Kisah Inspiratif Habib an-Najjar dalam Surat Yasin

SETIAP orang beriman pasti menghadapi suatu masalah berat dalam hidupnya. Dari situlah kualitas kepribadiannya akan teruji. Jika ia mampu menghadapi masalah dengan baik, ia akan mendapat kemuliaan. Sebagaimana disebutkan dalam suatu adagium, “Bil imtihan yukramul mar’u au yuhan …” dengan ujian, seseorang akan dimuliakan atau dihinakan.

Sebagai publik figur, tentu ada beberapa kalangan yang tidak menyukai Ibnu Taimiyyah. Berbagai fitnah kerap kali merugikan dirinya. Ia dituduh sesat. Dipersekusi. Dan harus berpindah dari satu penjara ke penjara lain.

Bagaimana ia menyikapi semua itu, menunjukkan betapa tingginya kualitas keilmuan, keimanan, dan kesabaran yang ia miliki. Berikut ini kisah kesabaran Ibnu Taimiyyah dalam menghadapi ujian hidup.

Fitnah Jalaludin Al-Hanafi

Penduduk kota Hamah, meminta penjelasan kepada Ibnu Taimiyyah tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara khusus membahas masalah al-Asma’ wa ash-Shifat dalam tinjauan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (As-Salaf).

Awalnya, Ibnu Taimiyyah mengalihkan sang penanya agar meminta pendapat kepada ulama lain. Tetapi yang bersangkutan bersikeras menginginkan jawaban darinya. Maka pada tahun 690 H, permintaan tersebut dikabulkan dengan ditulisnya sebuah kitab berjudul, Al-Hamawiyah. Salah satu karya yang diselesaikan dalam waktu singkat: hanya dalam satu majlis, antara Zhuhur dan Ashar.

Delapan tahun kemudian, tepatnya di bulan Rabi’ul Awwal tahun 698 H, saat Sultan Al-Manshur Husamudd Din Lajin akan segera mengakhiri masa kekuasaannya, terjadilah keguncangan politis di Damaskus. Kondisi yang tidak stabil ini, justru dimanfaatkan oleh para fuqaha yang tidak suka kepada Ibnu Taimiyyah untuk menyudutkannya.

Kitab al-Hamawiyah yang ia susun, dituduh sesat oleh para pendengki. Mereka merasa tersaingi dalam hal ketokohan dan kealiman. Faktanya, kecerdasan Ibnu Taimiyyah telah diakui oleh semua kalangan, mulai dari masyarakat umum sampai para penguasa. Adapun narasi andalan mereka untuk menjatuhkan Syaikhul Islam ialah; kitab al-Hamawiyah menyebarluaskan paham tajsim. Berbahaya bagi aqidah masyarakat!

Padahal, sejatinya, ­al-Hamawiyah berisikan pemaparan aqidah salaf dalam memahami ayat-ayat sifat dengan penjelasan yang lugas, dalil yang kuat, bahkan disebutkan juga di dalamnya pendapat mutakallimin generasi awal yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Adalah Jalaluddin bin Husamuddin. Salah seorang qadhi mazhab Hanafi yang marah dan benci kepada Ibnu Taimiyyah, memvonis bathil kitab al-Hamawiyah, memobilisasi massa, dan menyeru mereka untuk memviralkan statementnya itu kepada khalayak ramai.

Namun, sebelum niat itu betul-betul terlaksana, sang gubernur yang bernama Saifud Din Jaghan, mengirim sekelompok ajudannya untuk menindak para buzzer suruhan Jalaludin al-Hanafi. Gubernur juga meminta agar para dalang di balik kekisruhan ini ditangkap. Tapi mereka berhasil menyembunyikan diri.

Situasi mereda tidak lama setelah Ibnu Taimiyyah, pada hari Jumat 13 Rabi’ul Awwal, menyampaikan tafsir surat al-Qalam ayat 4,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Dan sesungguhnya engkau (Muhammadberada di atas akhlak yang agung.”

