WAKTU adalah nikmat terbesar yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada manusia. Semuanya mendapat jatah yang sama; 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Baik yang beriman maupun yang kafir, semua mendapat jatah yang sama.
Allah subhanahu wata’ala telah menjelaskan urgensi waktu pada banyak tempat dalam al-Quran. Dia bersumpah menggunakan berbagai jenis waktu, salah satunya adalah firman-Nya,
وَٱلۡعَصۡرِ، إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ، إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS.Al-Ashr: 1-3)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa makna al-‘Ashr pada ayat ini adalah zaman atau waktu yang di dalamnya manusia bergerak dan bertindak dalam kebaikan ataupun keburukan. (Tafsir al-Quran al-’Adzim, Ibnu Katsir, 14/451)
Menarik! Pada ayat ini Allah subhanahu wata’ala menggeneralisasi manusia dengan sifat kerugian. Artinya, setiap manusia melekat sifat merugi, lalu Allah memberikan pengecualian.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa kerugian yang dialami manusia itu bertingkat-tingkat, yaitu
Pertama, mereka yang merugi secara total, yaitu orang-orang yang merugi baik di dunia maupun di akhirat. Mereka telah kehilangan kenikmatan dunia dan kelak di akhirat masuk ke dalam Neraka.
Kedua, mereka yang merugi di sebagian keadaan. Sebagaimana keumuman ayat ini bahwa manusia semuanya merugi, kecuali mereka yang pada dirinya melekat karakter yang tertera dalam ayat ini.
Yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, beramal saleh, saling menasihati dalam ketaatan, dan saling menasihati dalam menjauhi kemaksiatan. Dua hal pertama akan menyempurnakan jiwa manusia, adapun sisanya adalah pelengkat atas dua nikmat pertama. (Tafsir as-Sa’di, Abdurrahman as-Sa’di, 1102)
Allah subhanahu wata’ala memberikan waktu kepada manusia agar mereka memikirkan kekuasaan-Nya, sehingga waktu tersebut dapat menghantarkan manusia kepada hidayah dan kebaikan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلۡنَا ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ ءَايَتَيۡنِۖ فَمَحَوۡنَآ ءَايَةَ ٱلَّيۡلِ وَجَعَلۡنَآ ءَايَةَ ٱلنَّهَارِ مُبۡصِرَة لِّتَبۡتَغُواْ فَضۡلا مِّن رَّبِّكُمۡ وَلِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ وَكُلَّ شَيۡء فَصَّلۡنَٰهُ تَفۡصِيلا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Rabbmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (QS. Al-Isra:12).
Mengoptimalkan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan sifat yang wajib dimiliki oleh seorang mukmin. Umur yang Allah berikan, mereka pergunakan sebagai kesempatan untuk memupuk amal saleh sebagai bekal menghadap kepada-Nya.
Berbeda dengan orang-orang kafir, waktu yang Allah berikan justru mereka habiskan dalam kesiasiaan. Usia mereka habis untuk sesuatu yang justru menghantarkan mereka kepada Neraka.
Al-Quran mengabarkan penyesalan mereka kelak pada hari kiamat,
وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَذُوقُواْ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.” (QS. Fathir : 37)
Maka jadilah orang-orang kafir itu sebagai manusia yang paling merugi, disebabkan karena sikap abai mereka atas waktu yang Allah berikan untuk berpikir dan merenung sebagai satu kesempatan untuk menemukan jalan kebenaran.
Imam Ibnu Katsir berkomentar ketika menafsirkan ayat ini, bahwa ayat ini menjelaskan usia (waktu) panjang yang Allah berikan merupakan kesempatan bagi manusia untuk mengambil manfaat dari kebenaran. Dan jika kesempatan tersebut dimanfaatkan dengan baik maka manusia akan mendapatkan manfaat sepanjang usianya. (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 11/331)
Para Ulama dalam Manajemen Waktu
Teringat ungkapan pepatah Arab yang biasa dihafal ketika di pesantren; “Waktu itu bagai pedang, jika tidak digunakan dengan baik, dia akan memotongmu” kurang lebih begitu makna terjemahan bebasnya.
Seorang mukmin tidak akan melewatkan satu detik pun dari waktu yang ia punya kecuali memiliki nilai kebaikan. Baik itu menambah pahala, menggugurkan dosa, berzikir, berdoa, bahkan sampai dengan tidur pun harus bernilai pahala sebagai bagian dari rangkaian ketaatan. Seorang mukmin adalah hamba Allah subhanahu wata’ala yang disiplin dalam manajemen waktu.
Ulama adalah orang-orang yang Allah berikan taufik dan hidayah perihal penjagaan mereka atas waktu dan bagaimana mengoptimalkannya. Para ulama menjadi contoh konkret dalam manajemen waktu dengan sebaik-sebaiknya.
Pekerjakan Anak di Bawah Umur Sebagai Badut Penghibur, Pria Ini Diamankan Polres Nunukan
Karena pada prinsipnya, setiap waktu harus ada nilainya. Sebagai contoh, Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitab Siyar-nya perihal sosok Ulama yang betul-betul mengisi waktunya dengan penuh kebaikan.
