Tanggungjawab Pers

Catatan: H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)

SAYA sering ditanya teman-teman. Dari kalangan akademisi, pengusaha, dan wartawan. Pertanyaan mereka sama: “apakah wartawan harus netral dalam pilkada”. Saya jawab, tergantung posisinya. Maksud saya,  jika wartawan sebagai personal  yang tidak sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya,  boleh saja berpihak.  

Mengapa?  Karena wartawan juga punya hak politik.  Kawan saya bilang,  jangankan wartawan, Tuhan saja berpihak. Lantas bagaimana memisahkan antara seseorang sebagai personal dengan seorang sebagai profesional? 

Jawaban sederhananya begini: seseorang dianggap sebagai personal,  ketika simbol-simbol yang melekat pada dirinya ditanggalkan, serta tidak sedang menjalankan profesinya. Wartawan, misalnya. Kedudukannya dianggap personal, manakala sudah menanggalkan simbol-simbol kewartawanan, dan tidak sedang menjalankan tugas jurnalitiknya. Maka dalam konteks pilkada, mereka boleh berpihak pada satu pasangan calon.

“Undang-Undang No.40 tahun 1999  tentang Pers” maupun ”Kode Etik Jurnalistik” tidak melarang hal itu. Wartawan boleh berpihak sebagai PRIBADI, bukan sebagai LEMBAGA.  Netralitas seorang wartawan menjadi wajib, ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik. Di sana, wartawan harus berdiri di semua golongan. Tidak boleh menulis berita yang berpotensi menggiring opini agar publik memilih salah satu pasangan calon.

Pasal 1 huruf (c) kode etik jurnalistik, disebutkan,  “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita BERIMBANG, akurat dan tidak beritikat buruk”.  Bahwa ketika sedang menjalankan fungsinya sebagai jurnalis, mereka harus berdiri di semua golongan. Dan memberi ruang yang sama terkait pemberitaan.

Di pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pers ada fungsi pers. Fungsi-fungsi itu antara lain,  pers  berfungsi sebagai media pendidikan dan sosial kontrol.  Tegas, bahwa  eksistensi media sebagai lembaga, memang  wajib netral,  karena kedudukannya sebagai lembaga edukasi dan pengontrol sistem keseimbangan demi terwujudnya pranata sosial masyarakat.

Pada prinsipnya, pers telah menjadi kekuatan besar dalam mempengaruhi  masyarakat. Karena itu, beban yang dipikul insan pers juga tidak ringan. Tanggungjawab pers tidak saja terletak pada kualitas beritanya, tapi juga dampak yang ditimbulkan beritanya. Ibarat orang yang diteriaki maling, bisa saja berakibat buruk karena orang yang diteriaki maling berpotensi dihakimi massa beramai-ramai.

Di sinilah pers diuji  kejujurannya. Diuji  independensinya. Diuji profesionalitas dan kompetensinya. Media yang dikendalikan oleh jurnalis-jurnalis yang punya kompetensi, akan selalu berupaya menghindari berita-berita yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Guna menghindari ekses-ekses negatif,  organisasi pers terus melakukan revolusi perubahan. Termasuk di antaranya, uji kompetensi bagi para jurnalis, serta uji verifikasi bagi setiap media. Tujuannya, agar lembaga pers benar-benar profesional dalam menjalankan fungsi dan peranannya.

Diakui atau tidak, pers tak jarang ke luar dari koridor profesionalisme dan etika jurnalistik. Kemerdekaan pers masih diterjemahkan sebagai kebebasan untuk memberitakan apa saja, dengan gaya apa saja. Sensasional, bombastis, provokatif, dan kadang menyerang hak privasi seseorang.

Pengacara senior, Amir Syamsuddin, pernah mengatakan, pers terkadang gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasannya. Seperti penyebaran berita bohong, provokatif, bahkan sampai pada pembunuhan karakter (character assassination).

Dalam victimisasi pers, katanya, dikenal yang namanya “Korban Tanpa Adanya si Pelaku” (victims without crimes). Artinya, adanya korban karena adanya hubungan timbal balik (interrelationship) – antara pemberitaan pers dengan masyarakat.

Dalam kasus ini, Pakar Hukum Pidana, J.E. Sahetapy menyebut,  pers bisa dikategorikan sebagai pelaku “ invisible crime” – pelaku kejahatan yang tidak terlihat – karena dampak pemberitaannya, sehingga terjadi balas dendam, main hakim sendiri, bahkan mungkin pengrusakan di mana-mana.

Terkait hal ini, ahli victimologi, Schafer, berpendapat, untuk hal-hal yang terkait pelanggaran oleh pers, diperlukan tanggungjawab fungsional yang jauh lebih besar dari sekadar tanggungjawab pers sebagai alat reformasi dan demokrasi. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here