
Siapa yang masih ingat euforia awal pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)? Digadang-gadang sebagai pilar ekonomi desa, mesin pertumbuhan yang akan membawa kemakmuran hingga pelosok negeri. Modalnya? Miliaran rupiah, dikucurkan dengan penuh harapan. Tapi kini, banyak BUMDes hanya tinggal nama, sekadar papan nama lusuh di pinggir jalan desa. BUMDes mati suri.
Dulu, para kepala desa menyambut program ini dengan gegap gempita. Rapat digelar, rencana bisnis disusun, proposal diajukan. Uang pun cair. Tapi lalu apa? Banyak BUMDes yang hanya berjalan di awal, kemudian lesu, lalu hilang tanpa jejak. Ada yang tutup tanpa sempat berkembang, ada pula yang masih bertahan, tapi hanya sekadar hidup, nyaris tanpa nyawa.
Apa yang salah?
Dari Harapan Besar ke Kenyataan Pahit
BUMDes seharusnya menjadi mesin ekonomi lokal. Tapi realitas berkata lain. Bisnis yang dipilih sering kali tidak relevan dengan kebutuhan desa. Misalnya, mendirikan toko kelontong di desa yang sudah penuh warung, atau membuat usaha air minum dalam kemasan tanpa riset pasar. Tanpa inovasi dan perencanaan matang, bisnis BUMDes justru mematikan usaha kecil warga.
Masalah lain? Manajemen yang buruk. Banyak pengurus BUMDes hanya sekadar ditunjuk, bukan dipilih berdasarkan kompetensi. Uang ada, tapi keahlian tidak. Laporan keuangan tidak jelas, perputaran modal mandek, hingga akhirnya usaha pun tumbang.
Dan jangan lupa—politik lokal sering ikut bermain. Ada BUMDes yang dikelola bukan untuk kepentingan desa, tetapi untuk kepentingan segelintir orang. Ketika modal sudah dikucurkan, tidak ada pengawasan ketat. Akhirnya, uang habis, usaha macet, dan BUMDes tinggal cerita.
Masih Bisa Diselamatkan?
Haruskah kita membiarkan BUMDes benar-benar mati? Tentu tidak. Ada harapan jika dikelola dengan benar. Solusinya?
- Pilih usaha yang benar-benar dibutuhkan desa. Jangan sekadar ikut tren, tapi sesuaikan dengan potensi lokal. Jika desa punya hasil pertanian unggulan, kembangkan agroindustri. Jika dekat dengan destinasi wisata, kelola homestay atau transportasi lokal.
- Manajemen profesional. Pengurus BUMDes harus benar-benar kompeten, bukan sekadar “titipan.” Buka peluang bagi anak muda desa yang punya wawasan bisnis dan semangat inovasi.
- Pengawasan ketat. Dana desa bukan uang pribadi. Transparansi harus dijaga. Jika perlu, buat laporan keuangan yang bisa diakses publik.
- Kolaborasi, bukan monopoli. BUMDes harus jadi mitra masyarakat, bukan pesaing. Jangan mematikan usaha kecil, tapi justru membantu mereka berkembang.
BUMDes tidak boleh dibiarkan mati suri. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi jalan menuju kemandirian desa. Tapi jika terus dibiarkan tanpa solusi, BUMDes hanya akan menjadi kuburan dari sebuah gagasan besar yang tak pernah benar-benar hidup.