KAYANTARA.COM, NUNUKAN – Keberadaan rupiah di tapal batas Indonesia-Malaysia di Kabupaten Nunukan masih memprihatinkan. Bagaimana tidak, sekitar 70 bahkan mencapai 100 persen, mata uang Malaysia masih dijadikan sebagai alat transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan hari-hari bagi warga setempat.
Tepatnya di Pasar Sei Nyamuk, Kecamatan Sebatik Timur, Pasar Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah dan Pasar Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara.
Demikian diungkapkan Rusman, warga Nunukan yang turut hadir dalam acara Capacity Building Wartawan Bisnis dan Ekonomi Kalimantan Utara (Kaltara) Bank Indonesia di Yogyakarta, akhir pekan lalu.
“Di Pasar Aji Kuning hampir tidak ada uang rupiah, kalau di Pasar Sei Pancang 30 berbanding 70, 30 persen rupiah 70 persen ringgit,” kata Rusman.
BI: PEMDA HARUSNYA BUAT PERDA
MENANGGAPI masalah ini, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kalimantan Utara, Hendik Sudaryanto, sejauh ini BI sudah melakukan berbagai cara untuk mendaulatkan rupiah di wilayah perbatasan tersebut.
Pertama, BI Kaltara telah menyediakan suplai uang yang mencukupi kebutuhan transaksi masyarakat di daerah itu. Kedua, yakni dengan meningkatkan pemerataan sarana infrastruktur penunjang. Dalam hal ini adalah lokasi money changer atau tempat penukaran uang. Baik money changer dalam bentuk lembaga atau perorangan yang mendapat izin dari BI.
Program ketiga, yaitu dengan terus melakukan edukasi dan sosialisasi. Dalam hal ini, BI Kaltara menyarankan Pemda Nunukan, aparat keamanan maupun tokoh masyarakat harusnya turut ambil bagian.
“Misalnya Pemda harusnya dibuatkanlah Perda (peraturan daerah) atau Perbup (peraturan bupati,” kata Hendik. “Berbicara penggunaan rupiah memang tidak sekadar dari masalah ekonomi saja, tapi juga soal jiwa nasionalis sebagai bangsa Indonesia. Pada dasarnya, BI tidak melarang masyarakat untuk memiliki kok. Yang tidak boleh hanya menggunakannya untuk transaksi ketika masih di Indonesia,” tegasnya.
Apalagi penggunaan rupiah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Mengacu UU tersebut, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan atau transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1, akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta
“Sampai saat ini kita memang melakukan pendekatan-pendekatan yang soft. Sehingga tidak ada gesekan-gesekan dalam mengajak masyarakat untuk mematuhi UU mata uang. Ini akan terus kita lakukan sampai penggunaan rupiah untuk transasaksi bisa mencapai 100 persen,” demikian Hendik. (ky1)