KAYANTARA.COM, JAKARTA – Pembangunan listrik ke darah 3T (Terdepan, Tertinggal dan Terluar) terus diupayakan demi mewujudkan energi berkeadilan hingga pelosok nusantara.
Di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), PLN berhasil menghadirkan terang di Desa Bohe Silian, Desa Payung-Payung dan Desa Teluk Harapan, setelah berhasil menyambungkan listrik ke Pulau Maratua.
Pulau Maratua adalah salah satu pulau terluar yang teletak di Kaltim. Tersohor dengan keindahan alam bawah lautnya, Pulau Maratua sering disebut sebagai primadona destinasi wisata bahari di Kabupaten Berau.
Wakil Bupati Berau Agus Tantomo mengatakan bahwa listrik PLN untuk Pulau Maratua sudah lama didambakan oleh warga desa. Pasalnya, listrik merupakan elemen yang amat penting untuk menggerakkan roda perekonomian disana yang mayoritas didominasi oleh nelayan dan pelaku wisata.
“Tentu kami sangat gembira dengan masuknya PLN ke Pulau Maratua. Sebagai langkah awal kami mengapresiasi upaya PLN menghadirkan listrik untuk warga Maratua,” tutur Agus sebagaiman dilansir dari siaran pers PLN.
Mewakili masyarakat, Ketua DPRD Kaltim Makmur yang juga turut hadir dalam peresmian daring ini menyampaikan bahwa listrik sudah menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat, sehingga harus diupayakan pemerataannya.
“Dengan teknologi yang terus berkembang, listrik menjadi hal yang paling dibutuhkan. Terlebih, dalam kondisi pandemi saat anak-anak bersekolah dari rumah, kita bekerja dari rumah, semua itu membutuhkan listrik sebagai elemen dasarnya. Jajaran pemerintah daerah harus selalu pro aktif membantu dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan PLN dalam upaya menerangi negeri,” ucap Makmur.
Dengan listrik yang disuplai oleh PLTD Maratua, sedikitnya ada 600 potensi pelanggan yang menikmati listrik PLN untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari.
Untuk melistriki Pulau Maratua, PLN telah membangun jaringan tegangan menengah (JTM) sejauh 18 kms dan jaringan tegangan rendah (JTR) sejauh 15 kilometer sirkuit (kms) serta memasang 8 unit trafo dengan kapasitas 800 kVA.
General Manager PLN UIW Kaltimra, Sigit Witjaksono, menjelaskan bahwa rasio desa berlistrik di Kalimantan Timur sudah 100 persen, dengan 77.84 persen desa telah berlistrik PLN per September 2020.
“Dari 1038 desa di Kalimantan Timur, 808 desa sudah dilistriki oleh PLN. Dalam melistriki desa-desa terpencil atau 3T, tantangan terbesarnya adalah medan yang sulit. Di Pulau Maratua misalnya, dimana mobilisasi material besar hanya bisa lewat jalur laut, dan dihantam ombak yang tinggi. Namun itu bukan menjadi hambatan bagi kami untuk terus menerangi negeri”, terang Sigit.
Selain di Kutai Timur, PLN juga berhasil menyambungkan jaringan listrik pedesaan untuk Desa Kaubun dan Desa Muara Pantun di Kabupaten Kutai Timur.
Desa Kaubun dapat ditempuh selama 4 jam dari ibukota Kutai Timur, Sangatta. Di desa ini, PLN siap melistriki hingga 901 pelanggan. Demi melistriki Desa Kaubun PLN telah membangun JTM sepanjang 13.7 kms, JTR 14 kms, dan memasang 7 buah travo dengan kapasitas total 500 kVA.
Sementara di Desa Muara Pantun yang berjarak 128 km dari Sangatta. PLN akan menyambung listrik untuk 269 pelanggan. Dengan dukungan 5 unit trafo berkapasitas total 450 kVA, JTM 6.8 kms, JTR 8.8 kms, PLN hadir untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
“Merupakan kebanggaan bagi kami dapat melistriki hingga ke daerah-daerah terpencil. Kami akan terus upayakan pemerataan listrik, sesuai dengan misi PLN untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui ketersediaan listrik,” kata Sigit.
Listrik Menyala di Lembata, Nusa Tenggara Timur
Tak hanya di Kaltim, melistriki desa-desa terpencil juga dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kali ini 151 kepala keluarga Desa Belobatang Kecamatan Nubatukan Kabupaten Lembata berhasil menikmati aliran listrik, setelah PLN membangun jaringan listrik ke desanya.
Untuk melistriki Desa Belobatang, PLN membangun JTM sepanjang 8,8 kms, JTR sepanjang 1,4 kms, dan 1 buah gardu dengan kapasitas 50 kVa.
Kepala Desa Belobatang, Paskhalis Demon Udak mengatakan bahwa hadirnya listrik lebih hemat dibandingkan menggunakan lampu pelita yang dulu mereka gunakan.
“Sebelumnya warga menggunakan lampu pelita untuk penerangan di malam hari, dengan biaya setiap bulan sekitar Rp200.000,- namun sejak listrik menyala warga membeli token Rp50.000,- dan sampai sekarang belum beli lagi token.
Selain itu untuk kegiatan ibadah di gereja sebelumnya menggunakan genset dengan membeli BBM di Lewoleba Rp400.000,- per bulan serta harus mengantri sepanjang 2 kilometer untuk mendapatkan BBM dan hingga sekarang token Rp.200.000,- belum habis digunakan,” lanjut Paskhalis.
Terangnya desa-desa di daerah seluruh Indonesia merupakan wujud kerja nyata PLN dalam mengawal Indonesia terang. (*/sur)