Ngadu ke Presiden dan Petinggi Lembaga Negara, Arief Hidayat Minta Polisi, Hakim dan Jaksa Diperiksa

Khaeruddin Arief Hidayat saat mengadukan kasus yang menudingnya ke MAPPI di Jakarta (Foto: IST)

KAYANTARA.COM, TARAKAN – Khaeruddin Arief Hidayat yang terjerat kasus mark up lahan kantor Kelurahan Karang Rejo dan dipidana tiga tahun enam bulan penjara mengaku sangat keberatan.

Pasalnya, mantan Wakil Walikota Tarakan itu menegaskan dirinya tidak bersalah. Penegasan ini dituangkan dalam surat pengaduan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, KPK RI, Komisi I DPR RI, Menkumham, dan Kapolri.

Tak hanya itu, surat tertanggal 4 Februari tersebut juga dilayangkan kepada Kompolnas. Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Ketua DPP PAN, Mahkamah Partai PAN, Kabid Propam, Ombudsman RI, BPK RI, BPKP RI, Ketua MAPPI, Kapolda Kaltara, Dewan Pengawas MAPPI, dan Ketua DPW PAN Kaltara.

“Saya menyatakan bahwa saya dengan yakin dan jujur tidak melakukan tindak kriminal apapun, sehingga ini merupakan bentuk permohonan saya kepada pihak berwenang untuk sekiranya memeriksa polisi dan hakim serta jaksa yang menangani perkara saya. Dan telah mengkriminalkan saya serta memaksakan kasus ini atas diri saya,” kata Arief dalam isi surat tersebut, Kamis (9/3/2023).

Anggota Komisi I DPRD Kaltara periode 2019-2024 ini menegaskan bahwa pihak polisi telah memfitnahnya melakukan mark up terhadap pembebasan lahan yang telah dilakukan Pemkot Tarakan, yang dianggap merugikan negara sebesar Rp567.620.000.

“Sehingga menjerumuskan saya ke penjara. Yang mana saat itu saya menjabat sebagai wakil walikota dan juga pengurus di yayasan yang tanahnya dibebaskan oleh pemerintah untuk perluasan kantor kelurahan. Yang mana kasus tersebut diangkat selama 10 tahun mulai tahun 2014 sampai 2022 saya dijadikan tersangka. Ada banyak hal yang janggal pada perkara tersebut sehingga menimbulkan pertanyaan besar,” ungkapnya.

Pertama, sebut dia, pembebasan lahan dihitung oleh Jasa Penilai Aset atau Jasa Appraisal. Yaitu profesi yang berkegiatan dalam melakukan penilaian secara profesional dan sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian serta sesuai dengan peraturan penilaian yang dikeluarkan oleh asosiasi.

Serta memiliki lisensi dan di bawahi oleh kementerian keuangan dimana profesi tersebut berhak dan dapat  menentukan nilai jual sebuah aset menaksir harga.

Selanjutnya, jasa appraisal  bekerja berdasarkan buku pedoman dan aturan appraisal yang terdapat dalam standar penilaian Indonesia (standar yang dipakai oleh penilai untuk melakukan kegiatan penilaian di Indonesia).

“SPI bersifat wajib (mandatory) bagi semua Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di Indonesia. Sifat wajib ini juga diatur di dalam Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI). Dimana salah satu isi aturan yang bahwa perbedaan harga sampai dengan 30 persen masih dalam tahap kewajaran. Hal ini pun disampaikan oleh ahli  appraisal  dalam keterangannya di persidangan,” ujarnya.

Beriktunya, Arief mengatakan pernyataan bahwa satu objek bangunan tidak akan sama persis nilai atau taksiran harga yang didapatkan walaupun taksiran harga dilakukan oleh 10 ahli appraisal.

“Pertanyaannya apakah perbedaan harga ini mengakibatkan bahwa apresial yang sudah ahli dikatakan salah dalam melakukan perhitungan dan harus di hukum?. Jawabannya tentu berdasarkan batas kewajaran dimana nilai suatu objek tidak melebihi 30 persen. Pernyataan bahwa saya dan ahli appraisal  tidak saling mengenal sehingga tidak ada pengaturan ataupun intervensi yang dilakukan,” bebernya.

