Kepala KPLP dan Kalapas Kelas II-A Tarakan Layak untuk Dicopot

Fajar Mentari

KAYANTARA.COM, TARAKAN – Penyalahgunaan Narkoba adalah salahsatu di antara tiga bentuk kejahatan yang masuk kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) selain tindak pidana korupsi dan terorisme. Terbukti lebih dari 50 persen Napi di seluruh Indonesia adalah para pecandu dan pengedar narkoba. Maka diperlukan langkah yang extra ordinary serta membutuhkan sinergi semua pihak untuk memberantas peredaran Narkoba. Sehingga tingkat peredaran Narkoba bisa diminimalisir sekaligus sebagai bentuk penegakkan supremasi hukum.

Alih-alih mau mendukung dan menyukseskan program pemberantasan Narkoba, tindakan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kelas IIA Kota Tarakan memberikan izin salah satu Napi bernama Andi Arif ‘bebas berkeliaran’ di luar patut untuk dipertanyakan.

Hal itu dikemukakan Fajar Mentari, Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara Provinsi Kalimantan Utara (LNPPAN Kaltara), saat ditemui di Kafe Boss’Q di bilangan Jalan Kusuma Bangsa, Tarakan Timur. “Ada apa gerangan ini kok ada seorang Napi yang terkesan mendapat privilege (keistimewaan),” ujarnya.

Seperti diketahui, sebelumnya diberitakan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kota Tarakan bernama Andi Arif alias Hendra (32 tahun) diamankan ke Mako Satbrimob Polda Kaltara pada Minggu (04/9/2022). Hendra ini merupakan tahanan atau narapidana Lapas Kelas IIA Tarakan dalam kasus kepemilikan Narkotika jenis sabu seberat 11 kg yang telah divonis hukuman 18 tahun penjara. Hukuman pertama 12 tahun sudah selesai, lalu residivis Hendra kembali berulah sehingga dijatuhkan hukuman 18 tahun lagi.

Belum tuntas hukumannya, Hendra lagi-lagi berulah. Hendra kedapatan positif Narkoba setelah tes urine saat diamankan oleh anggota Satbrimob Polda Kaltara, padahal Hendra baru menjalani masa hukuman selama 9 tahun penjara.

Pria yang akrab disapa FM ini juga mempertanyakan, narapidana yang telah menjalani hukuman selama bertahun-tahun di Lapas, seharusnya sudah bersih dari pengaruh narkotika. Namun ada fakta yang berbeda dengan Hendra yang dibina oleh Lapas Tarakan Kelas IIA Tarakan ini.

FM pun memberikan apresiasi terhadap jajaran Satbrimob Polda Kaltara yang secara sigap mengambil tindakan. Ia menilai intuisi dan inisiatif anggota Satbrimob tersebut sangat peka. Dikatakannya, Satbrimob Polda Kaltara yang mengamankan Hendra patut diacungi jempol. Selain mengamankan Hendra, aparat Satbrimob Polda Kaltara juga dinilai cekatan melakukan tes urine terhadap Hendra yang alhasil positif Narkoba.

“Ini dilakukan lantaran Hendra merupakan Napi Narkoba, sehingga potensi untuk masuk ke lubang yang sama itu sangat patut diduga, dan terbukti dugaan petugas tidak meleset. Ini merupakan sikap antisipasi penghilangan jejak pelanggaran, yang pada prinsipnya bahwa tidak boleh ada potensi pelanggaran yang lolos dari pengawasan petugas Brimob sebelum meninggalkan pos pengamanan Mako Brimob,” ungkap FM.

Hal lainnya, sambung FM, ada yang tidak sinkron antara pengakuan awal Hendra saat anggota Satbrimob mengamankannya. Saat itu, kata FM, Hendra mengaku telah mengantongi izin untuk berobat. Sementara, berdasarkan keterangan Kepala Lapas (Kalapas) Kelas IIA Kota Tarakan, Hendra memperoleh izin luar biasa lantaran anaknya sakit.

“Anehnya, kenapa Hendra tidak spontan (tanpa ragu) saja menyebut alasan anaknya sakit di mana itu masuk dalam ketentuan untuk memperoleh izin luar biasa? Apakah karena Hendra belum di-briefing dulu?” heran FM.

FM kemudian kembali bertanya, bila Hendra memang merasa yakin alasan anaknya sakit, merasa fakta kuat anaknya sakit dan merasa sudah sesuai dengan permohonan izinnya, lalu kenapa bukan alasan itu saja yang disebutkan? “Toh informasi Kalapas bahwa izinnya karena anak sakit, lantas kenapa Hendra tidak memakai alasan yang sesuai dengan surat izinnya? Waktu Hendra izin keluar itu alasannya apa? Masa’ Hendra belum baca surat izinnya? Kenapa Hendra tidak spontan saja menjawab apa adanya?” tanya FM.

