Majelis Ramadan #10: Kisah dan Doa Husnul Khatimah

ADA dua kisah tentang husnul khatimah yang sangat menarik; pertama, kisah wafatnya Abu Zur’ah, kedua, kisah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati dua ulama kita ini.

Muhammad bin Muslim bin Warah bercerita, ia mengunjungi Abu Zur’ah ar-Razi yang sedang menghadapi sakratulmaut. Ia meminta Abu Hatim yang juga ikut hadir ketika itu untuk menalqin Abu Zur’ah.

Saya malu kalau harus menalqin Abu Zur’ah dengan syahadat. Tapi, mari kita mengulang sebuah hadits, barangkali jika dia mendengar, dia akan bisa menjawab,” kata Abu Hatim menolak secara halus.

Maka kemudian, Muhammad bin Muslim membacakan hadits tentang keutamaan melafalkan kalimat tahlil.

Ia mengawali dengan membaca sanad hadits yang menggunakan redaksi Haddatsanā (telah bercerita kepada kami)–salah satu model periwayatan hadits.

Haddatasanā Abu Ashim an-Nabil, Haddatsanā Abdul Hamid bin Ja’far.”

Entah kenapa, Muhammad bin Muslim malah lupa dan sama sekali tidak bisa melanjutkan hadits tersebut dengan lengkap, seakan-akan belum pernah mendengar atau membacanya.

Abu Hatim kemudian mencoba untuk mengulangi pembacaan silsilah para perawi hadits. Tapi ternyata, dia pun lupa. Sama seperti Muhammad bin Muslim, hafalannya terhenti di perawi yang bernama Abdul Hamid bin Ja’far.

Tiba-tiba, Abu Zur’ah membuka mata. Ia melanjutkan hadits yang dimaksud, lengkap dengan sanad dan matannya,

Haddatsanā Muhammad bin Basyar, Haddatsanā Abu Ashim an-Nabil, Haddatsanā Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih bin Abi ’Arib, dari Katsir bin Murrah, dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang akhir ucapannya di dunia La ilaha illa Allah (tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allahmaka dia akan masuk surga.”

Setelah membacakan hadits ini secara utuh, Abu Zur’ah langsung menghembuskan nafas terakhirnya. Isak tangis para pelayat pecah. Mereka berdesak-desakan memadati rumah Abu Zur’ah rahimahullah.

Kisah ini sangat-sangat menakjubkan. Betapa tidak, daya ingat Abu Zur’ah saat sekarat lebih kuat daripada orang normal. Dia menutup lembaran hidupnya dengan sangat indah; mengucapkan kalimat tauhid. Masyaallah.

Sejarah mencatat, Abu Zur’ah mendedikasikan hidupnya untuk mendengar dan menyampaikan hadits, maka Allah menjadikan akhir kehidupannya lekat bersama hadits nabi yang agung. Semoga hal itu merupakan tanda husnul khatimah. Kisah inspiratif ini diabadikan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya.

Dalam kisah Abu Zur’ah, terdapat ibrah (pelajaran) yang sangat penting untuk kita renungkan, bahwa seorang yang menyibukkan diri semasa hidupnya dengan suatu amalan, maka dia akan diwafatkan dengan amalan itu. Man ‘Aada ‘ala Syay’in, Maata ‘alaihi.

***

Ada satu kisah tentang husnul khatimah lagi yang tidak kalah menarik untuk disimak. Kisah ini bercerita tentang keteguhan Imam Ahmad di detik-detik terakhir hidupnya. Kisah menakjubkan ini, diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam mahakaryanya, Shifatu ash-Shafwah.

Abdullah, putranya, bertutur, “Saat ajal mendatangi ayahku, aku berada di sisinya, duduk menemaninya. Kulihat ia berkeringat. Sesekali tersadar dan membuka kedua matanya.”

“Kemudian ayahku berkata, ‘Tidak. Belum. Nanti.’ Dia mengulanginya sebanyak tiga kali.”

“Lalu aku pun bertanya, ‘Wahai ayah, ada apa ini? Engkau meracau sampai berkeringat. Kami mengira engkau telah wafat, tapi engkau kembali dan berkata tidak, belum, nanti.’”

“Kemudian ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tahukah kamu, sesungguhnya aku berkata kepada Iblis la’natullah. Ia datang di hadapanku sambil meratap, menggigit jari jemarinya seraya berkata, ‘Engkau menang Ahmad. Engkau menang. Aku sudah kalah.’

“Maka dari itu aku menimpalinya, ‘Tidak. Belum. Nanti.’”“Kemudian Imam Ahmad meninggal setelah menepis tipu daya Iblis.” Apa hikmah yang dapat kita petik dari kisah Imam Ahmad di atas?

Pertama, bahwa kemenangan sejati bukan diraih di dunia ini. Lihatlah bagaimana keteguhan Imam Ahmad. Dia tahu betul kalau itu hanya akal-akalan Iblis agar ia merasa hebat; ujub. Maka ia tidak mau terjebak.

Kedua, Iblis tidak akan kehabisan semangat, dan tidak akan kehilangan cara untuk terus menggoda, terutama di akhir hayat seorang mukmin.

Dari dua tokoh agung ini, kita belajar betapa berharganya kalimat tauhid. Setiap muslim pasti berharap mempunyai keteguhan jiwa dengan kalimat yang kokoh itu. Hanya kepada Allah kita meminta agar dianugerahi keimanan yang kuat seperti mereka.

يُثَبِّتُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۚ وَيُضِلُّ اللّٰهُ الظّٰلِمِيْنَۗ وَيَفْعَلُ اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ

Yuṡabbitullāhullażīna āmanụ bil-qauliṡ-ṡābiti fil-ḥayātid-dun-yā wa fil-ākhirah, wa yuḍillullāhuẓ-ẓālimīn, wa yaf’alullāhu mā yasyā.

Allah meneguhkan (imanorang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhiratdan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Berikut ini salah satu doa husnul khatimah yang sangat viral di kalangan para ulama sebagaimana dikutip oleh Imam al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيْمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ لِقَائِكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْخَاتِمَةِ الْحَسَنَةِ، وَتَوَفَّنَا وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا

Allahummaj’al khaira a’mālinā khawātīmahāwa khaira ayyāminā yauma liqā-ikawakhtim lanā bil khātimatil hasanatiwa tawaffanā wa anta rādhin ‘annā

Artinya:

Ya Allah, jadikanlah baiknya amal kami sebagai akhir hidup kami, jadikanlah hari perjumpaan kami dengan-Mu sebagai hari terbaik kami, dan akhirilah hidup kami dengan husnul khatimah, dan wafatkanlah kami dalam ridha-Mu. Semoga Allah subhanahu wata’ala mewafatkan kita semua dalam kondisi husnul khatimah. Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq.(Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here