Pernyataan bahwa setelah polisi meminta ahli appraisal  menghitung di objek yang sama di tahun berbeda (ahli appraisal pemerintah kota menghitung objek pada tahun 2015 sedangkan ahli appraisal polisi menghitung objek pada tahun 2017).

Perbedaan waktu dua tahun tersebut secara pasti menghasilkan suatu nilai dan taksiran harga yang berbeda. Pada dasarnya, nilai suatu objek akan meningkat atau tinggi seiring berjalannya waktu atau dalam kurun waktu dua tahun.

Sehingga menurut appraisal polisi bahwa ada selisih nilai objek tersebut dengan harga 567.620.000,- lebih yang inilah dianggap oleh polisi sebagai markup.

“Padahal perbedaan harga tersebut pun masih di bawah 30% dimana berdasarkan penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJP) Sugianto Prasojo dan rekan (second opinion) sebagai konsultan yang didirikan dengan idealisme profesionalitas dan bergerak dalam bidang penilaian serta ahli dalam penilaian properti berdasarkan Keputusan menteri Keuangan,” katanya.

KJP tersebut ditunjuk oleh Dewan penilai Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) yang menjelaskan tentang taksiran hasil penggantian wajar atas 2 lahan tanah dan bangunan sebesar 2.332.380.000 pada tanggal 9 Desember 2017 dengan selisih harga 567.620.000,- dimana selisih harga tersebut sangat wajar oleh MAPPI inilah tetapi justru dianggap sebagai markup. “Sehingga hal ini terlihat sangat janggal,” tegasnya.

“Pernyataan bahwa sidang banding di PT saya di menangkan. Karena satu pertimbangan bahwa appraisal pemkot menilainya pada tahun 2015 sementara appraisal polisi pada tahun 2017. Sehingga terdapat perbedaan 2 tahun,” tambah Arief.

Harga yang dikeluarkan di surat kelurahan terkait harga lahan di kawasan tersebut, lanjut dia, adalah paling rendah Rp4 juta per meter dan paling tinggi Rp. 6 juta per meter. “Sedangkan harga yang di masukan apresial adalah di bawah 4 jt atau sekitar 3.8 juta,” katanya.

Hal ini tentu akan mempengaruhi hasil akhir penentuan harga suatu lahan. Sehingga timbul beberapa pertanyaan bagi Arief.

Pertama, mengapa ahli appraisal sebagai jasa penilai aset profesional dari pemerintah dikatakan bersalah dan di jatuhi hukuman tanpa dasar yang jelas.

Sedangkan menurut aturan yang ada di dalam buku pedoman penilaian aset bahwa perbedaan nilai suatu objek tidak melebihi 30%  masih dalam batas wajar.

Menurut saksi ahli appraisal dalam saksi persidangan, harga tersebut wajar dan dalam kategori wajar.  Saksi ahli appraisal berpendapat pada sidang tersebut bahwa tidak boleh hanya satu dasar penilaian dari pihak appraisal polisi yang di jadikan rujukan atau patokan harga suatu lahan. Seharusnya dua atau tiga hasil perhitungan ahli apresial baru dapat dikatakan adil.

Jika appraisal pemerintah kota dianggap salah, pertanyaannya apakah puluhan bahkan ratusan produk hasil nilai pembebasan lahan yang lain selama ini salah atau semua harus di carikan pembanding? Sehingga apakah perlu diusut seluuruh ahli appraisal tersebut?

Pertanyaan berikut dimana perlindungan seorang ahli appraisal sebgaia penilai profesional, jika setiap selesai menilai suatu objek dikatakan salah menaksir harga? Apakah harus selalu dilakukan pembandingan nilai oleh ahli appraisal dari polisi sehingga akan menghasilkan nilai taksiran yang berbeda dari suatu objek atau lahan?

“Pertanyaannya apakah perbedaan itu berarti selalu ahli appraisal salah. Jika tidak ada perlindungan hukum terhadap jasa atau appraisal sebagai profesi yang jelas mengetahui hukum, maka bisa dipastikan tidak akan akan ada lagi appraisal yang mau menaksir harga lahan atau objek dikarenakan tidak ada keamaan dan merasa tidak ada perlindungan hukumnya,” ujarnya.