FM juga mengaku curiga dengan alasan Kepala Lapas Kelas IIA Kota Tarakan mengeluarkan izin kepada Hendra berdasarkan alasan Hendra yang tidak masuk akal. “Alasan Kalapas ini juga agak mencurigakan, lebih memungkinkan tidak masuk akalnya daripada masuk akalnya”.

Dalam keterangan yang disampaikan Kepala Lapas Kelas IIA Kota Tarakan, bahwa Hendra dikawal satu orang petugas. “Emangnya Kalapas tidak mikir kalau saja Hendra punya potensi melarikan diri dengan melawan jika lawan dianggap imbang? Dan buktinya saat penangkapan, benar saja dia ada upaya perlawanan. Saya bingung dengan logika seorang berpangkat Kalapas. Syukur-syukur kalau pendamping Hendra yang sendirian tersebut dipersenjatai lengkap. Ironisnya, boro-boro didampingi sama pengawal yang dilengkapi senjata, bahkan tidak ada penjaga seorang pun saat diamankan di TKP,” heran FM lagi.

Tetapi apapun argumentasi Kalapas, tindakan melepas Hendra untuk keluar tanpa pengawalan itu sangat berbahaya dan memberi ruang sang  Napi untuk melarikan diri. Apalagi untuk Napi yang masuk kategori extra ordinary crime dengan jumlah barang bukti yang fantastis. Sehingga sang Napi sangat layak untuk dicurigai sebagai bagian dari sindikat Internasional yang dapat dipastikan memiliki banyak uang.

Tokoh intelektual muda Kaltara ini juga kembali mempertanyakan surat izin yang dibawa Hendra. Harusnya, kata FM, surat izin tersebut dipegang oleh petugas yang ada di lapangan dan telah diarsipkan di kantor.

“Jadi bisa disesuaikan secara menyeluruh, baik itu tertanggalnya, nomor suratnya, bentuk tanda tangannya, stempelnya, isi teks suratnya, dan bentuk fisik suratnya,” katanya lagi.

Pasalnya, saat ditangkap petugas, Hendra mengaku memperoleh izin keluar dari Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP). Namun sayang, Hendra tak bisa menunjukan surat ijin keluar/berobat  kepada petugas karena alasannya surat tersebut dipegang oleh Kepala KPLP Lapas.

“Memangnya Hendra tidak tahu kalau suratnya juga dipegang oleh pengawalnya? Sesuai dengan keterangan Kalapas bahwa ada petugas di tempat yang sama namun tidak melekat. Lalu kenapa Hendra tidak spontan bisa menunjukkan keberadaan petugas pengawal yang tidak melekat atau tidak menempel tapi berada di tempat yang sama saat itu, supaya bisa menunjukkan suratnya?” ulas pria yang juga menahkodai Lembaga Nasional Anti Korupsi Republik Indonesia provinsi Kalimantan Utara (LNAKRI Kaltara) ini.

“Berdasarkan fakta tersebut, maka tidak salah dong kalau saya menduga jangan-jangan si Hendra tanpa pengawalan dan belum mengantongi surat izin luar biasa, yang dalam arti kalau pas kena apesnya, surat izinnya bisa nyusul dibuat dengan tanggal mundur, toh tanda tangan dan stempel bisa dibawa kemana saja oleh pejabat berwenang Lapas,” lanjutnya.

FM pun menduga ada keteledoran pihak Lapas Kelas IIA Kota Tarakan. Dari kasus ini, dia juga curiga ada unsur ‘percintaan gelap’ dari pihak-pihak tertentu. Yang pasti, kata dia, bahwa patut diduga ada ‘sandiwara cinta’ yang diperankan oleh para mereka yang merasa disindirnya.

“Termasuk bocornya informasi yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Lapas. Dari mana informasi itu bisa bocor kalau bukan dari ‘orang dalam’? Dan kita juga jangan menutup kemungkinan bahwa bisa jadi itu ‘settingan’, dalam arti ada upaya penggagalan yang dilakukan oknum dengan mem-briefing mereka untuk berontak supaya si Hendra batal dipindahkan. Keterangannya tersebut terkesan secara tidak langsung menganggap masyarakat kita itu bodoh. Berhenti membohongi masyarakat!” tegasnya. Atas pelanggaran itu, Fajar menganggap jika Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham layak memberikan sanksi pencopotan kepada Kepala KPLP dan Kalapas Kelas IIA Kota Tarakan,

“Demi terciptanya kewibawaan hukum serta terpenuhinya equality before the law (asas keadilan dan persamaan di hadapan hukum dengan tidak ada pengecualian), terutama terkait kasus peredaran Narkoba yang sangat mengancam generasi penerus bangsa. Keduanya sangat layak untuk dicopot,” tandas FM di penutup wawancaranya. (kt2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here