Menyoal Independensi Pemilu Capres dan Cawapres: Instrumen Baru Amandemen ke-5 UUD NRI 1945

Oleh: Hasan Basri, S.E., M.H.

SALAH satu agenda nasional yang menjadi tuntutan berbagai kalangan pada awal era reformasi hingga saat ialah perubahan (amandemen) UUD NRI 1945. Kami berpandangan dengan adanya amandemen konstitusi akan membuka peluang berkembangnya penyelenggaraan negara dalam sistem demokrasi. Sangat disayangkan perdebatan atas interpretasi konstitusi berakhir dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), sehingga mekanisme peluang calon presiden dan wakil presiden hanya dapat dilakukan melalui Amandemen ke-5 UUD NRI 1945, sebagaimana rancangan tersebut yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPD RI).

Amandemen kelima UUD NRI 1945. Pada prinsipnya berdasarkan UUD NRI 1945, MPR mempunyai kewenangan melakukan perubahan UUD.

Kami menilai memang sudah seharusnya menjadi tugas MPR untuk melakukan evaluasi implementasi UUD NRI 1945 yang telah berlangsung dua dasawarsa. Evaluasi tersebut harus dilakukan secara komprehensif untuk kepentingan penyelenggaraan negara sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Konstitusi Indonesia bukanlah fenomena ahistoris. Konstitusi tidak dapat dipahami hanya sekedar teksnya semata, tetapi harus mencangkup geistlichen-hintergrund yang meliputi latar belakang sosial, politik, ekonom, serta pemikiran-pemerikiran yang hidup dan berkembang selama dalam proses amandemen.

Sesuai dengan aspirasi dari daerah-daerah, masyarakat menginginkan adanya calon yang berasal dari perseorangan dengan melakukan amandemen ke-5 UUD NRI 1945. Disamping dalam prosesnya mengenai wacana amandemen ke-5 UUD NRI 1945 telah dilakukan kajian ilmiah di hampir 75 perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar demokratisasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dapat diwujudkan. Gagasan tersebut pun didukung hasil survei LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan adanya capres perseorangan sebagai jalur alternatif selain jalur partai politik. Dengan demikian, menjadi bukti alasan kuat sebagai awal untuk dijadikan argumen pendukung untuk diubahnya rumusan Pasal 6A ayat UUD NRI 1945. 

Gagasan mengenai mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden haruslah memiliki relevansi terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi. Gagasan negara hukum yang menjadikan hukum sebagai pembatas kekuasaan penguasa merupakan solusi yang dihadirkan sebagai upaya untuk meminimalisasi kesewenang-wenangan dari penguasa. Power Tends to Corrupt but Absolute Power Corrupt Absolutely menjelaskan suatu situasi yang kemungkinan besar dapat terjadi yang ketika kekuasaan bersifat absolut, kekuasaan tanpa batas akan melahirkan sebuah otoritarianisme, kediktatoran atau juga penyalahgunaan kekuasaan yang akan berujung pada pencideraan hak masyarakat. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya hal ini dibutuhkan hukum sebagai alat yang dapat membatasi kekuasaan dalam suatu negara. Berdasarkan konsep berpikir ini, maka negara yang baik adalah negara yang berdasarkan pada hukum (Rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).

Sistem pengisian jabatan Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945 adalah salah satu bentuk batasan berdemokrasi. Dalam prinsip demokrasi konstitusional, tidak diperkenankan pembatasan-pembatasan mengebiri substansi demokrasi. Pemilu bukan hanya menjadi instrumen konversi suara menjadi kursi, tetapi lebih luas lagi maknanya karena juga dapat menentukan arah sistem pemerintahan yang dibangun di masa depan. Sistem pemerintahan yang terbentuk melalui pemilu yang diselenggarakan adalah menjadi penentu kapasitas demokrasi yang menggerakan sistem politik, termasuk mengelola partisipasi rakyat. Pangkal tolak dalam membangun sistem pemilu yang demokratis adalah tidak lepas dari agenda amandemen konstitusi terutamanya terkait dengan prinsip penegakan kedaulatan rakyat. 

