Majelis Ramadan #8: Hilang Tiada Berbekas

Oleh: Syamsuddin Arfah

Di dalam Al-Qur’an Surah Al-Ghasyiyah ayat: 2-3

Allah berfirman: “Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk, malu dan terhina (2) (karena) bekerja keras lagi kepayahan (3).

Tentulah kita pernah membaca ayat tersebut diatas, bahkan kita menghapalkan surah itu dengan baik, dan juga sering mengulang-ulanginya  baik dalam shalat, maupun [sa1] diluar shalat, sebagai bahan renungan dan tadabbur kita terhadap ayat-ayat dan surah didalam Al-Qur’an, Mendasarkan pada ayat diatas, nanti di hari kiamat ada manusia yang datang menghadap Allah, tetapi wajahnya tertunduk malu dan merasa terhina, berinventasi banyak kebaikan, merasa punya tabungan amal shalih segudang, bekerja keras dengan letih dan penuh kepayahan, tetapi nyatanya pada hari perhitungan dan pertimbangan investasi kebaikannya di nol kan, saldo tabungan yang ditabungnya dikosongkan, pekerjaan dan amal shalih yang dilakukan dengan penuh keletihan dan kepayahan dianggap sia-sia.

Ibarat seseorang masuk ATM (anjungan tunai mandiri), merasa punya rekening prioritas ternyata ketika ingin untuk menarik dana di mesin ATM untuk keperluan yang penting dan mendesak,  tiba-tiba tertulis di mesin ATM “mohon maaf saldo dana anda lagi kosong”, orang tersebut tentu menjadi kaget dan terheran-heran, padahal orang itu termasuk customer priority tidak hanya disalah satu bank, tetapi juga di berbagai bank, sangat rajin menabung dari hasil usaha dan investasinya.

Ibarat petani yang menanam tanaman, menjelang musim panen tanamannya dimakan hama dan binatang perusak, mungkin itu adalah ibarat kaum muslimin  pada bulan ramadhan, menurut Abdurahman As-Sa’adi: “Beribadah dengan penuh kesungguhan di awal ramadhan tetapi lalai dan malas menjaga ibadahnya di akhir ramadhan, adalah ibarat orang yang menanam benih dan merawatnya, hingga tiba musim panem ia malah meninggalkan tanamannya”.

Mari kita korelasikan ayat diatas, dengan ayat lain  pada QS: Al-Furqan :23

Allah berfirman: “dan kami akan perlihatkan segala amalan yang mereka kerjakan, lalu kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.

Dibenak kita mungkin akan timbul pertanyaan, bukankah seluruh amal perbuatan itu akan diperlihatkan? Jawabannya iya, amal perbuatan akan dipelihatkan,  pertanyaan berikutnya muncul, tidak kah amalan itu akan dibalas, sekecil apapun amalan perbuatan tersebut? Jawabannya juga adalah pasti terbalas, dan Allah berlaku adil dan maha menepati janji, lalu mengapa pada beberapa ayat ini amalan manusia menjadi sia-sia, apakah tidak bertentangan, tentu ayat pada Al-Qur’an ini tidaklah saling bertentangan, tetapi ada beberapa faktor dan penyebab yang bisa merontokkan serta menggagalkan amal usaha yang dikerjakan oleh manusia itu, ibarat hama yang mengagalkan petani untuk memanen tanamannya, ibarat binatang perusak yang menggerus budidaya dan usaha petani.

Saya ingin mengajak anda untuk masuk pada kajian lebih dalam, di dalam  Al-Qur’an Surah Al-Kahfi : 103-105)

Allah berfirman: “Katakan Hai( Muhammad), apakah perlu kami memberitahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?”

(yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.

Mereka itu adalah orang yang mengingkari  ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari kiamat.”

Pada ayat 103 Allah menggunakan kalimat al-akhsar”, merupakan ” ismun tafdhil”  dari akar kata “khasira” yang artinya “rugi,” jadi “al-akhsar” artinya “paling merugi”, menurut pandangan Allah bahwa amal usaha yang dikerjakan manusia adalah “amalan paling merugi”.

Sedang ayat: 104 surah Al-Kahfi pada penutupan ayat tersebut, menggunakan kalimat ” yuhsinuuna“ dari kalimat “ahsana“ merupakan “ismun tafdhil” dari akar kata “hasuna-yahsunu” artinya “paling baik”.

Maksud pada ayat ini, bahwa perspektif manusia, amalan yang dikerjakan adalah “amalan paling baik”, tentu Allah yang maha menilai, maha mengetahui dan menentukan, dan penilaian Allah bahwa amalan manusia yangmereka kerjakan, adalah “amalan paling merugi”.

