KAYANTARA.COM, TANJUNG SELOR – Pada tanggal 1 Maret 2024 lalu sekira pukul 18.00 Wita, kapal Landing Craft Transport (LCT) Self Propelled Oil Barge (SPOB), milik PT Mayon tenggelam di perairan Tanah Kuning, Bulungan ketika hendak menuju Pelabuhan Jeti PT. KAI Pendadak Desa Mangkupadi.
Meski begitu hingga saat ini berita ini masih senyap, khususnya di Kalimantan Utara. Meskipun seperti diketahui, Tanah Kuning – Mangkupadi adalah lokasi pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa pengembangan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) diluasan 30 ribu Ha.
LCT yang tenggelam semestinya bukan hal biasa, kejadian ini patut menjadi perhatian serius, sebab kawasan pesisir yang saat ini diplot menjadi kawasan industri ini juga merupakan wilayah tangkap nelayan, dimana penghasilan warga digantungkan.
Mengutip keterangan, Manager Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddi, atas kejadian tersebut, ia menegaskan hal itu berpotensi terjadinya pencemaran lingkungan di perairan Indonesia, dan tak dipungkiri kejadian serupa terus berulang sejak tahun 1999 hingga saat ini, ini menjadi salah satu kejahatan lingkungan.
“Tumpahan minyak di Indonesia sering terjadi dan dianggap sebagai suatu kejahatan lingkungan. Itu dianggap pencemaran biasa, padahal dampak dari pencemaran minyak ini itu jangka panjang,” kata Parid dalam keterangannya Selasa 5 Maret 2024.
Tentu, jika hal ini berpotensi pencemaran terhadap laut pesisir di Tanah Kuning – Mangkupadi, tentu saja tak hanya berimbas pada masyarakat, tetapi juga biota laut yang ada disitu.
Kejadian kapal terbalik ini, konon katanya juga sudah diketahui pihak aparat, namun begitu hingga saat ini belum diketahui seperti apa tindakannya. Hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak, makhluk hidup yang ada disekitarnya. Dinas terkait tentunya harus melakukan tindakan cepat, khususnya berkaitan dengan upaya antisipasi pencemaran di pesisir laut tersebut.
“Kami sempat mencari tahu informasi masyarakat setempat, beberapa saat pasca kejadian ditemukan adanya bekas tumpahan minyak sejenis solar. Itu hanya sebagian kecil yang bisa terdeteksi langsung mata telanjang, perlu ada penelusuran lebih jauh memastikan kondisi laut baik-baik saja,” tegas, Staf Kampanye Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) Nasrullah.
Perlu dipertegas, bahwa laut Tanah Kuning – Mangkupadi jangan sampai nasibnya serupa seperti beberapa kejadian serupa, seperti halnya saat adanya tumpahan minyak di laut Balikpapan beberapa tahun lalu, dimana kerusakan yang ditimbulkan cukup serius, bukan hanya ekosistem lautnya, tetapi juga terpaparnya manusia.
Info warga setempat yang namanya enggan di korankan menyebutkan, dua hari pasca kejadian bertemu dengan nelayan Kampung Baru, rumahnya berdekatan dengan lokasi. Bekas tumpahan seperti minyak sempat terlihat, tapi karena kondisi waktu itu musim ombak sehingga bekasnya cepat terbawa ke tengah laut.
“Anak bapak nelayan itu, ketika itu mengangkat pukat lobster dekat dengan titik kejadian, saat mengambil hasil tangkapan lobster posisi dihidupkan di samping perahu, sambil narik pukat. Kebetulan kumpulan seperti Solar lewat cukup banyak timbul dari pada tenggelam jadi udang lobster nya mati,” ungkapnya.
Hal ini berpengaruh buruk bagi nelayan di Tanah kuning dan Mangkupadi, jika benar ada tumpahan minyak dapat mempengaruhi produktivitas nelayan tangkap udang pijah, Bagan dan Aktivitas Wisata di Pesisir Pantai. otomatis akan mempengaruhi pendapatan masyarakat lokal. sehingga perhatian pemerintah baik penegak hukum harusnya punya kepastian yang jelas.
Sebagai bahan analisis, dimana hasil laut cukup diperhitungkan, berdasarkan informasi
pada laman resmi DKISP Kaltara, April 2021, menyebutkan Provinsi Kalimantan Utara memiliki luas pesisir laut mencapai 1.587.071,08 Hektar, memungkinkan para nelayan meningkatkan nilai produksi tangkap lautnya. Pada tahun 2019 saja produksi perikanan tangkap laut Kaltara mencapai 35.262,56 Ton dengan total nilai produksi mencapai 1.369.268,29 Juta Rupiah.
Hasil produksi tangkap laut Kaltara didapat dari Kota Tarakan sebesar 23.704,27 Ton dengan total nilai produksi sebesar 972.472,23 Juta Rupiah; Bulungan sebesar 6.779,61 Ton dengan total nilai produksi sebesar 199.308,77 Juta Rupiah; Nunukan sebesar 4.022,04 Ton, dengan total nilai produksi sebesar Rp179.485,60, dan Tana Tidung 756,64 Ton dengan total nilai produksi sebesar Rp18.001,68. Sementara Kabupaten Malinau tidak memiliki hasil produksi tangkap lautnya di karenakan tidak memiliki wilayah pesisir atau laut.
Potensi diatas sangat menjanjikan, namun dengan agenda KIHI hari ini, wilayah tangkap nelayan semakin jauh dan berkurang. Belum lagi dengan adanya kejadian kapal terbalik, yang dimungkinkan terjadi pencemaran pada laut, hal itu juga dapat mempengaruhi hasil laut tersebut.
Hasil laut ini tidak lepas dari usaha-usaha nelayan lokal yang hidup di pesisir. Hasil
cukup tinggi pada 2021-2022. Sebagai contoh wilayah pesisir Kaltara Desa Tanah Kuning – Mangkupadi, mayoritas hasil laut dari Bagan (Bangunan di atas laut untuk jebakan ikan), penghasilan rata-rata nelayan Rp10-15 juta per bulan.
Jumlah Bagan di Sepanjang Pantai Tanah Kuning dan Mangkupadi, berkisar 105 Bagan. Valuasi ini berdasarkan survei sederhana yang dilakukan jika di total / tahunnya dapat menghasilkan perputaran uang atas kesejahteraan bagi masyarakat setempat sekitar Rp10-15 miliar.
Jika kejadian ini diabaikan, bisa saja ada kejadian serupa kemudian hari, yang tidak hanya mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat, tetapi juga mengancam potensi hasil laut, yang merupakan sumber penghasilan nelayan setempat.
“Artinya dengan kekayaan alam yang melimpah ini mampu menghidupi masyarakat Tanah Kuning – Mangkupadi dan Bulungan khususnya. Tanpa negara hadir secara langsung untuk mengurusi masyarakat, masyarakat bisa hidup cukup damai dan mampu membiayai keluarganya. Selama kehidupan laut mereka tidak terganggu oleh kebijakan pembangunan dan industri yang merusak ekosistem lautnya,” tambah Nasrul. (**)