KAYANTARA.COM, JAKARTA– Komite II DPD RI bersama Kementerian Sosial Republik Indonesia melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rancangan Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana dalam rangka penyusunan draf pandangan dan pendapat DPD RI.
RDPU dihadiri oleh Anggota Komite II DPD RI, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia beserta jajaran.
RUU Penanggulangan Bencana merupakan salah satu RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020 namun belum dapat diselesaikan dan menjadi luncuran RUU tahun 2021. Pada pembahasan RUU ini Presiden menugaskan 6 kementerian mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan di DPR, sebagaimana Surat Presiden (SURPRES) No. R.33/Pres/07/2020 tertanggal 20 Juli 2020.
Hal tersebut dikemukakan oleh Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri, saat membuka acara RDPU RUU Penanggulangan Bencana, secara virtual, Jakarta, Rabu (23/6/2021).
RDP ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yang dilaksanakan oleh Komite II DPD RI dalam rangka Penyusunan Draf Pandangan dan Pendapat DPD RI terkait Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana mengenai isu kelembagaan dan pengalokasian anggaran.
“Pengaturan mengenai kelembagaan dalam RUU PB cukup yang pokok saja, khususnya keterkaitan dengan fungsi lembaga penanggulangan bencana yang meliputi fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana. Sementara terkait penamaan/nomenklatur lembaga tidak perlu menyebutkan nama dari lembaga yang menyelenggarakan penanggulangan bencana,” ujar Senator asal Kaltara ini.
Menurut Hasan Basri pengaturan mengenai pengalokasian anggaran penanggulangan bencana tidak perlu mengatur pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai dengan mencantumkan persentase secara spesifik.
Yaitu sebesar paling sedikit 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Melainkan cukup diatur dalam kaitannya dengan pengalokasian anggaran negara penanggulangan bencana secara memadai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya “mandatory spending” yang akan terlalu membebani anggaran negara dan untuk memberikan keleluasaan fiskal.
“Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana tidak perlu dicantumkan 2 persen dalam APBN, cukup diatur dalam kaitannya dengan pengalokasian. Hal ini dimaksudkan untuk mengindari mandatory spending,” tegas Hasan Basri.
Melalui RDPU ini Hasan Basri mempertanyakan isu krusial dalam RUU ini seperti: Aspek penataan ruang;, Perubahan frasa BPBD menjadi Perangkat Daerah dalam Usulan Perubahan Pemerintah;, Keterlibatan TNI/POLRI dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana;, Sistem transparansi pengelolaan sumbangan dan bantuan nasional maupun internasional;, dan Strategi apa yang telah dilakukan oleh Kementerian Sosial dalam upaya menertibkan lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak dalam Penanggulangan Bencana supaya agari lebih efektif dan tepat sasaran.
Menanggapi pertanyaan tersebut Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia, Bapak Drs. Pepen Nazaruddin, M.Si., akan menjawab pertanyaan tersebut secara tertulis yang nantinya akan dikirimkan ke Komite II DPD RI.
Hasan Basri menyebutkan, Komite II DPD telah mencatat berbagai macam kesimpulan dari hasil pembicaraan dan pembahasan baik dengan pemerintah daerah maupun dengan kalangan akademisi, NGO, masyarakat dan stakeholder dari penanggulangan bencana.
“Pada umumnya menyatakan, mereka memberikan dukungan terhadap revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana ini,” kata Hasan Basri.
Oleh karena itu, Komite II DPD RI tetap melakukan langkah-langkah cepat dan melakukan terobosan-terobosan yang lebih akseleratif di tengah situasi negara yang sedang menghadapi berbagai bencana alam dan non alam, misalnya pandemi Covid-19 maupun bencana alam yang sedang terjadi. (mediaHB)