Faktor- faktor yang bisa membatalkan amal shalih dan ibadah yang dikerjakan”

  1. a. Riya’, adalah penyebab gugurnya amal shalih, Karena syarat diterimanya amal adalah ikhlas, menjaga niat adalah suatu keniscayaan, dan tentu hal ini tidak mudah, menjaga niat tidak hanya diawal perbuatan, tetapi pada saat mengerjakan ibadah atau amal shalih juga penting untuk menjaganya, terkadang sebelum beramal niat kita tulus, motivasinya penuh kesungguhan, terlaksananya penuh keikhlasan, tetapi pada saat sedang mengerjakan ibadah atau amal shalih niat bisa berubah, dengan tendensi yang berbeda-beda, dan motif yang bermacam-macam, mungkin pada saat mengerjakan ada orang yang kita hormati dan muliakan, sehingga niat berubah menjadi motif “pamer” dan dianggap “orang baik dan sholeh”.

b. Media sosial, juga bisa merubah niat, awalnya upload kegiatan, update status ingin untuk menjelaskan berbagai kegiatan “positif” terhadap sesama rekan di dunia maya, tetapi niat jika tidak terjaga bisa merubah dan merusak niat, yang awalnya adalah tulus dan ikhlas menjadi pamer dan pamrih, apalagi ditambah dengan komen pujian terhadap sesama rekan, contoh “Alhamdulilah hari ini sudah tercapai target membaca Al-Qur’an 1 juz” waduh.. update status ini gawat dan rawan, bisa siaga satu untuk menjaga niat, kalau tidak, bisa batal ibadah kita, contoh lain: “Alhamdulillah [sa2] di malam yang tenang ini baru selesai bermunajah kepadamu”, ini adalah update status yang perlu diantisipasi agar tidak terjebak kepada riya’, dan sum’ah, agar ketulusan dan kesucian niat tetap terjaga.

Kita juga tidak bisa menjustifikasi bagi mereka yang upload foto ibadah atau melakukan kebaikan serta mengupdate status dari ibadah yang mereka atau kita telah kerjakan melalui media maya, sebagai perbuatan riya’ dan pamer, dikarenakan wiayah ikhlas atau riya’, masuk pada ranah hati, Allah yang mengetahui hati dan jiwa manusia.

 c. Bekerja pada wilayah “pencitraan”, tentunya mereka yang bekerja dan beraktivitas dengan tendensi atau motif politik, lebih spesifik mereka yang punya obsesi politik jangka pendek, seperti pemilu dan pilkada, apapun dilakukan  dalam rangka menaikkan populeritas serta berdampak pada meningkatnya elektabilitas (tingkat penerimaan masyarakat untuk memilih), maksud saya agar pekerjaan dan aktivitas jangan lebih dominan dan kental pada wilayah politiknya, namun kurang pada nuangsa dan tujuan ibadahnya, memang benar ada hadist agar kita beramal dan berinfak secara tersembunyi (diibaratkan apa yang dilakukan tangan kanan, tangan kiri tidak mengetahuinya), namun dijumpai hadist yang lain Rasulullah menginformasikan amalan sahabat untuk memunculkan kompetisi kebaikan “fastabiqul khoirat”, tetapi yang lebih penting niatkan semua aktivitas amal shalih yang dilakukan untuk tujuan  beribadah dan berda’wah, agar tidak tergerus menuju kepada wilayah “kesia-siaan”.

Inilah maksud dari firman Allah “bekerja keras dengan penuh keletihan dan kelelahan tetapi tidak mendapatkan apa-apa, hilang tiada berbekas”.

  • a. Kesombongan, keangkuhan,ujub dan arogansi juga mampu merusak amal, contoh: seseorang dengan kedudukan sosial, sehingga apapun yang dikerjakan baik itu ibadah dan amal shalih dia merasa lebih tinggi dan mulia dibanding orang lain, yang muncul adalah kekagumannya terhadap diri sendiri, inilah “ujub”, meninggikan diri sendiri dan menjadikan nilai pekerjaannya lebih baik dibanding orang lain.(nudzu billah min dzalik).

b.  Senioritas dalam kedudukan dan jabatan juga demikian adanya, jika tidak menjaga ketulusan niat dan kebersihan hati, akan menyebabkan seseorang menjadi takabbur dan arogan, selalu merasa paling sempurna, ide dan gagasannya harus diterima, mendominasi orang lain, dan bisa terbersit dalam dirinya jika bukan karenanya maka pekerjaan itu tidak akan terlaksana dengan sempurna, superior dan segala sesuatunya harus dimulai dari dirinya, ini adalah perangkap “syetan” yang digunakakan untuk memainkan hati dan jiwa kita, tanpa sadar dia masuk dan mengkristal serta menginternalisasi dalam jiwa kita, dan hal itu adalah bukan saja merusak ibadah dan amal shalih, tetapi juga menghancurkan kebersihan jiwa manusia.

c. Hal yang lain juga adalah munculnya “pengakuan eksistensi”, merasa diri dan golongannya paling benar, dan apriori terhadap orang lain serta diluar dari golongannya, atau merasa paling shalih dibanding yang lain, saya (penulis) mengistilahkan “keshalihan yang berdampak pada kesombongan”, cukuplah Allah menjadi penilai dari amal shalih yang kita lakukan, dan beramalah kita dengan standar Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa harus memvonis amalan orang lain.

Dari Ibnu Mas’ud-semoga Allah meridhainya, Rasulullah bersabda:

 “Tidak akan masuk kedalam surga seseorang yang didalam hatinya ada kesombongan walau sebesar debu…..” (HS. Riwayat Muslim)

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

 “Sesungguhnya akan didatangkan seseorang yang berbadan besar dan gemuk pada hari kiamat, akan tetapi timbangannya disisi Allah tidaklah seberat sayap seekor lalat, Bacalah firman Allah: “dan kami tidak mengadakan pertimbangan dan penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat”. (Hadist Shohih Bukhori dan Muslim).

Mari kita jaga ibadah dan amal shalih , agar tidak dikategorikan “keletihan dan kepayahan tapi tidak berguna dan bermanfaat, bagaikan tertiup angin, hilang tiada berbekas”.

Allahu A’lamu bis-shawab.


 [sa1]

 [sa2]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here