi terdahulu dapat terwujud atawa diwujudkan di jaman digital dan di era materialistik ini.

Tak hanya pucuk pimpinan, karakter para pembantu (sahabat-sahabat) nabi kala itu, juga meng-implmentasikan cara kepemimpinan nabi secara luar biasa. Sebut saja, Umar Bin Khattab (kalau tidak salah).  Ketika beliau diangkat menjadi khalifah (pemimpin), perhatiannya terhadap rakyat sungguh luar biasa. Hingga suatu ketika datang seseorang bertamu ke rumah beliau.

Sebelum mmasuk rumah, sang tamu mengucapkan salam: “assalamualaikum ya amirul mukminin”. “Apakah saya boleh masuk,”? kata sang tamu. Umar Bin Khattab bertanya: “apakah kedatanganmu pribadi atau untuk kepentingan rakyat”?  “Ini urusan pribadi ya amirul mukminin,” jawab sang tamu. Mendengar jawaban itu, Umar Bin Khattab langsung mematika lampu minyak dan mempersilakan tamunya masuk.

Tentu saja sang tamu bertanya, mengaapa lampu harus dimatikan. Ternyata Umar sangat hati-hati menggunakan fasilitas negara termasuk minyak untuk penerangan lampu sekali pun. “Maaf saya terpaksa mematikan lampu karena minyaknya berasal dari  uang rakyat,” jelas Umar di hadapan tamunya. Jadilah perbincangan antara Umar dan tamunya dalam suasana gelap.

Dalam konteks pemerintahan saat ini, keteladanan yang dicontohkan baginda nabi dan para sahabatnya sangat sulit ditemukan pada diri seorang pemimpin maupun pembantu-pembantunya. Yang terjadi justru sebaliknya. Terkadang rakyat yang memberi tauladan bagi pemimpinnya atau setidaknya rakyat mengingatkan pemimpin untuk berlaku adil dalam menjalankan amanah rakyat.

Rakyat kini menjerit akibat ulah sejumlah pemimpin yang hanya menjadikan rakyat sebagai batu pijakan mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Ada semacam preferensi dalam diri pemimpin. Ingin dilayani rakyat. Mendahulukan kepentingannya yang berkonsekwensi pada terpuruknya kesejahteraaan masyarakat.

Di bidang hukum, juga begitu. Slogan bahwa hukum adalah “panglima” di negeri ini ternyata hanya pretensi suatu pencitraan seakan-akan hukum masih tegak sebagaimana mestinya. Bicara keadilan hukum, baginda nabi memberi ilustrasi.. Ia katakana, andai anakku (Fatimah) mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”. Secara tidak langsung, ucapan baginda ini bermakna peringatan. Bahwa hukum harus berlaku pada siapa pun tidak terkecuali bagi keluarga sendiri. “Ubi societas, ibi justicia – “di mana ada masyarakat dan kehidupan, di situ ada hukum dan keadilan”. Sejarah mencatat bahwa kesuksesan baginda nabi dalam memimpin umat bukan ditunjang oleh pendidikan tinggi, tetapi karena keteladanan dan politik moral yang bersumber dari agama.(*)   

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here