Ibnu Abdil Hadi, menyebutkan bahwa materi yang disampaikan Ibnu Taimiyyah ini memberikan pengaruh yang sangat baik: keadaan menjadi lebih tenang dan kondusif. Sehari kemudian, polemik kitab al-Hamawiyah dan segala macam tuduhannya, terselesaikan.

Ditandai dengan pengakuan dari Imamuddiin al-Qazwini, seorang qadhi mazhab Syafi’i, memberi testimoni untuk kitab tersebut, “Siapapun yang menyerang dan menuduh Syaikh Ibnu Taimiyah, maka ia harus dihukum ta’zir.”

Tentu saja, sekelas al-Qazwini berkata demikian, karena sudah menelaah pemikiran Ibn Taimiyah dalam karyanya itu. Bahkan ‘uji pemikiran’ dan bedah kitab al-Hamawiyah dilakukan cukup lama: dari pagi hari hingga sepertiga malam.

Fitnah Nashr al-Munbajy

Selesai satu masalah, muncul masalah baru. Begitulah hakikat kehidupan. Ibnu Taimiyyah harus berhadapan lagi dengan fitnah yang sama persis: dituduh sesat oleh para pendengki.

Jika dahulu ada Jalaludin bin Husamudin al-Hanafi yang menuduh Ibnu Taimiyah sesat dan menyebabkan terjadinya persidangan kepada beliau, kejadian kedua ini disebabkan karena ulah seorang pembesar sufi yang tidak terima dikritik oleh Ibnu Taimiyah.

Namanya Nashr al-Munbajy. Seorang tokoh sufi, pengagum berat Ibnul ‘Arabi. Meskipun tipikalnya ekstrem, tapi ia termasuk tokoh terpandang. Rumah ibadahnya sering dikunjungi oleh para pejabat.

Nashr mendekati dan memprovokasi para qadhi Mesir dengan mengatakan, bahwa Ibnu Taimiyah berakidah buruk, ahli bid’ah, dan menentang fuqara’ (yang dimaksud adalah kaum sufi).

Padahal, ketika itu, Ibnu Taimiyah menyampaikan kritik serta meluruskan penyimpangan Syiah Rafidhah, Nushairiyah, serta kelompok sekte sufi Al-Ahmadiyah.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang makar Nashr al-Munbajy terhadap Ibnu Taimiyah, perlu diketahui terlebih dahulu bahwasannya; di saat polemik kitab al-Hamawiyah heboh dan terselesaikan dengan izin Allah Yang Maha Kuasa, pada tahun yang sama, Ibnu Taimiyah didatangi oleh Radhiyyuddin al-Wasithi asy-Syafi’i. Ia mengadukan betapa buruknya kondisi keilmuan umat Islam di negerinya; Wasith, dan di negeri-negeri lain yang dikuasi bangsa Tartar.

Inilah latar belakang masalah yang menggerakkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menulis kitab dengan judul al-Aqidah al-Wasithiyyah.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada hari Senin, 8 Rajab 705 H, Ibnu Taimiyah menggunakan kitab ini untuk membela diri saat disidang oleh Gubernur Syam yang telah terprovokasi oleh hasutan Nashr al-Munbajy yang menuding Ibnu Taimiyah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah).

Majelis ini” kata sang gubernur kepada Ibnu Taimiyah, “Diselenggarakan untuk menanyakan kepada Anda tentang aqidah Anda.”

Pada kesempatan itu, banyak ulama dan qadhi yang dihadirkan oleh sang gubernur untuk menyaksikan secara langsung proses jalannya persidangan terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah. Padahal, mereka (para fuqaha’) itu, tidak menahu sebelumnya; untuk apa mereka dikumpulkan?

