Oleh: Syamsi Sarman
KENAPA Ramadan selalu datang dan pergi setiap tahun, tetapi kualitas spritualitas kita tidak mengalami peningkatan.
Bahkan cenderung menurun kalaulah tidak mau dikatakan semakin merosot. Padahal, kita sudah lakukan syarat dan rukunnya, tidak makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Tarawih delapan atau dua puluh sudah juga dikerjakan setiap malam. Tadarus Alquran meskipun sedikit-sedikit sudah juga kita coba. Sedekah takjil, buka puasa bersama, berbagi sembako, dan lain-lain sudah beberapa kali digelar dalam sebulan.
Berbagai lagi aktivitas Ramadan kita tunaikan hingga membayar zakat dan shalat Idul Fitri. Tak terhitung banyaknya kerabat, sahabat, semua anggota grup medsos tanpa kecuali dikirimi ucapan Marhaban ya Ramadan, selamat menunaikan ibadah puasa, selamat Idul Fitri, permohonan maaf, dan seterusnya.
Lantas kurangnya dimana, sehingga Ramadan kita terasa kering kerontang dari makna, tidak ngepek kata anak sekarang. Selepas Ramadan kondisi keimanan kita ya begitu-begitu saja. Nilai-nilai ketaqwaan sebagai buah puasa tak terlihat nyata.
Jika sebelumnya malas shalat, selepas Ramadan tetap saja kembali malas shalat. Masjid kembali sepi, anak yatim kaum dhuafa kembali tak terperhatikan, hawa nafsu, amarah dan serakah kembali tak terkendali, pengaruh syetan kembali merajalela menguasai jiwa.
Seolah ada banjir besar yang menghanyutkan semua “kekayaan ibadah” yang sempat terbangun selama bulan Ramadan. Seolah terjadi gempa dahsyat dan tanah longsor yang menenggelamkan semua “bangunan iman” yang sempat bergelora sebulan Ramadan.
Insya Allah tulisan ini secara berseri akan mencoba membedah persoalan ini, dengan maksud dan harapan kita bisa melakukan muhasabah atau evaluasi diri demi tercapainya puasa yang berkualitas. (bersambung)