KULTUM Ramadan: Berhentilah Sejenak, Maka Corona Pun Akan Berhenti (1)

Oleh: Oleh: Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si

HARI ini kita memasuki hari kedua di bulan Ramadhan, ada 2 hal yang menggelayuti pikiran dan jiwa kita, pertama ada perasaan gembira karena kita masih bisa bertemu dengan Ramadhan bulan dengan penuh ampunan dan bulan dengan segala kebaikan dan itu artinya kita masih mendapatkan kesempatan untuk bertobat, memohon ampun dari kesalahan dan dosa serta masih punya kesempatan untuk mensucikan diri dan jiwa, perasaan kedua adalah perasaan sedih, karena Ramadhan yang kita jalankan tahun ini adalah Ramadhan di tengah pandemi virus corona atau kita kenal dengan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019).

Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberpa bulan. Hal tersebut membuat beberapa negara menerapkan kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus ini, di Indonesia termasuk di Kota Tarakan dan beberapa kabupaten di Kaltara memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.

Lalu apa dampaknya dengan kebijakan ini? Tentunya kebijakan ini meminta semua warga masyarakat untuk berdiam diri di rumah, bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, masjid-masjid dan tempat ibadah di tutup, Ramadhan tahun ini, adalah Ramadhan dengan menjalankan ibadah di rumah, kita melasanakan tarawih di rumah, berbuka puasa di rumah, I’tikaf di rumah bahkan mungkin shalat idul fitri sudah tidak kita laksanakan tahun ini.

Untuk menentukan judul dalam tulisan ini punya beberapa opsi judul, tetapi saya ingin mengkorelasikan judul ini dengan kebijakan pemerintah maka jadilah judul dalam tulisan ini ‘BERHENTILAH SEJENAK, MAKA CORONA PUN AKAN BERHENTI”.

Mengapa demikian? Kondisi saat ini istilah-istilah seperti lockdown, karantina, isolasi, copid 19 bahkan yang terbaru PSBB (pembatasan social berskala besar) familiar di telingah kita, saya tidak ingin membahas sejumlah istilah-istilah tadi selain sudah di bahas di beberapa tulisan dan media saya pun juga tidak punya kapabilitas untuk membahas istilah-istilah tersebut.

Saya ingin menarik satu istilah yatu “lockdown” dan menyederhanakan kata itu dalam istilah menjadi stigma kita, yaitu ketika saat ini kita semua di paksa untuk di locdown di rumah, tentu lockdown itu bukan berarti kita terpenjarakan, tetapi lebih kepada pembatasan gerak saja, lalu apa yang harus kita perbuat?.

Ditengah pembatasan gerak, di saat terkurungnya fisik, dimana individu kita di pisahkan dengan aspek sosial kita, suasana saat ini kita sebenarnya menemukan sebuah “momentum yang hilang”, mencari jati diri sebagai insan makhluq Allah yang dikaruniai fitrah yang suci. Fitrah itu telah terkotori dengan ambisi syahwat yang merusak jiwa kesucian.

Sungguh kehidupan ini mempesona diri, tampil bak wanita berdandan cantik menyilaukan dan melalaikan jiwa. Jauh kaki telah melangkah meninggalkan titik star dari kehudupan, letih dan Lelah terpancar di wajah, jenuh dan bosan tergambar dari ekspresi muka, ibarat musafir dilanda kelaparan dan kehausan, pandangan mata menipu diri, tampak didepan laksana genangan air, ketika dihampiri ternyata hanya gumpalan pasir mengecoh diri, itulah fatamorgana kehidupan, bagaikan meminum air di lautan untuk mengusir dahaga, hausnya tak kunjung hilang malah makin menambah haus dan dahaga.

Dunia ini terkadang membuat sesak jiwa menumpuk harta dan kekayaan, sehingga segala cara dihalalkan, adakalanya kepala dijadikan kaki, dan kaki dijadikan kepala, sikut kanan dan kiri, teori menjilat atas dan menginjak bawah untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginan diri. Bagai seorang politisi berambisi kekuasaan, ketika sudah tercapai kedudukan dan jabatan ingin diraihnya lagi kekuasaan yang lebih tinggi.

Ada juga dayang-dayang menari-nari di atribun gelanggang, memukul dan menabuh gendang untuk meramaikan pertandingan, caranya menarik perhatian dengan membully lawan, menyebar hoaks dan fitnah, meneriakan kebencian menebar iri dan dendam seakan-akan ingin mengalahkan lawan yang sedang bertanding, dan ini lebih asyik di tonton mengalahkan asyiknya kandidat yang sedang bedebat. Dunia politik dengan penuh kebancian ingin mengalahkan lawan dengan segala jurus ilmu kanuragan masuk di hati dan jiwa, menebar hingga ke pintu-pintu kamar.

