Burnout: Problem Peserta Didik dalam Menghadapi Pembelajaran Online Dimasa Pandemi COVID-19

Penulis : Yusandi Rezki Fadhli M. Psi., Psikolog Psikolog di Aplikasi Akupintar

SAAT ini masyarakat dunia tengah dihadapkan dengan adanya pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pandemi tersebut tentunya akan berdampak secara langsung tidak hanya pada lingkungan masyarakat luas dan ekonomi saja akan tetapi banyak sektor yang terkena dampak dari pandemi yang muncul ini. Salah satu yang terkena dampaknya adalah sektor pendidikan, seperti pendidikan yang ada di Indonesia telah melakukan pembelajaran online sejak pertengahan bulan Maret tahun 2020 hingga awal Januari tahun 2021.

Tantangan pelaksanaan pembelajaran secara online, tidak sekadar soal sarana belajar online seperti, ketersediaan laptop, handphone android dan kuota internet, tetapi juga soal metode, materi, dan pendampingan belajar. Sejak pembelajaran online dilakukan, banyak keluhan-keluhan yang dari orangtua melihat kondisi anaknya yang kelelahan, drop, stress karena merasa terbebani dengan materi pembelajaran yang menumpuk. Belum lagi orangtua mereka yang terkena dampak ekonomi dan hal tersebut tentu saja berpengaruh pada emosi peserta didik yang cenderung labil.

Tanpa disadari gejala-gejala yang dialami oleh banyak peserta didik bisa jadi tanda bahwa sedang mengalami “Burnout” secara akademik. Untuk sebagian kalangan masyarakat pasti cenderung bingung dengan istilah tersebut dan menganggap bahwa gejala-gejala yang ditunjukkan peserta didik hanya sebatas kelelahan secara fisik saja. Salah satu tanda anak mengalami burnout terlihat dari penurunan hasil akademik bahkan mengalami gejala psikosomatis. Berikut ini adalah beberapa gejala yang mungkin muncul ketika mengalami gejala psikosomatis, seperti sakit perut atau nyeri ulu hati, sakit punggung, sakit kepala, mudah lelah, nyeri otot, sesak napas atau asma, nyeri dada, jantung berdebar kencang, dan telapak tangan yang mudah berkeringat.

Pada umumnya gejala psikosomatis ini pula dapat dikenali melalui beberapa tanda-tanda seperti cenderung merasa khawatir berlebih meski keluhannya tergolong ringan. Munculnya keluhan psikosomatis umumnya terlihat ketika berada di bawah tekanan atau saat beban pikiran meningkat. Kemudian pola munculnya keluhan fisik biasanya dipicu oleh stres dan seringkali terjadi secara berulang. Oleh karena itu burnout menjadi salah satu ancaman bagi peserta didik ditengah pandemi COVID-19.

Konsep burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger seorang psikolog klinis yang praktik di New York, istilah tersebut digunakan pada tahun 1973 dalam jurnal psikologi yang membahas sindrom “burnout”. Menurut Maslach (1993) Burnout merupakan sindrom psikologis yang memiliki 3 dimensi yaitu (1) kelelahan emosional (emotional exhaustion) seperti individu merasakan frustasi, sedih, sering lelah, mudah tersinggung dengan orang lain, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, merasa tertekan dengan keadaan, sikap yang lebih sensitif, hal ini menyebabkan individu tidak nyaman dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, (2) depersonalization (mengalami kelelahan fisik dan mental) yang ditunjukkan individu menjauh dari lingkungan sekitar, tidak mampu untuk bersosialiasasi dengan lingkungan, sering mengeluh, tidak peduli dengan orang lain, emosi sering tidak terkontrol, dan merasa gagal dalam belajar, dan (3) low personal accomplishment (menurunnya prestasi diri) individu lebih mudah mengalami perasaan kurang percaya diri, kehilangan semangat belajar, menurunnya semangat belajar, merasa tidak percaya diri terhadap pencapaian prestasi yang diperoleh dan menganggap bahwa dirinya tidak berguna bagi orang lain di sekitarnya. Burnout dalam bidang akademik merupakan puncak dari belajar hal yang sama atau dalam kondisi yang sama dalam beberapa minggu atau bulan yang menyebabkan rasa lelah, frustasi, dan kurangnya motivasi.

World Health Organization (WHO) menetapkan burnout sebagai penyakit. Oleh karena itu, apabila burnout tidak segera diatasi dapat berdampak bagi kondisi fisik maupun psikis peserta didik. Lalu upaya apa yang bisa di lakukan oleh peserta didik untuk mencegah burnout secara akademik? Berikut adalah tips-tipsnya :

  1. Membuat lingkungan belajar yang nyaman. Menciptakan lingkungan belajar yang nyaman agar bisa lebih bisa menguasai materi dan fokus.
  2. Buat daftar list belajar dan selesaikan satu per satu. “Buatlah daftar belajar apa yang harus kamu kerjakan dan daftar permasalahan dalam proses belajar yang memicu stress dan coba menyelesaikannya”.
  3. Mengurangi atau berusaha tidak memikirkan hal yang belum tentu terjadi. “ Fokus pada aktivitas dan materi yang dipelajari dengan tidak banyak memikirkan hal buruk yang belum tentu terjadi”.
  4. Istirahat yang cukup. “Istirahatlah apabila merasa lelah. Belajar terus menerus akan membuat lelah tubuh dan pikiran sehingga ketahanan psikis pun menjadi berkurang”.
  5. Lakukan aktivitas yang kamu sukai. “Sempatkan untuk melakukan hal-hal yang kamu sukai. Dengan hal-hal yang menyenangkan dapat membuat harimu lebih bahagia”.
  6. Hindari orang dan lingkungan yang membuatmu tidak nyaman. “Menjelang ujian atau disaat diberikan tugas oleh guru, cobalah untuk menghindari orang-orang yang membawa pengaruh negative pada pikiran yang membuatmu tidak nyaman”.
  7. Melakukan konsultasi kepada ahlinya. “Konsultasi bisa dilakukan ketika membutuhkan seseorang yang dapat diajak berdiskusi agar dapat memahami apa yang sedang dialami oleh seseorang tersebut. Konsultasi tersebut bisa dilakukan kepada konselor sebaya, dokter, dan Psikolog baik secara offline maupun online yang tersedia di aplikasi”.

Pesan penulis buat para peserta didik yang ada di Tarakan maupun Kaltara “setiap era pasti ada kesulitannya masing-masing dalam melaksanakan pendidikan, dan mulai tahun 2020 hingga waktu yang belum bisa ditentukan adalah kesulitan yang teman-teman peserta didik hadapi dalam masa pembelajaran. Saya yakin bahwa kesulitan yang teman-teman hadapi pada pembelajaran di sekolah saat ini dapat membentuk mental teman-teman menjadi lebih kuat dari generasi-generasi sebelumnya dan teman-teman menjadi adaptif dalam era dunia teknologi dimasa yang akan datang. Tanamkan dalam diri teman-teman peserta didik bahwa teman-teman adalah generasi yang kuat dalam menghadapi tantangan apapun. Kemudian, generasi peserta didik saat ini dapat membuktikan bahwa pandemic COVID-19 ini tidak akan mengendorkan semangat teman-teman dalam belajar meraih cita-cita, membanggakan keluarga, dan membawa Indonesia kepada perubahan yang lebih baik dimasa mendatang”.

Referensi :

Maslach, C., & Leiter, M,P. (1997). The truth about burnout. San Francisco: jossey Bas.

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here