Setelah dihujani gugatan bertubi-tubi, Ibnu Taimiyah menjawab,

“Persoalan aqidah tidaklah diambil dari saya, dan tidak pula dari ulama yang lebih besar dari saya. Akidah, harus diambil dari Allah, Rasul-Nya, dan apa yang menjadi Ijma’ para salaf umat ini. Demikian pula yang ada dalam hadits-hadits yang shahih seperti Shahih al-Bukhari dan Muslim.”

“Saya tidak pernah memulai penulisan sebuah buku kepada seseorang untuk mengajakanya kepada apa yang saya yakini. Saya, hanya menuliskan jawaban-jawaban untuk siapapun yang bertanya kepada saya, baik dari penduduk wilayah Mesir ataupun yang lainnya.”

“Saya juga tahu, ada sebuah kitab yang dipalsukan atas nama saya dan dikirim kepada Pangeran Ruknud Diin Al-Jasyinkir. Isinya, menyebutkan akidah yang menyimpang. Saya sendiri tidak mengetahui hakikatnya. Namun, yang sudah pasti saya ketahui, kitab itu adalah palsu!”

“Saya tahu bahwa ada sebagian orang yang mendustakan saya seperti yang terjadi beberapa kali. Jika saya mendiktekan akidah dari hafalan saya, mungkin, mereka akan mengatakan, ‘Ia pasti menyembunyikan sebagainnya’ atau ‘Ia sedang berdiplomasi.’ Maka dari itu, saya ingin menunjukkan sebuah akidah yang telah saya tulis sejak tujuh tahun lalu, sebelum invasi pasukan Tartar ke Syam.” Lalu dihadirkanlah kitab al-Aqidah al-Wastihiyyah.

Singkat cerita, majlis itu ditutup, tapi masih menyisakan beberapa hal yang dianggap perlu untuk didiskusikan lagi.

Selesai sesi pertama. Lanjut ke sesi kedua. Hanya untuk menghakimi pemikiran Syaikul Islam Ibn Taimiyah. Kali ini, para pembenci Syaikhul Islam melakukan persiapan yang lebih matang.

Shafiyurrahman al-Hindi, tokoh senior mereka, dihadirkan dalam pertemuan itu. Syaikhul Islam mengingatkan tentang perintah Allah untuk bersatu dan larangan-Nya untuk berpecah belah.

Diskusi berakhir karena Ibnu Taimiyah berhasil menjawab semua pertanyaan dengan baik. Bahkan Sulthan mengirim sepucuk surat yang membela dan mengakui keshahihan aqidah salaf yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah.

“Sesungguhnya kami telah mendengarkan dilaksanakannya sebuah majelis untuk Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Kami telah mendengar tentang majelis-majelis tersebut dan bahwa ia berada di atas mazhab as-Salaf. Dan dari itu semua, kami tidak menginginkan apa-apa selain pembersihan nama baiknya dari semua tuduhan yang dilemparkan kepadanya.”

Setelah gagal menjatuhkan Ibnu Taimiyah, Nashr al-Munbajy mencoba untuk terus memengaruhi Sultan Al-Jasyinkir di Mesir. Kali ini, gubernur Syam sempat menolak perintah dari Sultan Mesir untuk menyidang dan mengadili Ibnu Taimiyah lagi, karena dia sendiri menyaksikan sebanyak dua kali bagaimana jalannya pengadilan semacama itu dan hanya membuang-buang waktu.

Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dengan kelapangan hatinya, memenuhi panggilan dari Sultan Mesir. Penduduk negeri Syam berduyun-duyun mengerumuninya. Dengan berat hati, mereka melepas kepergian Ibnu Taimiyah, sembari mendoakan keselamatan untuk imam mereka.

Ibnu Taimiyah Memasuki ‘Istana ‘Uzlah’

Sesampainya di Mesir pada tanggal 22 Ramadhan 705 H, Ibnu Taimiyah berhadapan dengan Ibnu Makhluf al-Maliki; seorang qadhi yang menyerang Ibnu Taimiyah dengan berbagai tuduhan.

