Oleh: H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)
DI laman Disway miliknya, Dahlan Iskan menulis secara gamblang. Soal identitas penderita covid 19, corona. Tulisan itu menuai kritik pedas. Bahkan hujatan para netizen. Penyebabnya, Dahlan mengungkap secara detil identitas pribadi serta alamat penderita. Kalau saya Dahlan, saya pun pasti tulisnya begitu. Beruntung saya belum tulis, dan saya bukan Dahlan.
Dahlan dianggap melanggar privasi. Saya bingung. Mengapa media dilarang mengungkapkan identitas penderita covid. Boleh jadi, akan datang media dilarang memberitakan identitas penderita wabah penyakit malaria. Pertanyaannya: “mengapa publikasi penderita covid dilarang”?
Jujur, sampai saat ini belum ada jawaban yang menurut saya cukup rasional untuk menjadi alasan mengapa penderita virus tersebut harus ‘dirahasiakan’. Satu-satunya dalih dari pemerintah yang pernah saya baca di sejumlah media adalah ini: hak privasi.
Kalau hanya menyangkut hak privasi, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur. Sebab, hal itu berkaitan dengan pribadi seseorang. Tidak termasuk dalam hak derivatif yang diatur, dan yang perlu dilindungi negara.
Politisi yang juga komentator politik dari Amerika Serikat, Al Franken, mengatakan, dilihat dari segi karakternya, hak privasi masuk dalam bilangan hak-hak dasar karena melekat pada diri manusia. Namun, kata dia, pengertian hak-hak dasar sebagai hak yang dimiliki setiap orang harus bebas dari campur tangan negara.
Secara umum, kata Franken, privasi dapat diartikan sebagai the right of a person to be free from unwarranted publicity (hak seseorang untuk bebas dari publisitas yang tidak beralasan). Terkait virus corona, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut menetapkannya sebagai hak privasi. Mestinya, pribadi itulah yang menentukan hak privasinya.
Lain halnya dengan penderita HIV (human immunodeficiency virus). Kalau pemerintah melarang penderita untuk dipublikasikan, itu beralasan. Sebab, penderita HIV yang menyebabkan orang terkena AIDS (acquired immune deficiency syndrome) merupakan penyakit yang berawal dari perilaku buruk seseorang.
Logika sederhananya begini: corona itu wabah. Definisi wabah dalam bahasa Indonesia, yakni, penyakit menular yang berjangkit begitu cepat. Menyerang sejumlah besar orang, serta jangkauannya sangat luas di berbagai daerah.
Merujuk dari definisi itu, penderita covid sangat penting untuk diberitakan. Tidak perlu dirahasiakan. Penyakitnya tidak memalukan. Tidak pula hina. Lagi pula, covid menyerang siapa saja. Tidak terkecuali pejabat. Penyakit ini datang dengan sendirinya. Tanpa dicari, tanpa diminta. Penderitanya butuh bantuan orang lain demi kesembuhannya. Jadi mengapa harus diisolasi dari pemberitaan media.
Bila ada orang (misalnya), tiba-tiba punya kemampuan menyembuhkan virus itu, tentu saja akan kesulitan mencari informasi mengenai alamat penderita. Sebab pihak berwenang tidak akan memberinya informasi yang cukup.
Kasus covid berbeda dengan HIV AIDS. Jika pemerintah melarang media menyebut identitas dan alamat si penderita, itu sangat dihargai. Sebab hal ini menyangkut soal harga diri penderita, dan aib bagi keluarganya.
HIV merupakan virus yang penularannya antara lain melalui hubungan seksual yang menyimpang. Sehingga, jika penderitanya dipublikasikan oleh media, pasti akan menjadi beban keluarga. Bahkan dikucilkan orang-orang di sekitarnya.
Kasus HIV-AIDS ini, sama seperti korban perkosaan gadis di bawa umur. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah membuat ketentuan. Dalam kode etik jurnalistik, korban perkosaan gadis di bawah umur harus dirahasiakan.
Namun boleh jadi pemerintah sudah tidak melarang media memberitakan kasus covid. Sebab, tulisan Dahlan Iskan yang memotivasi saya untuk membuat tulisan ini sudah agak lama, meski baru saya baca.(**)