Adalah Hamad bin Salamah al-Bashri, Ulama ahli hadits yang masyhur dengan ilmu dan ketakwaan. Murid beliau, Abdurrahman bin Mahdi, bertutur akan sosok gurunya yang begitu totalitas dalam mengisi waktunya dalam kebaikan,
“Sekiranya ada yang mengatakan kepada Hammad bin Salamah bahwa ia akan meninggal esok hari, niscaya beliau tidak akan mampu lagi untuk menambah sedikit pun dalam amalnya.” (Siyar ‘Alam an-Nubala, Imam adz-Dzahabi, 7/447)
Saking sudah totalitasnya beliau dalam beramal, seakan-akan amalnya tidak bisa ditambahkan lagi. Sudah full, ibarat indikator baterai sudah 100%. Optimalisasi waktu yang beliau teladankan sungguh luar biasa.
Membaca kisah-kisah para salaf ash-Shalih memang harus kita lazimi. Selain untuk memotivasi, tentu juga untuk bercermin; betapa jauhnya amal yang kita punya dengan mereka. Agar generasi sekarang tidak kehilangan tokoh teladan.
Mengintip biografi para Ulama membuat kita senantiasa berdecak kagum, terkhusus bagaimana mereka mengatur manajemen waktu. Mari takjubi Ubaid bin Ya’isy! Ulama ahli hadits yang mana Imam al-Bukhari dan Muslim mengambil riwayat darinya.
Selama 30 tahun, Ubaid bin Ya’isy makan malam disuapi oleh saudari perempuannya, agar ia bisa terus menulis hadits, dan tidak terpotong waktunya untuk menyuap makanan. Ini adalah wujud penjagaan waktu yang sulit dicari tandingannya. Optimalisasi waktu yang penuh kesungguhan. (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Al-Khatib al-Baghdadi, 2/178)
Ketika seseorang mampu mengatur manajemen waktu dengan baik, disiplin, dan maksimal, maka setiap waktu yang ada akan ia lalui dengan karya yang luar biasa. Seperti yang dilakukan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ‘alimnya mufassirin dan sejarawan.
Beliau punya kebiasaan menulis yang sangat produktif, dalam catatan al-Khatib al-Baghdadi, Imam Ibnu Jarir menulis 40 lembar setiap hari selama 40 tahun. Bahkan sesaat sebelum beliau wafat, beliau masih sempat menulis sebuah doa yang dibacakan kepada beliau. (Kunuzul Ajdad, Muhammad Kurd Ali, 123)
Tidak kalah dengan Ibnu Jarir dalam hal manajemen waktu, Imam Ibnu Aqil al-Baghdadi, mencotohkan kedisiplinan soal waktu yang sulit dicari tandingannya. Ia pernah menulis sebuah kitab yang berjudul al-Funun, sebuah kitab kolosal yang berisi berbagai cabang keilmuan; mulai dari Fikih, Ushul Fikih, Ushuluddin, Nahwu, Syair, Tarikh dll.
Hal yang menakjubkan dari kitab ini adalah jumlahnya yang mencapai 800 jilid, dan ini hanya satu dari puluhan kitab yang pernah beliau karang. Imam adz-Dzahabi berkomentar, “Di dunia ini tidak ada karya tulis yang diciptakan setara dengan kitab ini.” (Kisah Hidup Ulama Rabbani, Abdul Fattah bin Muhammad, 77)
Tidak menyia-nyiakan waktu adalah karakter para ulama. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan taufik dari Allah, sehingga waktu yang mereka miliki penuh dengan kebaikan dan keberkahan, dan tidak ada yang berlalu tanpa arti.
Seperti halnya Imam Daud ath-Tha’i, bentuk manajemen waktu beliau sangat ketat. Dalam sebuah riwayat disebutkan, jika makan roti, beliau selalu mencelupkan rotinya ke kuah sup. Adapun alasannya seperti yang beliau tuturkan, “Antara sekali menelan dan mengunyah roti perbandingannya adalah bacaan lima puluh ayat. (Ibid, hlm.77)
Lembaran demi lembaran kisah para ulama harus bisa menjadi cambuk yang melecut setiap kita untuk lebih optimal dan maksimal dalam memanfaatkan waktunya. Karena itu adalah bagian dari bentuk amanah atas umur yang Allah berikan kepada setiap kita.
Waktu: Nikmat yang Dilalaikan
Berbicara soal waktu luang, memang kebanyakan dari kita sering sekali mengabaikan kesempatan, sering lalai dan kehilangan momentum. Menunda-nunda pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan sekarang dengan alasan “ah, kan bisa nanti”.
Hingga akhirnya pekerjaan-pekerjaan tersebut datang bertambah, semakin banyak dan menumpuk. Sementara waktu yang dimiliki tetap sama, hanya 24 jam sehari, sehingga banyak urusan yang menjadi berantakan.
Maka benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perihal waktu luang, yang beliau sebutkan sering menjadi nikmat yang banyak manusia lalaikan.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari No. 6049)
Semoga Allah subhanahu wata’ala berikan kita taufik dan hidayah dalam mengatur manajemen waktu kita menjadi amal-amal saleh yang penuh berkah. Nasalullaha al-‘Afiyah. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)