Majelis Ramadan #24: Mencari Lailatul Qadar

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ: تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan bersabda, ‘Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan’.” (HR. Al-Bukhari No. 2017; HR. Muslim No. 1169)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa setiap muslim diperintahkan untuk mencari Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Mencari Lailatul Qadar dilakukan dengan memperbanyak amal ibadah pada malam harinya.

Makna dari yujawiru dalam hadits di atas adalah melaksanakan i’tikaf di masjid.

Makna dari taharru adalah carilah. Dalam kitab An-Nihayah disebutkan, “Fokuslah untuk mencari Lailatul Qadar di dalamnya, dan at-Taharri adalah sungguh-sungguh dalam mencari dan keinginan yang kuat untuk mengistimewakan sesuatu dengan tindakan atau ucapan.” (An-Nihayah, Ibnu Katsir, 1/376)

Mencari Lailatul Qadar di Malam Ganjil

Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa mencari Lailatul Qadar itu dilakukan di malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika merasa tidak mampu untuk mencarinya di keseluruhan malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mencari malam Lailatul Qadar di malam ganjil di tujuh hari terakhir bulan Ramadhan. Yakni malam ke-25, 27, dan 29.

Malam ganjil yang paling dekat dengan prediksi Lailatul Qadar adalah malam ke-27. Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

وَاللهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ، هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا، هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Demi Allah, sesungguhnya aku tahu malam apakah itu. Lailatul Qadar itu adalah malam, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat di dalamnya, malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam kedua puluh tujuh (dari bulan Ramadhan).” (HR. Muslim No. 762)

Lailatul Qadar tidak dipastikan terjadi pada malam tertentu dalam rentang waktu setahun. Akan tetapi, Lailatul Qadar berpindah-pindah hari di setiap tahunnya. Di tahun ini terjadi pada malam ke-27, tahun besok terjadi pada malam ke-25, misalnya. Ketentuan ini berdasarkan kehendak Allah ‘azza wajalla sebagaimana diisyaratkan dalam berbagai hadits tentang Lailatul Qadar. (Al-Mufham, 3/251; Fath Al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/265; Syarh ash-Shadr bi Zikri Lailati al-Qadr, 48)

Keberadaan malam Lailatul Qadar memang tersembunyi, tidak dapat diketahui seperti waktu Jumat.

Tentu, di balik semua ini tersimpan hikmah yang sangat mulia dari Allah ‘azza wajalla; agar setiap muslim selalu termotivasi untuk mencari Lailatul Qadar di sepanjang hari di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika saja Allah ‘azza wajalla menentukan hari keberadaan Lailatul Qadar, tentu orang-orang tidak akan bersemangat memaksimalkan amal ibadah di hari-hari sepanjang bulan Ramadhan, dan hanya akan bersemangat ibadah mencari Lailatul Qadar di hari yang telah ditentukan.

 

Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ القَدْرِ فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ المُسْلِمِينَ فَقَالَ:

خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ، وَالسَّابِعَةِ، وَالخَامِسَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahu kami terjadinya malam Lailatul Qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari kaum muslimin yang membantah Beliau.

Akhirnya beliau berkata: “Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar namun fulan dan fulan menyanggah aku sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui). Namun semoga kejadian ini menjadi kebaikan buat kalian, maka carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh dan kelima (pada sepuluh malam akhir dari Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari No. 2023)

Makna dari fa talahha fulan wa fulan adalah terjadi percekcokan sampai pada taraf permusuhan, perselisihan dan saling mencela dengan meninggikan suara. Hingga akhirnya mereka diharamkan dari mendapat keberkahan Lailatul Qadar pada malam tersebut. Inilah faedah yang tersimpan di balik lautan ilmu Allah ‘azza wajalla.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Kisah ini seolah membenarkan pernyataan,

إِنَّ الْمُمَارَاةَ تَقْطَعُ الْفَائِدَةَ وَالْعِلْمَ النَّافِعَ

Percekcokan itu dapat memutus faedah dan ilmu yang bermanfaat.’

“Dan,” lanjut beliau, “Sebagaimana terdapat dalam hadits,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَحْرُمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

Sesungguhnya seorang hamba itu diharamkan untuk mendapat rezeki karena dosa yang ia perbuat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/471. Hadits yang terdapat dalam penjelasan ini statusnya shahih)

Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim selalu bersungguh-sungguh dalam mencari kebaikan ini, yakni mencari Lailatul Qadar. Mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan berbagai amal ketaatan dan amal ibadah pada siang dan malam harinya, baik berupa shalat, membaca al-Quran, zikir, doa, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ صَامَ الشَّهْرَ، وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، وَفَازَ بِالثَّوَابِ الْجَزِيْلِ وَالْأَجْرِ،

 وَاجْعَلْنَا مِنَ السَّابِقِيْنَ إِلَى الْخَيْرَاتِ، وَالْآمِنِيْنَ فِي الْغُرُفَاتِ، وَارْزُقْنَا شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ.

Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang berpuasa sebulan penuh, mendapati Lailatul Qadar, mendapat kemenangan berupa pahala dan balasan kebaikan yang banyak, dan jadikanlah kami bagian dari golongan yang di barisan pertama dalam kebaikan, bagian dari golongan yang mendapat keselamatan di tempat mereka, karuniai kami rasa syukur atas segala nikmat-Mu dan kebaikan peribadatan kepada-Mu, dan ampuni dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan dosa seluruh kaum muslimin. Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam


Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here