Ibnu Taimiyah berusaha untuk menyampaikan jawabannya. Tapi, belum selesai membaca muqaddimah; yang berisikan kalimat tahmid dan shalawat, Ibnu Makhluf memotong pembicaraan dan meminta Ibnu Taimiyah untuk langsung kepada inti permasalahan.

Nah, di saat itulah, Ibnu Makhluf dibuat mati kutu lalu marah dengan tanggapan yang ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyah, “Bagaimana mungkin orang seperti ini menjadi hakim untuk permasalahan saya, sementara ia memosisikan diri sebagai lawan yang menentang saya.”

Buntut dari peristiwa itu, mengakibatkan Ibnu Taimiyah dijebloskan ke dalam penjara al-Buruj selama beberapai hari. Barulah pada hari raya Idul Fitri, ia dipindahkan ke penjara lain, al-Jubb: ruang tahanan khusus pejabat yang melakukan pelanggaran berat. Tempatnya sangat menakutkan.

Ia mendekam di ‘istana uzlah’ itu selama kurang lebih satu tahun, setelah dirinya ditolong oleh para suka relawan yang berbaik hati memperjuangkan kebebasannya.

Para penolong itu adalah: Saifuddin as-Sallar, Syarafuddin Abdullah, Husamuddin Muhanna bin Isa Malik al-‘Arab. Mereka berusaha melakukan pembebasan Ibnu Taimiyah sejak bulan Syawal di tahun 706 H. Hanya saja, sebagian ulama menolaknya.

Hingga akhirnya, pada bulan Dzul Hijjah 706 H, Syarafuddin Abdullah berhasil mendebat dan membungkam Ibnu Makhluf. Tepat pada bulan Rabiul Awal tahun 707 H, Ibnu Taimiyah bebas.

Dalam rangka menuruti kemauan dari Saifuddin Sallar, Ibnu Taimiyah menetap di Mesir untuk mengajarkan ilmunya kepada penduduk setempat dan memberikan fatwa.

Banyak orang yang kemudian justru semakin cinta kepada Ibnu Taimiyah setelah ia mengalami berbagai deraan fitnah. Suatu kondisi yang buruk bagi para pembencinya. Bertambah panaslah darah dan emosi kian mendidih mereka melihat kenyataan ini.

Nashr al-Munbajy, tokoh antagonis dalam kisah ini, tidak kunjung berhenti memusuhi Ibnu Taimiyah. Dan usahanya menjebloskan Ibn Taimiyah selalu berhasil. Belum lama menghirup udara segar, Ibnu Taimiyah kembali mendekam sel tahanan di bulan Syawal 707 H.

Demikianlah potret kesabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menghadapi fitnah. Ia tetap bersabar meski harus berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya, meski pun tidak bersalah. Bahkan beliau meninggal dalam sel tahanan.

Berikut ini beberapa faidah dan pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah hidupnya:

Pertama, sikap yang ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyyah adalah al-hilm (perpaduan sifat lembut dan sabar).

Kedua, pertentangan dalam hal aqidah antara pengikut manhaj salaf dan mutakallimun, sudah terjadi sejak dahulu kala dan tidak jauh-jauh dari masalah Asma’ wa Shifat. Dibutuhkan keilmuan yang dalam dan kelapangan hati bagi siapapun yang ingin ‘menyelam’ ke dalam pembahasan ini.

Ketiga, pentingnya mewaspadai fitnah dari kalangan mutakallimun dan pengikut sufi ekstremAgar tidak mudah tersulut emosi saat menghadapi provokasi dari pihak mereka.Keempat, Allah akan menolong hamba-Nya yang jujur dalam menyampaikan al-Haq.

Sebagaimana Ibnu Taimiyah berkali-kali ‘memenangkan’ diskusi, dan diberi kesabaran serta keistiqamahan saat harus mendekam dalam penjara berkali-kali. Rahimahullahu rahmatan wasi’ah.(Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here