Tokoh Masyarakat Adat Dayak Iban Raih Penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 di Portugal

Ketua Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik, Apai Janggut, berbicara dalam acara penyerahan penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity di Lisabon, Portugal, 19 Mei 2023.

LISABON.NIAGA.ASIA – Apai Janggut, “tuai rumah panjang” (Ketua Masyarakat Adat) Dayak Iban Sungai Utik, Indonesia mendapatkan penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 dari Yayasan Calouste Gulbenkian di Lisabon (19/07), bersama dua penerima penghargaan lainnya dari Cameroon dan Brazil.

Penghargaan ini diberikan oleh António Feijó, Presiden Yayasan Gulbenkian dan Angela Merkel, Ketua Juri Gulbenkian Prize for Humanity, dalam acara yang dihadiri oleh Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa dan PM Portugal Antonio Costa.

Ketiga pemenang tahun ini ditetapkan oleh para juri yang diketuai oleh Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman. Para pemenang terpilih adalah Apai Janggut, “tuai rumah panjang” Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik; Cécile Bibiane Ndjebet, campaigner dan agronomist dari Cameroon; dan Lélia Wanick Salgado, environmentalist, designer dan scenographer dari Brazil.

Dalam acara penyerahan penghargaan ini, turut hadir Duta Besar RI untuk Portugal, Rudy Alfonso. “Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi bagi mereka yang menunjukkan komitmen luar biasa terhadap aksi lokal dan gerakan berbasis masyarakat, yang mendukung perlindungan hutan dan restorasi ekosistem,” ujar Dubes Rudy.

“Hutan adalah sumber hidup kami, yang sudah diturunkan oleh leluhur kami sejak dulu. Menjaga hutan adalah bagian dari budaya kami. Karena di dalam hutan tersebut terdapat ladang kami, tanaman obat, sungai, kuburan keramat leluhur kakek nenek kami yang sudah meninggal yang harus kami jaga.  Kami bangga, aksi kami ternyata bermanfaat bagi dunia”, ujar Apai Janggut.

Para pemenang akan menerima hadiah yang ditujukan untuk mendukung dan melanjutkan kegiatan yang sudah dilakukan, agar dapat meningkatkan aksi kerja mereka bagi restorasi ekosistem dan upaya mengatasi isu perubahan iklim, baik di tingkat tapak, nasional maupun global.

“Hadiah ini sangat berguna bagi kami, akan kami gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyiapkan mereka dalam menghadapi tantangan ke depan, untuk peningkatan kapasitas generasi muda kami, dan menyiapkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu juga untuk mengembangkan alternatif pendapatan jangka panjang seperti ekowisata dan PES (Payment Ecosystem Services),” imbuh Remang, Kepala Desa Batu Lintang, masyarakat Sungai Utik, yang turut mendampingi Apai Janggut.

Penghargaan ini membuktikan bahwa hutan dapat memberikan manfaat lebih ketika hidup, ketimbang ditebang. Aksi lokal Masyarakat Adat  Sungai Utik dalam aksi mitigasi perubahan iklim memberikan manfaat tidak saja bagi masyarakat itu sendiri, tapi juga bagi negara dan dunia.

Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik sebelumnya telah mendapatkan penghargaan nasional Kalpataru dari pemerintah Indonesia, dan UNDP Equator prize pada tahun 2019, atas upaya mereka mempertahankan hutannya dari penebangan liar, perambahan dan konversi lahan oleh perusahaan.

Dalam penganugerahan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 di Lisabon ini, Apai Janggut turut didampingi oleh Raymundus Remang, selaku Kepala Desa Sungai Utik, Joni Manehat dari Komunitas Sungai Utik, dan Yani Saloh, Friends of Sungai Utik.

Untuk diketahui, masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik berada di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, memiliki komitmen menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Mereka memiliki hutan adat seluas 9.453,5 hektar yang selalu dijaga kelestariannya dan juga dari ancaman korporasi

Komunitas Dayak Iban mendapatkan Equator Award 2019, bersama 22 komunitas lokal dan adat seluruh dunia dari UNDP [United Nations Development Programme]. Penyerahan penghargaan dilakukan 24 September 2019, di New York, Amerika

Sumber: KBRI Lisabon​​ | Niaga.Asia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here