Melalui tulisan ini saya sebagai Anggota DPD/MPR RI Dapil Kalimantan Utara, memberikan pandangan diperlukan adanya instrumen baru melalui amandemen ke-5 UUD NRI 1945 khususnya mengenai mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur melalui ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945 sebagai berikut:

  1. Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

Tidak ada permasalahan di dalam Ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945. Secara konseptual, mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, sesungguhnya telah memberikan gambaran bahwa telah terjadi “kontrak sosial” antara pemilih dan yang dipilih. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat dan sesuai harapan dan kemauan pemilih (volonte generate). Dalam hal ini, pemilihan langsung oleh rakyat dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan DPR sebagai lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Jika ditinjau secara sistematis, ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945 telah sesuai dengan semangat penguatan sistem presidensial yang digagas era reformasi. Bahwasannya Presiden tidak lagi memerlukan suara terbanyak dari MPR, namun secara langsung rakyat diberikan hak untuk memilihnya.

Ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, dapat dikatakan bahwa UUD NRI 1945 telah memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilihan umum, di sini jelas bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol bukan perseorangan. Akan tetapi apabila masyarakat tetap menginginkan terkait calon perseorangan tentunya yang terlebih dahulu dilakukan adalah dengan merubah aturan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (amandemen UUD NRI Tahun 1945).

Terdapat dua pokok permasalahan yang menjadi urgensi dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Pertama, berkaitan dengan materi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa tidak ada pembatasan dengan peresentase untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden karena bunyi Pasal tersebut hanya menggunakan frasa “partai politik atau gabungan partai politik” artinya, setiap partai politik memiliki hak konstitusional untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik juga tidak memiliki legitimasi yang besar dalam menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden tetapi diberikan hak konstitusional untuk mengusulkan. Secara teori konstitusi bahwa konstitusi berdasarkan paham konstitusionalisme memberikan batasan terhadap kekuasaan serta adanya perlindungan hak asasi manusia yang sama dalam hal apapun karena konstitusi hadir sebagai hukum tertinggi dalam menjamin hak-hak setiap warga Negara. Dapat dipahami bahwa adanya ambang batas yang ditetapkan melalui parpol dan gabungan parpol tidak sesuai (inkonstitusional) karena tidak mencerminkan nilai-nilai yang dimaksud dalam konstitusi.

Kedua, kami berpandangan gagasan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan memiliki relevansi terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi. Relevansi ini dapat terlihat karena mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 justru kontradiksi dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Asas kedaulatan rakyat dapat tereduksi, melanggengkan kekuasaan sekelompok elite partai tertentu (oligarki), menutup kesempatan warga negara non partisan, membatasi alternatif calon sehingga persaingan tidak kompetitif dan pilihan rakyat terbatas, dan mempersempit ruang partisipasi rakyat. Bahkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 cenderung “memaksa” warga negara untuk berpartai politik atau setidak-tidaknya berafiliasi dengan parpol. 

Gagasan mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan relevan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi;

  1. Pertama, untuk menjamin hak asasi manusia (HAM) di bidang politik. Gagasan ini untuk mengatasi pemaksaan hak politik warga negara yang tidak menaruh minat menyalurkan aspirasinya melalui parpol, atau kepada pasangan calon yang berafiliasi dengan parpol.
  2. Kedua, menjamin aktualisasi diri warga negara dalam kehidupan politik secara mandiri (tanpa digerakkan). Gagasan ini untuk mengakomodasi warga negara yang berpolitik melalui jalur perseorangan (independen), tanpa dimobilisasi parpol-parpol.
  3. Ketiga, menjamin rekrutmen politik untuk mengisi jabatan-jabatan penyelenggara negara secara terbuka. Gagasan ini untuk menjamin keterlibatan rakyat dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sejak penominasian bakal calon hingga pemilihan calon.
  4. Keempat, menjamin pemerintahan yang berdasarkan konstitusi secara akomodatif dan tetap teratur berdasarkan hukum. Prinsipnya, ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak boleh mereduksi kedaulatan rakyat. 

Kami menilai, terdapat kegagalan partai politik dalam mempersiapkan sumber daya insani termasuk proses regenerasi kepemimpinan nasional, disebabkan antara lain tidak adanya proses transparansi partai bahkan cenderung melahirkan politik dinasti, mengakibatkan rakyat terbatas memilih calon pemimpin terbaik dari kader-kader yang handal dan profesional. Kualitas kepemimpinan nasional belum nampak terukur karena banyaknya pemimpin yang cenderung pragmatis dan bermental transaksional, yang memperlakukan rakyat sebagai obyek yang dapat diperjualbelikan. Oleh karena itu kiranya wajar apabila rakyat berharap terakomodasinya gagasan calon presiden dan wakil presiden perseorangan sesuai pilihan rakyat dalam pemilihan umum yang akan datang.

Selain itu konstitusi Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjamin adanya hak untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat (3), serta hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 28 I ayat (2).

