Fenomena SPBU yang Tak Berujung

Oleh: Akbar Syarif (Ketua KNPI Tarakan)

PANJANGNYA antrean dan kemacetan yang berkepanjangan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Tarakan merupakan fenomena sosial yang tak berujung. Kisah lama yang tak kunjung ada penyelesaiannya. Kondisi ini sangat memprihatinkan, baik itu dilihat dengan kacamata hukum, maupun menggunakan kacamata sosial.

Ramainya keluhan yang mengebiri hak-hak umum ini, telah acapkali saya jumpai di lapangan, sehingga merangsang saya untuk mengkritisinya. Bagi saya ini adalah sebuah tragedi, karena hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, kebijakan liar ini menjadi tontonan yang membosankan, karena sudah keluar dari ketentuan yang seharusnya.

Tragedi ini sudah bukan rahasia umum, karena nampak jelas bahwa selalunya kondisi SPBU itu dibanjiri penghisap BBM yang tidak mengantongi izin resmi. Pengetap itu di depan mata, tidak main meong-meongan alias sembunyi-sembunyi, dan itu dibuktikan oleh mobil-mobil yang berjejer bahkan bermalam di depan SPBU, motor-motor yang bertangki besar, dan para penggandeng jerigen jumbo juga ikut berpartisipasi setiap pagi dalam rangka meramaikan lomba antrian paling depan, dan lomba pengisian BBM paling cepat.

Lalu mengapa para pihak-pihak yang berkewenangan masih pura-pura buta-tuli, karena diam itu menerangkan terjadinya pembiaran. Perlu kita ketahui bersama bahwa tindakan para pengecer BBM yang menjual BBM di luar SPBU atau melakukan niaga tanpa izin usaha niaga, merupakan tindak pidana kejahatan, sebagaimana itu sudah diatur dalam pasal 53 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Secara pribadi, saya tidak keberatan jika para pengetap tetap memperoleh kebijakan istimewa. Kenapa saya katakan istimewa? Karena notabenenya jelas bahwa hal ini adalah perkara yang melanggar UU Migas sebagaimana yang termaktub dalam pasal 53 dan pasal 55 UU RI Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun, jangan berarti kebijakan istimewa ini boleh bercampur manja.

Sudah dikasih hati, tapi masih minta jantung, dalam arti bahwa sudah diberikan kebijakan yang istimewa dengan tidak mengindahkan UU Migas, tetapi ditambah lagi sesukanya memotong hak pelayanan umum yang seyogianya harus diprioritaskan.

Jadi butuh kerja sama yang baik dengan seluruh pihak, khususnya pengetap. Jangan pelayanan kepentingan umum yang menjadi korbannya, ironis sekaligus miris jika konsekuensi antri yang berkepanjangan justru dibebankan kepada masyarakat yang lebih luas, lalu menguntungkan segelintir pihak yang sifatnya hanya membawa kepentingan pribadi, dan kelompok.

Yakni pengetap, seperti pengecer Bentol, pengusaha yang operasionalnya bisa menyedot BBM dalam skala besar, bahkan mungkin penimbun. Kondisi seperti ini tentu sudah bukan soal yang tidak adil lagi, tapi sangat tidak adil, karena mestinya di balik dong, utamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Sehingga harapannya adalah para pengetap harus menerima dan siap dengan segala konsekuensinya, jika masih melanggar, tidak mau diatur, tidak tertib, maka saya mempertegas agar para pemangku tupoksi silahkan ambil sikap dengan harus menindak tegas tanpa pandang bulu, tidak tebang pilih, anti pilih kasih, jangan diskriminasi.

Dalam konteks sosial, para pengetap adalah sahabat kita semua. Tetapi dalam konteks hukum, tidak ada kompromi dengan sahabat, terlebih lagi kekasih.
Saya berharap agar para pengambil kebijakan atau pihak-pihak yang berkewenangan mengurus terkait hal ini dapat mengatur, menertibkan, dan mengakomodirnya dengan sebaik-baiknya dalam bentuk yang berkeadilan, serta dalam wujud kebersamaan yang lebih bersahabat.

Pemerintah diharapkan dapat mengambil peran untuk memberantas gangguan ini berangkat dari akarnya.
Saya bukan punya maksud untuk mempersulit para pengetap, tapi mohon dimengerti jika saya hanya ingin menyederhanakan problem ini untuk tujuan yang berkeadilan dan kebersamaan yang bersahabat.

Silahkan pemerintah memberi kebijakan, tentu dengan menciptakan jalan tengahnya, yaitu dengan mengatur jadwal kapan mereka boleh mengetap, pastinya di waktu-waktu yang tidak berbenturan dengan waktu-waktu padatnya aktifitas dan rutinitas masyarakat luas, khususnya para pekerja kantor yang juga mengejar jam kerja untuk memberikan pelayanan umum lainnya di tempat mereka masing-masing bekerja.

Sehingga semua pelayanan umum lainnya juga bisa terakomodir dengan baik, antrean dan kemacetan bisa ditertibkan, semua pelayan bergerak lancar, tidak lagi mengganggu kepentingan masyarakat luas.
Jangan lantaran prioritas pelayanan umum yang satunya macet, seperti SPBU, lalu berimbas kepada pelayanan umum lainnya, membuat semua pelayanan umum jadi terhambat. Jadwal pengetap itu semisal jam 20.00 Wita atau di atasnya.

Sekali lagi saya sampaikan bahwa selama itu tidak mengganggu hak pelayanan kepentingan umum, maka saya pribadi tidak mempermasalahkan mereka untuk mengetap, jadi prinsipnya adalah jangan mendahului kepentingan pelayanan hak orang yang lebih banyak. (**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here