Sungguh ambisi berwujud “syahwat kekuasaan” bagaikan pedang bermata dua pada waktu tertentu membunuh tuannya sipemilik pedang. Lelah rasa mengejar dunia, ambisi mencapai ke puncak ubun-ubun sehingga kebijaksanaan akal berpikir menutupi jernihnya kesucian hati. Nabi yang mulia menggambarkan melalui pesannya, ada “nukhtatun sauda’aun” menutupi bersih dan sucinya hati dan jiwa (HR Muslim).

Hati yang sejatinya menjadi cermin diri, terkadang berfungsi sebagai pelita membawa secercah cahaya penerang, di saat sekeliling diliputi kegelapan, cermin yang harusnya bersih itu terkotori diliputi kabut menutupi pandangan hati, secercah cahaya sebagai pelita penerang sudah tidak berfungsi lagi, karena ada badai dan hujan serta virus materialistis dan Covid-19 berjiwa ambisius melockdown kekuasaan hati.

Lagi-lagi ketika kita menggunakan istilah “lockdown” pada suasana kita terkurung dan terbatasi gerak di rumah, atau kita meminjam istilah uzlah dan khalwat dengan ma’na yang lebih kita persempit dalam persepektif syariat, secara harfiyah uzlah berarti “mengasingkan diri dari keramaian” sedang khalwat berarti “menyendiri”.

Jadi kata uzlah dan khalwat pada ma’nanya sangat berkaitan dan berhubungan erat secara ma’na. sebagai upaya menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan penyimpangan serta pelanggaran dari segala hal yang tidak bermanfaat.

Momentum uzlah dan khalwat adalah momentum taqarrub kepada Allah serta momentum muhasabah diri dan proses pensucian jiwa kita, maka pada ma’na ini sesungguhnya uzlah dan khalwat adalah momentum untuk menemukan sisi kemanusiaan kita dan mengembalikan jati diri yang hilang diserang dan tergerus oleh virus materialistis dan Covid-19 pada syahwat kita.

Aktivitas uzlah dan khalwat pernah di contohkan Rasulullah SAW di gua hira, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berpesan: “Ada keharusan bagi seorang hamba Allah melakukan uzlah agar dapat beribadah kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, membaca ayat-ayat-Nya, melakukan muhasabah terhadap dirinya, berdoa kepada Allah, meminta ampun dari dosa-dosanya yang menyandera jiwanya, memerdekakan hati dan qolbunya dari pressure dunia, jiwa materlistis, serta sifat ambisius.

Jika karakteristik uzlah dan khalwat seperti yang di jelaskan diatas dapat di laksanakan maka eksesnya akan membuat dada menjadi lapang, mengikis semua kesedihan, memerdekakan jiwa dari pengaruh syahwat. Buah dan hikmahnya adalah hati akan menjadi tenang, pikiran akan menjadi jernih, batin akan menjadi tenteram dan jiwa akan menjadi sehat.

Ahmad ibnu Abdu Aziz Al-Jurjani telah melukiskan kenikmatan yang dialami batinnya ketika ia ber uzlah, dalam syair ia menuturkan..

Tak pernah kunikmati manisnya hidup hingga
Teman dudukku rumah dan buku.
Tak ada yang lebih mulia daripada ilmu
Karenanya aku mencarinya untuk dijadikan teman akrab.
Para sufi yang lainnya membacakan barisan-barisan bait syair berikut:

Buku-buku disekitarku tidak meninggalkan tempat tidurku,
Karena didalamnya terdapat obat bagi sakit yang ku sembunyikan. Sahabat yang beriman suasana lockdown dengan wabah virus corona menghantui setiap gerak kita, maka “berhenti sejenak” dari hiruk pikuk aktivitas kegiatan kita adalah pilihan terbaik untuk membuat virus corona berhenti dalam penyebarannya.

Berhenti sejenak kita ganti dengan aktivitas uzlah dan khalwat walaupun berma’na sempit. Ada tiga esensi yang kita dapatkan dengan berhenti sejenak dengan melakukan uzlah dan khalwat ini:

Pertama: Menstabilkan diri dengan menyeimbangkan raga dari jiwa, orang yang tidak seimbang jiwanya pasti tidak stabil dirinya, akan muncul kegamangan serta ketidak stabilan pada emosinya.

Kedua: memberikan energi baru, menentramkan jiwa dari kegersangan hati serta mencharger ruh yang baru pada diri seseorang yang akan berdampal pada kematangan emosi dan kekuatan imannya.

Ketiga: berhenti sejenak serta menukar program baru dalam bentuk uzlah dan khalwat akan terhindar dari bahaya virus corona, jika ini dilakukan secara massif maka di pastikan kita bisa menghentikan penyebaran Covid-19 ini, serta memunculkan pribadi yang baru, jiwa yang fresh serta iman yang kuat. (bersambung)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here