Mekanisme pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden di Indonesia pasca amandemen  UUD 1945 undang-undang dasar, dari sudut pandang demokrasi konstitusional belum memberikan jaminan hak konstitusional secara menyeluruh bagi setiap orang.  Hak untuk mencalonkan diri secara perorangan (the right to be candidate) telah dibatasi oleh konstitusi yang mencederai makna kebebasan warga negara untuk membangun masyarakat dan negara yang dijamin konstitusi. Dengan adanya ketentuan presidential threshold jelas bahwa pemerintahan semakin membatasi hak mengajukan calon (the right to propose candidate) dalam pengisian jabatan Presiden dan/atau wakil Presiden oleh partai politik. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional, dimana secara konstitusional tidak diatur adanya ambang batas bagi pencalonan Presiden dan wakil Presiden.

  • Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 mengamantkan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

Ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 tidak ada permasalahan. Pada dasarnya sistem presidensial permasalahan ambang batas sudah tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai dasar untuk syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Mengingat syarat presentase terpilihnya calon presiden dan calon wakil presiden sudah diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Karena sejatinya, Threshold dalam makna aslinya adalah bukan ambang batas yang menghalangi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, namun merupakan aturan presentase minimal untuk terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu telah diatur di dalam ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945.

  • Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945 mengamantkan “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”

Ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945, sesungguhnya telah sesuai berkenaan dengan konsep presendential threshold, yakni syarat ambang batas perolehan suara dari hasil Pemilu untuk berhak menduduki kursi Presiden dan Wakil Presiden yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat.

  • Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 mengamantkan Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang

Memahami ketentuan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 6 A ayat (5) yang menentukan “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Artinya hal-hal yang terkait dengan substansi dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 diamanatkan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Namun jikalau persyaratan ambang batas disebut sebagai open legal policy dalam menetapkan syarat ambang batas pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol atau gabungan Parpol, menurut kami tidaklah bijaksana, karena dengan adanya ambang batas berarti mencederai hak konstitusional yang diberikan kepada Partai Politik, dengan kata lain hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Menurut kami, kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU dalam mengatur tata cara pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 6A ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945, antara lain mencakup pengaturan mengenai waktu pembukaan pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, verifikasi keterpenuhan dan keabsahan syarat calon Presiden dan syarat calon Wakil Presiden, penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan memenuhi syarat, pencabutan nomor urut Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, kampanye Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pengaturan dana kampanye, larangan kampanye dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan sebagainya. Semua itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU dalam mengatur lebih lanjut tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanat Pasal 6A ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945.

Secara tegas, kami menilai ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 memberikan arena bagi legislatif untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam sebuah undang-undang. Hal inilah yang menjadi titik awal perdebatan munculnya konsep Threshold yang sampai saat ini juga tetap dipertahankan dengan model Indonesia

Jika kita kaji lebih lanjut melalui makna pembentukan peraturan perundang-udangan, Ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Pasal 6 ayat (2) ini menggunakan frasa “dengan”. Frasa “dengan” ini mengandung arti bahwa “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden perlu diatur lebih lanjut dengan undang-undang tersendiri (khusus). Sedangkan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Ketentuan Pasal 6A ayat (5) tersebut menggunakan frasa “dalam” undang-undang. Frasa “dalam” mengandung makna bahwa soal tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bisa diatur dalam undang-undang yang lain atau tidak harus dalam undang-undang tersendiri atau undang- undang khusus.

Namun demikian, pembentuk UU (DPR bersama Presiden) mengintegrasikan pengaturan lebih lanjut mengenai “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden” (Pasal 6 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945) dengan pengaturan lebih lanjut mengenai “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden” (Pasal 6A ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945) dalam satu undang- undang, yakni UU No. 7 Tahun 2017.

Ironisnya, pengaturan lebih lanjut mengenai dua hal di atas dalam satu undang-undang (UU No. 7 Tahun 2017) mencantumkan ketentuan Pasal 222 mengenai syarat ambang batas pengusulan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol atau gabungan Parpol. Padahal, ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tidak bisa ditafsirkan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Sebab, ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.

ADAGIUM “Konstitusi Indonesia bukanlah fenomena ahistoris. Konstitusi tidak dapat dipahami hanya sekedar teksnya semata, tetapi harus mencangkup geistlichen-hintergrund yang meliputi latar belakang sosial, politik, ekonom, serta pemikiran-pemerikiran yang hidup dan berkembang di masa depan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”.

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here