“Jika demikian apakah setiap appraisal yang sudah menilai saya bisa langsung dilaporkan ke polisi dengan alasan ada perbandingan harga yang berbeda? Hal ini bisa dianalogikan, apakah seorang appraisal sama dengan dokter dengan keilmuannya mendiagnosa pasien lalu ternyata memiliki hasil diagnosa yang berbeda dokter lain akan diperkarakan?,” tambahnya.

Sejatinya hal tersebut tidak dapat di katakan salah karena ilmu dan keyakinanya di anggap sudah benar sebagai prosfesi yang profeional.

Pertanyaan dimana letak kesalahan ahli appraisal. Dimana letak kesalahan saya  yang sama sekali tidak mengenal ahli appraisal? Analogi terdapat 10 hakim dan jaksa dengan perkara yang sama maka bisa membuat tuntutan dan keputusan hukuman yang tidak sama.

Apakah bahwa jaksa dan hakim tersebut salah hanya karena perbedaan pendapat dan langsung diperkara kan untuk dijatuhkan hukuman?

Jika appraisal bersalah, lalu dimana letak kesalahan saya sebagai penaggung jawab lahan yayasan? Pernyataan bahwa pada saat persidangan semua saksi pemerintah telah sesuai prosudur dalam proses perencanaan dan pembayaran (karena jika ini ada “permainan” dan pengaturan yang disengaja, pasti mereka pun pegawai negeri sipil yang turut mengurus pembebasan lahan ini akan ada yang menjadi tersangka)

Pernyataan bahwa pada saat persidangan semua saksi dan saksi ahli hampir tidak ada yang di gunakan dan diambil pendapatnya. Hal ini sangat janggal dalam suatu persidangan dan dapat dikatakan tidak ada kesempatan para saksi untuk mengutrakan pendapat dan hanya sia-sia.

Bahwa polisi telah meminta perhitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (padahal BPKP berdasarkan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, tidak memiliki kewenangan menghitung kerugian negara) tapi justru BPKP perwakilan kalimantan utara mengeluarkan keputusan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) no. SR. 228 / PW34/5/2018 tanggal 28 Oktober 2018 dan penetapan kerugian negara senilai 567.620.000,- tanpa dasar perhitungan yang jelas.

Sehingga muncul pertanyaan langsung oleh hakim dari mana memperoleh nilai tersebut? Jawaban yang di luar dugaan saya dan hakim pun sempat terlihat seperti marah dengan jawaban BPKP tersebut yang hanya mengambil selisih harga antara appraisal pemkot dengan appraisal polisi, dimana hanya mengukuhkan hasil appraisal polisi dan tidak melakukan penghitungan.

Jawaban yang sangat tidak mendasar dari BPKP yaitu mereka  menghitung kerugian negara hanya dari nilai yang dihitung oleh appraisal polisi di kurangi dengan nilai yang dihitung oleh appraisal pemerintah kota yang sudah profesional. Hakim kemudian bertanya kembali kepada BPKP tentang cara mereka menghitung langsung turun ke lapangan? Ternyata BPKP tidak langsung turun ke lapangan untuk menghitung nilai atau taksiran harga lahan dan BPKP menghitung tanpa didampingi oleh jasa ahli penentuan nilai aset.

Hal ini sangat rancu dan tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian negara. Pertanyaan tentang penggunaan hasil uang pembebasan lahan tersebut di kemanakan dan di kelola oleh siapa?

Jawabannya adalah hak tersebut murni ranah dari pemilik uang dan pemilik tanah. Kecuali proses pembebasan lahan tersebut bermasalah. Artinya sepanjang tidak masalah maka tidak akan menjadi masalah.

Bahwa patut diduga perhitungan appraisal polisi adalah titipan dari polisi agar terjadi selisih harga, agar seolah terjadi temuan selisih harga. Dan sistem metode penilaian antara appraisal polisi dan appraisal pemkot adalah  tidak sama.

“Sehingga hasilnya berbeda, yang mereka gunakan untuk dalil terjadi markup. Padahal hitungan selisih harga tersebut masih di bawah 30% sehingga second opinion dengan hanya satu pembanding adalah tidak adil dan syarat dengan kezaliman,” pungkasnya. (kyt)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here