KAYANTARA.COM,TARAKAN – Banyak di kalangan masyarakat yang menganggap narapidana selalu berbuat tindakan kejahatan sehingga setelah keluar dari masa hukuman akan langsung dikucilkan.
Salah satunya mantan narapidana Arif Budi Setyawan, eks napiter (narapidana teroris) menyatakan ada kekeliruan masyarakat dalam penanganan orang yang terpapar radikalisme, yakni saksi sosial dengan mengucilkan mereka.
“Ini tindakan keliru, mereka yang terjerumus harusnya dirangkul dan dibina karena kalau dijauhi mereka justru bisa kian jauh tersesat,” kata mantan aktivis radikalisme-terorisme 2002-2014 di Tarakan, sebagaiamana dikutip dari siaran pers FKPT Kaltara.
Hal itu diungkapkan saat menjadi narasumber dalam dialog interaktif digelar BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) Nusantara Kalimantan Utara dengan tema “Upaya Memahami dan Menangkal Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi di Kaltara”.
Ibarat tanaman, kata mantan napiter bebas 23 Oktober 2017, mereka yang terpapar akan layu jika dikurung.
“Justru lebih berbahaya saat mereka disisihkan dalam pergaulan sosial,” ujar Arif yang kini aktif jadi peneliti dan praktisi radikalisme – terorisme di Kreasi Prestasi Perdamain 2019.
“Dengan perkembangan media sosial sekarang, akhirnya mereka mencari kelompok yang sepaham dengan dia,” imbuh pria kelahiran 20 Januari 1982 itu.
Kontra narasi saat ini sangat penting karena berdasarkan pengalamannya saat “tersesat”, berawal dari sering membaca tentang tertindasnya umat Islam oleh Amerika.
“Benar seperti disampaikan oleh Ketua FKPT Kaltara bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme adalah tanggung jawab bersama untuk mendorong lebih masif kontra narasi di media massa dan media sosial,” kata penulis buku “Internetistan Jihad Zaman Now” dan novel “Angin dan Bidadari” itu.
Sebelumnya, narasumber lain dari Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen memaparkan tentang potensi radikalisme di provinsi termuda itu.
Salah satunya, literasi digital belum mampu menangkal radikalisme dan menumbuhkan nilai kebhinekaan dalam masyarakat.
Seperti juga daerah lain di Indonesia, indeks potensi radikalisme lebih tinggi pada mereka yang punya akses internet, khususnya masyarakat urban dan milenial.
Secara nasional, ia menyebut, dari 47.000 media siber di Indonesia baru 2.700 terverifikasi Dewan Pers.
Artinya, imbuh dia puluhan ribu media online rawan disusupi berita yang bisa menyesatkan.
“Begitu pula kita melihat di media sosial maka lebih banyak konten yang bisa menjerumuskan ketimbang mencerahkan sehingga ini tanggung jawab kita semua,” katanya.
Menjawab pertanyaan mahasiswa tentang cara mudah memahami tentang radikalisme, salah satunya jika ada sikap menyangkal empat pilar kebangsaan Pancasila, UUD 1945, Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Jadi membentengi diri dari radikalisme juga harus memahami tentang empat pilar kebangsaan ini,” katanya.
“Kalau perlu, ada mata kuliah khusus tentang pencegahan radikalisme, terorisme dan inteloransi, mengingat peran pemuda begitu strategis sebagai agen perubahan,” katanya.
Acara melibatkan sejumla perwakilan mahasiswa dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Peserta antara lain dari Universitas Borneo, STMIK, Politeknik Bisnis Kaltara, Politeknik Kaltara, STIE, IPNU Tarakan, IPPNU Tarakan, Forum Komunikasi Kota Tarakan, Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Nunukan, dan Keluarga Pelajar mahasiswa Kabupaten Bulungan. (pri)