KAYANTARA.COM, JAKARTA – Ketua Komite III DPD RI, Hasan Basri mendesak Kementerian Agama (Kemenag) mempertimbangkan kembali usulan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023.
Pasalnya, kenaikan BPIH yang mencapai Rp 30 juta dinilai memberatkan masyarakat. BPIH diusulkan Kemenag sebesar Rp 98.893.909 atau naik Rp 514.888,02.
Sementara itu, BPIH yang dibebankan kepada jamaah untuk tahun ini mencapai Rp 69.193.733 atau naik Rp 30 juta per jamaah dari Rp 39,8 juta di tahun 2022.
Jumlah biaya yang dibebankan kepada calon jemaah mencapai 70 persen dari total BPIH. Sedangkan 30 persen lainnya dari nilai manfaat pengelolaan dana haji sebesar Rp 29.700.175.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri menilai, usulan yang diajukan oleh Kemenag terlalu tinggi dan pasti memberatkan memberatkan masyarakat.
“Jika ada perubahan mendadak atas nama istitoah akan sangat merugikan jamaah yang akan berangkat tahun ini, sebab mereka harus menyiapkan dana tambahan dengan kisaran Rp30 jutaan dalam waktu singkat. Bagi mayoritas calon jamaah yang harus menabung bertahun-tahun angka itu cukup besar,” kata Hasan Basri.
“Kemenag harus menghitung lagi secara rinci struktur cost BPIH. Penghematan bisa dilakukan di setiap rincian struktur cost tersebut,” jelas Hasan Basri.
Senator asal Kalimantan Utara itu juga turut mempertanyakan kenaikan BPIH yang dilakukan Kemenag tahun ini.
Sebab, hal itu dilakukan ketika Pemerintah Arab Saudi tahun ini justru mengambil kebijakan untuk menurunkan paket biaya haji, baik bagi jamaah domestik maupun luar negeri.
Hasan Basri juga menilai, BPIH Indonesia mestinya tidak perlu naik karena jumlah jamaahnya yang terbesar di dunia.
“Jika ada kenaikan Rp 30 juta seperti usulan Kemenag dikali kuota haji reguler yang berjumlah 203.320 orang, uang jamaah yang berhasil terkumpul Rp 14,06 triliun,” jelas Hasan Basri.
“Ditambah lagi dari manfaat dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp 5,9 triliun, total dana yang dipakai dari uang jamaah adalah Rp 20 triliun lebih per tahun. Ada lagi biaya penyelenggaraan haji dari APBN Kemenag sebesar Rp 1,27 triliun dan Kemenkes sebesar Rp 283 miliar,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ia menganggap usulan kenaikan BPIH tidak bijak. Hasan Basri juga merekomendasikan kepada Kemenag untuk menghitung kembali serta melakukan rasionalisasi anggaran yang terlalu tinggi. Seperti Living cost, tiket, dan lain-lain.
“Usulan yang diajukan tidak bijak, dan perlu dihitung kembali. Apalagi, pandemi Covid-19 baru landai dan mereda sehingga masyarakat masih berupaya menggerakkan kembali roda perekonomian mereka. Di sisi lain, saat ini sudah ada Badan Pengelola Keuangan Haji/BPKH yang mengelola keuangan haji,” kata Hasan Basri.
Hasan Basri menilai, kehadiran badan ini semestinya dapat meningkatkan nilai manfaat dana simpanan jamaah.
“Semakin tinggi nilai manfaat yang diperoleh, tentu akan semakin meringankan beban jemaah untuk menutupi ongkos haji,” katanya.
Lebih lanjut, Hasan Basri juga mengatakan, BPKH yang ada saat ini, belum menunjukkan prestasi memadai.
Menurutnya, pengelolaan simpanan jemaah tidak jauh beda dengan sebelum badan ini ada. Oleh karena itu, ia merasa wajar jika ada yang mempertanyakan pengelolaan keuangan haji yang diamanahkan pada BPKH.
Jika tetap dinaikkan, ia khawatir akan ada asumsi di masyarakat bahwa dana haji dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur.
“Kalau di medsos, sudah banyak yang bicara begitu. Katanya ongkos haji dipakai untuk infrastruktur. Semestinya BPKH dan kemenag menjawab dan memberikan klarifikasi. Biar jelas dan semakin transparan,” kata Hasan Basri.
Hasan Basri juga menegaskan perlu audit pengelolaan dana haji yang saat ini mencapai Rp160 triliun.
Menurutnya perlu dipastikan dana yang ditempatkan dalam berbagai platform investasi tersebut benar-benar bisa optimal memberikan nilai manfaat bagi calon jamaah haji Indonesia. “Hasil audit ini juga memungkinkan munculnya opsi-opsi optimalisasi dana manfaat haji baik dalam bentuk investasi atau yang lain,” pungkasnya. (*/mediaHB)