DINASTI demokrasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kekuasaan dalam sistem demokrasi diwariskan secara turun-temurun di dalam sebuah keluarga atau dinasti politik. Hal ini sering terjadi di negara-negara dengan sistem demokrasi yang kurang matang dan rentan terhadap praktik korupsi dan nepotisme.
Dalam dinasti demokrasi, kekuasaan dipegang oleh keluarga politik yang sering kali memiliki kendali yang kuat atas lembaga-lembaga negara dan sumber daya politik yang penting, hal ini memuluskan jalan bagi penguasa untuk menggunakan mesin kekuasaannya untuk mengangkat nama dan mendompleng popularitas keluarga yang disiapkan untuk bisa mendapatkan jabatan politik nantinya.
Keluarga politik ini sangat rentan terhadap nepotisme, terlebih ketika mereka memegang kendali terhadap eksekutif dan legislative, karena kondisi ini akan menciptakan atmosfer yang buruk bagi demokrasi disuatu Negara maupun daerah kedepannya.
Dalam demokrasi kita mengenal konsep Trias politika, dimana kekuasaan itu dibagi atas tiga cabang kekuasaan yaitu Eksekutif sebagai Pelaksana kebijakan dan menjalankan pemerintahan, Legislatif sebagai pembuat UU dan Pengawasan terhadap jalannya Pemerintahan , dan Yudikatif yang bertanggung jawab terhadap penegakan, penjatuhan putusan dan perkara Hukum, tiga cabang kekuasaan ini dipecah untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam demokrasi, sehingga dapat menjaga keseimbangan kekuasaan dalam system pemerintahan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasan, dan munculnya keluarga politik dalam demokrasi sangat mungkin untuk berpotensi mengacaukan konsep trias politika.
Dari konsep trias politika diatas Bisa dibayangkan betapa tingginya potensi penyalahgunaan kekuasaan apabila keluarga politik menduduki kekuasaan eksekutif dan legislatif, kepentingan yang dibawa keluarga politik tentu akan lebih mulus jika yang menjalankan pemerintahan (eksekutif) diawasi oleh keluarga sendiri (legislative) negatifnya adalah keluarga politik dapat dengan mudah memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok mereka, sementara rakyatlah yang lagi-lagi akan menjadi korban dari praktik korupsi dan kebijakan yang tidak efektif.
Untuk melihat fenomena ini, saya mengutip 2 pandangan tokoh yang berbeda,
Hillary Clinton mantan ibu Negara Amerika Serikat pernah berkata “Keluarga Politik adalah Masyarakat tertutup, yang hanya berbicara dengan diri mereka sendiri, mereka cenderung memiliki pandangan yang sama dan kurang beragam, ini bukanlah tanda sebuah demokrasi yang sehat” dia memandang keluarga Politik sebagai suatu kemunduran dalam demokrasi, dikarenakan akan mengurangi partisipasi pemikiran yang lebih beragam, sebagaimana kita ketahui sebuah masalah maupun kebijakan akan lebih efektif jika kita mampu melihat masalah lebih luas dan dari berbagai macam sisi, sedangkan keluarga politik cenderung tidak memiliki itu karena lingkungan yang juga cenderung tertutup terhadap berbagai macam masukan maupun kritik yang membangun ini pula berakibat pada tertutupnya partisipasi ‘orang luar’ dalam perjalanan dan kemajuan dipemerintahan itu sendiri.
Adapula pandangan David Axelrod tentang Keluarga politik adalah “Keluarga politik dapat menjadi kekuatan politik yang kuat dalam politik, tetapi mereka juga dapat menjadi cacat yang menghambat kemajuan” David Axelrod memiliki pandangan yang moderat tentang keluarga politik, bahwa keluarga politik memiliki sisi negatif dan positifnya masing-masing, bahwa kekuasaan dalam pemerintahan memang memerlukan posisi yang kuat untuk menjalankan kebijakan, akan tetapi juga rawan untuk disalah gunakan.
Pada dasarnya kembali pada pribadi yang diamanatkan kekuasaan tersebut, Penguasa haruslah pribadi yang menyadari bahwa kekuasaan adalah alat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan pribadi sebagaimana yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi “kita harus berhenti memikirkan politik sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan atau kekayaan, sebaliknya kita harus melihat politik sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan semua orang” Selain penyalah gunaan kekuasaan Dinasti demokrasi juga dapat mempengaruhi perkembangan demokrasi itu sendiri.
Karena kekuasaan terkonsentrasi pada keluarga politik yang sama, sulit bagi partai politik lain atau calon independen untuk bersaing secara adil dalam proses politik.
Dikarenakan keluarga politik bisa menggunakan fasilitas pemerintahan untuk kepentingan citra kerabatnya, seperti menempatkan keluarga sendiri dijabatan pemerintahan yang strategis, dan menggunakan mesin pemerintahan untuk membiayai “kampanye terselubung” keluarganya, inilah yang banyak terjadi hari ini dimana politik bagi jatah dan jabatan adalah hal yang lumrah secara telanjang dipertontonkan oleh penguasa kita.
Untuk mengatasi dinasti demokrasi, diperlukan reformasi politik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam sistem politik. Reformasi ini dapat dilakukan dengan cara memperkuat lembaga-lembaga negara yang independen dan memberantas korupsi dan nepotisme di dalam sistem politik,
Selain itu, masyarakat juga dapat memainkan peran penting dalam mengatasi dinasti demokrasi dengan cara meningkatkan partisipasi politik dan memilih pemimpin yang berkualitas dan independen.
Masyarakat harus menghargai dan memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan rekam jejaknya dalam memimpin, bukan hanya karena faktor kekerabatan atau kelompok politik tertentu. Karena sejatinya keluarga politik bukanlah hal terlarang dalam peraturan UU demokrasi kita, siapa saja bisa menduduki jabatan selama itu mendapat restu dari mayoritas masyarakat sebagai pemilih, oleh Karena itu kedewasaan dan pemahaman demokrasi sejatinya harus dipahami oleh masyarakat luas sebagai pemilik hak suara dalam memilih pemimpin, dan secara sadar memahapi pentingnya menghindari terciptanya keluarga politik dalam suatu pemerintahan.
Sebagai kesimpulan Dinasti demokrasi adalah suatu tantangan bagi kemajuan demokrasi dan keadilan dalam suatu negara. Oleh karena itu, setiap negara harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan atau dinasti dalam demokrasi dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dalam konsep trias politika dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. (*)
Penulis: Andi Ayub Awu Abdullah (Presdium Debaya Institute)