Tantangan Usaha Migas

Catatan: H.Rachmat Rolau
(Ketua Dewan Kehormatan PWI Kaltara)

KAWAN saya seorang pengusaha tambang, mengeluh. Bukan lantaran uangnya habis. Atau uangnya makin berkurang. Keluhannya cuma ini: “harga batu bara turun”! Satu waktu dia bilang lagi: “harga sawit turun”! “Lantas apakah dengan turunnya dua komoditas itu Anda langsung berhenti jadi pengusaha”? “Tentu tidak,” jawabnya.

Saya katakan, dalam dunia usaha sudah pasti ada hambatan. Ada tantangannya. Tetapi hambatan dan tantangan itu justru sebagai bagian uji nyali bagi Anda dan kawan-kawan yang bergerak di bidang usaha padat modal dan padat teknologi.Saya memang tidak tanya soal bagaimana pembagian hasil usaha tambang batu bara, antara pemerintah dengan pengusaha itu sendiri.

Apakah juga ada ketentuan pembagian yang baku antara mereka sebagaimana perusahaan tambang migas.Artinya, kalau pengusaha tambang batu bara hanya membayar kewajiban seperti pajak dan royalti ke pemerintah, tentu saja bebannya jauh lebih ringan dibanding perusahaan migas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22/2001.Dalam diskusi antar-pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Utara dengan manajemen PT MedcoEnergi di Crown Hotel Tanjung Selor belum lama ini, terungkap betapa besar tantangan dan resiko yang dihadapi kalangan kontraktor migas.Dalam proses mencari (eksplorasi) saja, kontraktor mulai berhadapan dengan resiko.

Sebab, tidak semua sumur yang ditemukan berpotensi menyimpan cadangan minyak. Sebab, di dalam sumur ada kandungan-kandungan yang memungkinkan kontraktor akan mengalami kerugian jika dilakukan penambangan.Dari segi biaya juga cukup besar. Jutaan dolar. Kalau tidak salah, antara 5 hingga 7 juta dolar untuk mengangkat minyak dalam satu sumur. Ini tantangan internal. Tantangan eksternalnya juga ada. Soal lahan. Lahan yang masuk dalam wilayah kerja pertambangan (WKP) PT Medco di Tarakan, mulai dipadati pemukiman warga.

Padahal, di situ terdapat sumur-sumur yang masih prodktif. Untuk mereproduksi sumur-sumur itu lagi sudah sangat sulit.Dalam skema pembagian hasil usaha antara perusahaan migas dengan pemerintah, kontraktor migas juga rentan mengalami kerugian. Dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract), semua resiko menjadi beban kontraktor.Negara, sebagaimana terungkap dalam diskusi antara PWI dengan manajemen MedcoEnergi, tidak memiliki resiko atas kegagalan dalam proses eksplorasi.

Dalam sistem ini, negara juga tidak perlu mengeluarkan modal investasi untuk kegiatan pengoboran.Sementara, pembagian hasil usaha migas juga beberapa manajemen Medco telah menjelaskan secara rinci. Misalnya, hasil penjualan minyak sebesar Rp 10.000.000, maka kontraktor akan menghitung terlebih dahulu biaya operasionalnya.

Jika biaya operasional yang dikeluarkan sebesar Rp 6.000.000, sisanya Rp 4.000.000 dibagi dengan pemerintah. Ketentuannya: 85 persen negara, dan 15 persen kontraktor. Ini beda dengan bagi hasil gas yang persentasenya 70 pemerintah dan 30 persen kontraktor.Dilihat dari persentasenya, sepertinya pembagian ini tidak imbang.

Namun, dengan persentase yang terlihat besar itu, negara masih akan membagi ke daerah-daerah. Dari provinsi penghasil ke beberapa daerah di bawahnya: kabupaten dan kota. Itulah sistem bagi hasil pembagian harta ‘karun’ milik negara yang akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.(*)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here