Wakil Ketua DPD RI Usul Buat Tim Investigasi Terkait Pasal yang Dikenakan ke Habib Rizieq

Hasan Basri

KAYANTARA.COM, JAKARTA – Pimpinan Forum Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab resmi ditahan Polda Metro Jaya karena melanggar protokol kesehatan.

Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri angkat bicara persoalan ini. Menurutnya pasal dan Undang-Undang yang dikenakan kepada Habib Rizieq Shihab atau HRS berlebihan.

Senator dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Utara ini menyebut bahwa penahanan HRS harus adil. Begitu juga pengusutan terhadap penembakan 6 anggota FPI.

“Saya mengusulkan agar DPD RI membuat tim investasi atau segera RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan pihak terkait untuk meminta penjelasan serta perlakuan adil terhadap semua anak negeri,” tegas HB, sapaan akrabnya, Minggu (13/12/20).

Menurut Hasan Basri, pasal dan Undang-undang yang dikenakan kepada HRS berlebihan. “Kami meminta semua pihak dan seluruh ummat islam, agar menahan diri dan berdo’a semoga Allah memberikan yang terbaik untuk bangsa Ini,” imbau Hasan Basri.

Sebagai Pimpinan Komite II DPD RI, Hasan Basri menyoroti penerapan pasal penghasutan dalam perkara kerumunan massa HRS dan Pasal 160 KUHP serta pasal 93 Undang-undang kekarantinaan.

“Pasal 160 KUHP masuk dalam BAB V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Pasal itu berbunyi barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda maksimal Rp 4.500,-.” terang Alumni Magister Universitas Borneo Tarakan.

Lebih lanjut Hasan Basri menjelaskan, pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika memenuhi empat syarat.

“Syarat tersebut yakni ada perbuatan menghasut, dilakukan dengan sengaja, dilakukan di depan umum, kemudian orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum juga tentang penghasutan sudah ada putusan MK nya yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009. Dimana putusan MK tersebut dari delik formil menjadi materil,” tutup Senator Muda Kaltara. (adv)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here