
KAYANTARA.COM, BERAU– Langit di atas Kampung Long Ayan perlahan memucat. Embun menggantung di dedaunan, menyisakan kesejukan pagi yang selalu akrab bagi Hat Budwung. Ketua Adat Dayak Gaai itu berdiri di tepi Sungai Segah, memandangi aliran air yang tak pernah lelah mengalir. Di tepiannya, akar pohon besar mencengkeram tanah, menandakan keteguhan hutan yang telah berusia ratusan tahun.
Di balik keheningan pagi, kegelisahan tumbuh.
Puluhan tahun lalu, perusahaan perkebunan sawit datang membawa janji. Jalan baru, lapangan kerja, dan perubahan ekonomi. Tapi Hat Budwung tidak langsung percaya. Baginya, hutan ini bukan sekadar tanah, bukan sekadar pohon yang bisa dihitung nilainya dalam rupiah.
Hutan adalah rumah. Tempat roh leluhur bersemayam, tempat anak-anak belajar tentang kehidupan, dan tempat sumber penghidupan warga berasal.
“Mereka bilang sawit membawa kemakmuran,” katanya dalam pertemuan adat. Matanya menatap tajam ke arah warga yang berkumpul di Balai Adat. “Tapi kita tahu, di banyak tempat, sawit datang membawa kehancuran. Lalu, setelah semua habis, mereka pergi.”
Suasana hening. Warga Long Ayan terbagi dua. Ada yang ingin bertahan dengan cara lama, menggantungkan hidup pada rotan, damar, dan hasil hutan lainnya. Tapi ada juga yang tergoda dengan janji perusahaan. Pekerjaan tetap, penghasilan bulanan, dan jalan yang lebih baik.
Hat Budwung tahu, ia tidak bisa hanya menolak tanpa alasan. Maka, ia berjalan. Menelusuri desa-desa yang telah lebih dulu menerima sawit. Ia melihat bagaimana hutan lenyap, sungai tercemar, dan tanah adat tergadai. Ia mendengar cerita tentang warga yang kehilangan tanahnya sendiri, terpaksa menjadi buruh di tanah yang dulu mereka miliki.
Saat kembali ke Long Ayan, hatinya sudah bulat.
Ia berdiri di depan warga, menyampaikan apa yang ia lihat. Ia tidak menolak perubahan, tapi ia tidak mau kehilangan warisan leluhur. Maka ia membuat aturan. Jika sawit harus masuk, hutan adat tidak boleh tersentuh. Sungai Segah harus tetap jernih. Situs-situs adat harus tetap berdiri. Perusahaan harus tunduk pada aturan adat, bukan hanya datang untuk mengambil lalu pergi.
Hari ini, di Kampung Long Ayan, hutan masih berdiri. Sungai Segah masih mengalir jernih. Sawit ada, tapi tidak menguasai segalanya.
Dan ada satu hal lagi yang berubah.
Di awal tahun 2025, listrik PLN akhirnya masuk ke Kampung Long Ayan. Cahaya menerangi rumah-rumah warga, menyala di setiap sudut kampung. Malam tak lagi hanya berteman lampu minyak atau genset berbunyi parau. Kini, anak-anak bisa belajar di bawah lampu listrik, ibu-ibu bisa menyimpan bahan makanan lebih lama di lemari pendingin, dan warga bisa menjalankan usaha kecil dengan lebih leluasa.
Namun di balik terang lampu, perjuangan tetap berlanjut.
Pada tahun 2024, Hat Budwung menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah atas dedikasinya menjaga hutan tetap ada. Sebuah pengakuan atas keteguhannya melindungi warisan leluhur dan memastikan keseimbangan alam tetap terjaga.
Namun perjuangannya belum selesai. Saat ini, ia meminta perusahaan tetap bekerja dan memenuhi janji yang tertuang dalam AMDAL yang telah disepakati. Hutan tetap harus berdiri. Sungai harus tetap jernih. Dan warga Long Ayan harus tetap menjadi tuan di tanah mereka sendiri. (nca)