KOTA Tarakan merupakan sebuah daratan berbentuk pulau kecil memiliki sejarah dan budaya yang kental untuk digali.
Kota yang dijuluki Bumi Paguntaka ini, merupakan wilayah lokal yang terkenal akan ciri khas budaya, adat maupun tradisi Suku Tidung sekaligus saksi sejarah ganasnya perang dunia kedua di abad ke-20.
Sangat disayangkan, jika para regenerasinya terlanjur mengemban pendidikan ke luar daerah tanpa memanggul wawasan lokal yang kelak bisa dipromosikan ke khalayak luar.
Sejauh mata memandang, Bumi Paguntaka telah banyak melahirkan berbagai penggiat yang berkecimpung dalam budaya dan sejarah lokal di Kota Tarakan. Tidak diragukan, pegiat lokal sangat akrab mengisi ruang publik maupun lini masa yang ada.
Segudang program telah ditawarkan dalam memperkenalkan budaya dan sejarah Kota Tarakan sebagai objek lokal, baik berupa kelas training, orientasi, seminar, dan talkshow dengan mendatangkan para budayawan maupun sejarawan lokal dalam penyiaran identitasnya.
Pun bagi pelajar, hal ini penting sebagai asupan pengetahuan bagi identitas lokal dalam merawat ingatan wawasan sejarah.
Hal itu juga dimaksudkan guna menjaga tumbuhnya rasa cinta, dan bangga akan budaya maupun sejarah bumi paguntaka.
Tapi, lagi-lagi segala program maupun wadah yang ditawarkan hanya berlaku bagi beberapa kalangan saja.
Lebih parahnya, tidak jarang asupan wawasan itu hanya didapatkan oleh pemegang jabatan dalam sebuah lembaga. Misalnya sekolah.
Contoh kecilnya, tak jarang sebuah kegiatan yang memberikan edukasi budaya dan sejarah, secara tak sadar bersikap berat sebelah.
Semisal, dalam sebuah seminar sekolah bertema budaya atau sejarah, hanya mengundang perwakilan pelajar seperti ketua OSIS atau pun wakilnya sebagai audiensi, dengan dalih perwakilan.
Lalu, bagaimana dengan pelajar lain yang sama-sama memiliki hak dalam mendapat bekal wawasan sejarah dan budaya.
Tentu ini akan menimbulkan ketimpangan akan ketidakadilan dalam belajar dan berproses mendalami budaya dan sejarah lokal itu sendiri.
Naasnya, hal ini selalu terulang dalam setiap kegiatan. Alasan paling klasik yang sering terdengar ialah setiap undangan dapat menyampaikannya ke siswa lainnya. Tentu ekspektasi tersebut terdengar sangat indah. namun sialnya, kenyataan dan keadaan membuktikan sebaliknya.
Lalu bagaimana mengatasinya, (boleh saya nyuruput kopi dulu?)
Baik, kita lanjut.
Apa yang ingin saya tawarkan, Tentu kampanye dalam mewajibkan kurikulum pembelajaran budaya dan sejarah lokal pada setiap sekolah sebagai prioritas.
Bukankah seni budaya lokal dan sejarah lokal sama pentingnya dengan seni budaya nusantara dan Sejarah Indonesia. Tentunya, sejarah dan budaya lokal memiliki muatan ke-Indonesia-an.
Singkatnya, mengapa harus mendahulukan sesuatu yang jauh, sesuatu yang terlalu luas, tapi ruang lingkup dan lokal sendiri harus terabaikan.
Memang benar, belajar tidak hanya di lingkup sekolah saja. Belajar juga bisa dari hal sekitar yang dapat menjadi wadah partisan guna kita mengimbuh referensi.
Namun, apa yang generasi muda bisa harapkan dari daerah yang minim edukasi budaya dan sejarah di Smart City ini. Saya, anda, dia, dan mereka hanyalah orang-orang yang haus akan edukasi budaya dan sejarah lokal tanah kelahiran.
Kami hanya bisa pasrah dan berdoa agar kelak Kota Tarakan memiliki fasilitas publik yang memanjakan dahaga keingintahuan kami.
Bahkan kami sering bermimpi, bermukim di dalam sebuah kota yang fasilitasnya mengajarkan nilai edukasi budaya maupun warisan sejarah.
Nama jalan, rumah sakit, halte, gedung olahraga, pasar bahkan objek wisata dapat menjadi sarana edukasi bagi kami yang tidak tahu diri ini.
Patut diapresiasi, pembangunan rumah adat dan di museum kota merupakan upaya pemerintah dalam merawat sejarah. Namun apakah hal itu sudah cukup, tentu saja tidak bagi Tarakan yang memiliki sejarah dan budaya cukup dalam.
Pembangunan rumah adat dan museum, membuat Tarakan tak lebih istimewa dari kota pada umumnya. Meski Tarakan menyandang gelar “Kota sejarah” dan kaya akan “budaya” semestinya Bumi Paguntaka dapat menghadirkan suasana yang jauh berbeda dari yang biasa.
Wajarnya museum dan rumah adat tak perlu dibangun di dalam kota, tetapi ciptakanlah kota layaknya museum dan cagar budaya.
Salam.
Penulis: Adinda Rahmadhani (Siswa SMA Muhammadiyah Tarakan)