Dua Tahun Memimpin Kaltara: Batik Lokal Bergelora, Perajin pun Kian Bergairah

Tampak seorang perajin batik lokal saat memperlihatkan salah satu motif batik khas Kaltara yang sempat diabadikan pewarta belum lama ini. Foto: Dok Kayantara.com

KEPEMIMPINAN Drs H. Zainal Arifin Paliwang, SH, M.Hum sebagai Gubernur Kalimantan Utara dan Dr Yansen TP sebagai wakilnya selama dua tahun terakhir selalu menarik untuk dibahas. Tak hanya berhasil menorehkan segudang perolehan penghargaan atas pencapaian kinerjanya, dari tangan dingin kedua pucuk pimpinan Pemerintah Provinsi Kaltara itu juga telah berhasil mengukir sejarah yang kekal akan dikenang sepanjang masa.

Salah satunya dengan melestarikan budaya lokal. Yaitu penggunaan batik Kaltara yang kaya dengan beragam motif dan corak yang dimiliki empat kabupaten dan satu kota di Bumi Benuanta. Hal ini pun dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Batik Khas Daerah Provinsi Kaltara.

Melalui Pergub tersebut, Pemprov Kaltara telah menetapkan bahwa batik lokal wajib digunakan Pegawai Negeri SIpil (PNS) tiap hari Kamis dan Jumat, tanggal 25 setiap bulannya, serta acara resmi kedinasan lainnya. Seruan ini juga dikeluarkan oleh seluruh kepala daerah di Kaltara.

Berbicara soal batik Kaltara, sejatinya tak dapat dipastikan secara detail sejarah kapan batik hadir di Kaltara. Tak ada peneliti mengulas tentang ini yang dibuktikan dengan buku atau catatan penunjang lain. Pun, jika ingin merujuk pada sumber data di internet, tak banyak ulasan tentang sejarah awal batik di provinsi ke-34 ini.

Namun dari salah satu perajin batik di Tarakan yang kerap disapa Anto Gondrong mengatakan masuknya batik di Kaltara tak lepas dari campur tangan pemerintah daerah. Dalam hal ini Disperindagkop dan UMKM Tarakan pada 2009 lalu. Namun digaungkan secara masif semasa kepemimpinan Gubernur Zainal A.Paliwang dan Wakil Gubernur Yansen TP. 

Singkat cerita, perajin batik pun berkembang pesat di empat kabupaten di Kaltara. Namun, Kabupaten Malinau menjadi daerah yang memiliki “ledakan” menghasilkan batik lokalnya. Kemudian disusul daerah lainnya.

Tiap daerah di Indonesia memiliki produk batik berbeda-beda dan spesifik. Dengan pengaruh unsur-unsur tersebut, pola batik tentu mengalami perkembangan dan kemajuan dalam memodifikasi dan penyempurnaan akan suatu pola yang khas.

Nah, batik khas Kaltara pun demikian. Dan lebih dimaknai sebagai batik yang berasal dari empat kabupaten dan satu kota. Hingga disebutlah batik (dari) Tarakan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung dan Bulungan. Hingga kini motif atau pola yang disebut sebagai motif khas Kaltara hanya sebagai bentuk upaya pemerintah daerah untuk mengangkat kearifan produk lokal batik dari Kaltara.

Upaya mempopulerkan “batik khas Kaltara” juga sebagai aktivitas branding kepada daerah lain. Bahwa jika Anda pernah melihat satu atau sekelompok orang mengenakan batik dengan warna ngejreng dan beda, tapi tetap padu dan enak dipandang. Terlihat nyaman disandang, kemungkinan besar yang Anda lihat adalah batik dari Kaltara. Gubernur Zainal dan Wakil Gubernur Yansen TP sering melestarikan ini di berbagai kesempatan dalam acara kedinasan, baik di Kaltara maupun tingkat nasional. Bahkan acara kenegaraan di tingkat internasional.

Perajin batik di Kaltara kecenderungan menggunakan corak nongeometris dengan pola dinamis. Ragam hias corak ini disusun mengikuti pola bebas, namun masih tersusun rapi. Secara garis besar bentuk motif tumbuhan dan binatang. Secara umum sumber inspirasi motif perajin batik di Kaltara terdiri dari unsur flora-fauna. Yakni pakis, kujau, kelong, bunga raye, burung enggang, bekantan, buaya, dan sulur-sulur.

Selain itu, ada pula motif terinspirasi dari benda-benda fungsional (perlengkapan, aksesoris atau peralatan) suku Dayak atau Tidung. Seperti topi seraung, tanduk galung, dan tameng. Motif lain yang dijumpai adalah penggabungan ornamen-ornamen dari beberapa etnis suku yang ada di Kaltara, seperti yang dijumpai pada batik lulantat ibu di Kabupaten Nunukan dan motif bultiya di Kabupaten Bulungan.

Adapun jumlah motif dari seluruh perajin batik di Kaltara mencapai ratusan. Rerata setiap pembatik memiliki lebih dari lima motif. Bahkan ada yang memiliki 60 motif.  Suku Dayak dan Tidung menjadi dua di antara etnis suku yang kerap menghiasi motif para perajin.

