KAYANTARA.COM, TARAKAN – Berbagai macam keluhan nelayan tradisional dan kecil di Provinsi Kalimantan Utara telah disampaikan dalam acara Rembug Nelayan yang digagas Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di Tarakan pada 15 Februari 2023.
Bertempat di Taman Berlabuh Kelurahan Lingkas Ujung, Tarakan Timur, masing-masing perwakilan nelayan dari kabupaten kota se-Kaltara diberi kesempatan mengutarakan uneg-unegnya.
Misalnya perwakilan nelayan dari Kabupaten Bulungan Bulungan Arbain meminta kepada pihak terkait agar dilakukan penertiban dan pengawasan alat tangkap tidak ramah lingkungan (destructive fishing). Yakni berupa pukat hela atau yang dikenal Pukat Kurau
“Kami berharap kepada instansi terkait agar bisa menyelesaikan permasalahan soal destructive fishing ini. Kami ingin perairan terjaga, aman, dan damai. Adanya pukat Kurau yang masih beroperasi. Nelayan Rawai sangat sulit memasang rawainya di perairan sungai,” ujarnya.
Mereka juga berharap sesama nelayan agar bisa menangkap di jalur yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Sementara nelayan dari Malinau Marcel Cocin meminta agar pihak terkait melakukan pengawasan sepanjang Sungai Sesayap hingga ke Malinau dari aksi perusakan setrum aksi, mesin genset dan racun.
Serta meminta penerbitan kartu tanda anggota nelayan (KUSUKA). Dan dilakukannya sosialisasi kartu jaminan sosial tenga kerja.
“Perlu tambahan daerah tangkapan yakni ke wilayah Mansatul, Muara Betayau dan lain-lain dengan alat tangkap pukat dan merawai,” tuturnya.
Selanjutnya nelayan dari Kabupaten Tana Tidung (KTT) Aris mengungkapkan bahwa masih ada beberapa nelayan yang aktif menyetrum dan meracun di perairan Sungai Sesayap Tana Tidung.
“Persoalan bantuan, masih terjadi beberapa kelompok nelayan tidak mendapatkan bantuan mesin dan lain-lain. Dan ada beberapa kelompok Nelayan masih belum mendapatkan Kartu e-KUSUKA,” katanya.
“Jauh sebelum harga BBM naik, nelayan kecil membeli BBM di atas harga resmi. Karena nelayan membeli BBM di pengecer dengan harga Rp 15 ribu per liter, mengingat infrastruktur SPBUN tidak sebanding dengan sebaran desa pesisir,” tambah dia.
Nelayan Desa Menjelutung, lanjut dia, menggunakan BBM jenis premium dalam waktu sepekan menghabiskan 35 liter untuk satu nelayan atau perahu.
Ia juga menyampaikan ppersoalan kurangnya peranan aktif PPL ke desa tersebut untuk melakukan update dan upaya pembinaan khususnya kepada nelayan pesisir.
“Masalah BPJS Ketenagakerjaan belum ada disosialisasikan ke nelayan. Persoalan lain, nelayan tradisional Tana Tidung belum memiliki kartu pas kecil,”
Keluh kesah serupa juga disampaikan Tamrin perwakilan nelayan dari Kabupaten Nunukan dalam acara tersebut.
Tamrin menyebutkan pada September 2022 lalu, para nelayan mengikuti pertemuan dengan instansi terkait di Nunukan mengenai zonasi seluruh alat tangkap.
Pada pertemuan tersebut sudah ada beberapa kesepakatan. Misalnya budidaya rumput laut harus dibuatkan zonasi. Namun hingga sekarang belum ada realisasinya.
Persoalan lain yang disampaikan adalah masalah BBM bersubsidi yang dianggap masih kurang. “Kuota yang disiapkan untuk Kabupaten Nnunukan masih kurang. Kami akhirnya pakai BBM Malaysia. Apakah pemerintah tidak malu,” ungkapnya.
Thamrin juga mengeluhkan soal sulitnya pemasaran pengolahan produk perikanan. Serta meminta perlunya pelatihan di tiap kelompok-kelompok pengolahan produk perikanan di Nunukan.
Persoalan BBM juga disampaikan perwakilan nelayan Tarakan bernama Iwan. “Kelangkaan BBM membuat nelayan yang biasa melaut 5 sampai 7 hari, sekarang 2-3 hari saja,” ungkap dia singkat.
Sementara Rika pelaku usaha perikanan asal Tarakan mengeluhkan ketersediaan bahan baku. ikan Bandeng.
“Ketika UMKM sedang memproduksi, bahan bakunya kurang. Sementara kami selama ini dituntut untuk memproduksi produk dengan bahan baku dari Kaltara. Peralatan produksi juga masih menggunakan peralatan yang manual,” katanya.
“Buatkan kami outlet khusus UMKM dengan produk di bidang perikanan. Kami ingin tamu yang datang ke Tarakan itu mencari produk UMKM di bidang perikanan. Jangan sampai nelayan menangkap nelayan agar tidak terjadi gesekan. Sehingga diharapkan penegak hukum yang bertindak,” tambah Rika.
“Limbah sudah menyebar ke mana-mana. Padahal pulau kecil. Ini mengganggu aktivitas nelayan. Dan belum ada solusi dari stakeholder terkait,” ungkap Haryono perwakilan nelayan dari Bunyu. (kyt)