Berdasarkan jenis teknik membatik, rerata batik Kaltara menggunakan metode canting cap dan tulis. Hanya usaha batik Pakis Asia (Tarakan) yang selain menggunakan canting cap dan tulis, juga menerapkan metode lukis. Rerata harga batik canting cap bermotif minimalis di Kaltara sebesar Rp250 ribu sampai Rp350 ribu per kain (belum dijahit) berukuran normal 210 cm x 110 cm.

Untuk harga batik tulis bahan katun dihargai Rp450 ribu hingga Rp1 juta per kain. Harga batik tentu saja mengikuti kerumitan desain, warna dan bahan kain yang digunakan. Zat warna sintesis dipakai 99 persen perajin batik di Kaltara.  

Kerajinan batik di Kaltara berpotensi menjanjikan jika dikelola dan dikembangkan dengan baik. Minimal, menjadi penyanggah ekonomi bagi pegiat UMKM batik. Dan menjadi kesempatan emas bagi perajin dan kreator lokal untuk masuk bermain dalam kerajinan batik di Kaltara.

Misalnya bagi kabupaten kota yang memiliki ribuan PNS, seruan penggunaan batik lokal sangat berpotensi memutar rupiah hingga ratusan juta rupiah. Misal, Pemerintah Kota Tarakan memiliki 3.000 PNS dan setiap PNS membeli satu helai baju batik tulis/cap senilai total Rp300 ribu. Maka, uang beredar untuk UMKM batik di Kota Tarakan mencapai Rp900 juta. Apalagi rata-rata PNS memiliki lebih dari satu helai baju batik. Perhitungan rumus sederhana ekonomi diatas juga bisa dibayangkan terjadi di kabupaten lain di Kaltara.

Mengenai pangsa pasarnya, selain berkualitas produk, strategi pemasaran menjadi salah satu kunci sukses dalam usaha batik. Produk bagus tanpa pemasaran yang baik, hanya akan menjadi stok pajangan di lemari. Pun, berlaku sebaliknya. Pemasaran ulung tanpa ditunjang kualitas produk, hanya menjadi bom waktu di kemudian hari.

Tercatat, nyaris sebagian besar perajin batik di Kaltara menggunakan media sosial facebook, Instagram, dan WhatsApp sebagai ujung tombak dalam memasarkan produk.  Tak bisa dipungkiri bahwa ada juga perajin batik di Tarakan, Bulungan dan Malinau yang menjadikan lokasi produksi sekaligus etalse toko offline. Tak ketinggalan memanfaatkan gerai UMKM Centre daerah untuk dititipkan produk batik seperti di Malinau dan Tarakan.

Untuk konsep penjualan yang bersifat offline seperti ikut serta dalam even-even dan pameran yang kerap dilakukan Pemerintah Daerah turut mendongkrak penjualan batik. Tak sedikit acara-acara budaya yang mendatangkan para tamu dalam negeri ke Kaltara. Bahkan melalui pengenalan batik lokal menjadi salah satu sebagai cinderamata “baru” kepada tamu undangan Gubernur Zainal dan Wakil Gubernur Yansen TP.

Anto Gondrong menuturkan pengembangan usaha batik memang berpotensi meraup keuntungan. Terutama di Kaltara. Apalagi seluruh kepala daerah telah menyeru para bawahannya untuk membeli produk batik lokal. Tak terkecuali pegawai instansi vertikal, BUMN, dan perusahaan swasta yang turut melestarikannya. Termasuk masyarakat umumnya dan lainnya. “Dibuatkan aturan daerah pula, maka ekonomi daerah pasti terangkat. Kearifan budaya dan kerajinan lokal juga semakin terkenal. Ekonomi perajin pun bergairah,” cetusnya.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Gubernur Zainal Arifin Paliwang. Orang nomor satu di Provinsi Kaltara ini mengatakan dengan menggunakan batik lokal berarti  telah memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap produk lokal yang dapat mendukung ekonomi kreatif dan melestarikan budaya.

“Saya melihat hal ini yang harus dikembangkan, dan kekayaan budaya yang harus kita lestarikan. Penggunaan batik Kaltara diharapkan dapat  memperkenalkan dan meningkatkan potensi budaya daerah, mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan industri daerah, promosi pemberdayaan dan peningkatan hasil produk lokal untuk kesejahteraan pelaku usaha, serta meningkatkan daya saing produk,” urai Gubernur Zainal.

Begitu juga dengan penggunaan sesingal (penutup kepala khas suku Tidung) dan singal (penutup kepala khas suku Bulungan) yang sangat menarik dipadukan dengan pemakaian baju batik lokal, seperti yang kerap dikenakan mantan Wakapolda Kaltara ini. “Kalau bukan kita (warga Kaltara, Red), siapa lagi?,” tukasnya. (*)

Penulis: Supriyadi / Editor: Mansyur

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here