Catatan PWI 2019: MOU Antara Kapolri dan Ketua Dewan Pers Disorot

Ketua PWI Pusat, Atal Sembiring Depari (baju putih) saat menyampaikan pandangannya tentang kekerasan terhadap wartawan. (Foto: PWI Pusat)

KAYANTARA.COM, TARAKAN-Terkait kekerasan terhadap wartawan, baik yang dilakukan oleh aparat negara, organisasi massa, maupun warga masyarakat, juga masih saja terjadi. Kekerasan tersebut tidak hanya berupa fisik seperti penganiayaan atau pemukulan, tetapi juga teror.

Demikian disampaikan Ketua PWI, Atal Sembiring Depari dalam pandangannya tentang kondisi wartawan sepanjang 2019Ia mencontohkan, seorang wartawan di Aceh rumahnya dibakar orang tak dikenal, sebagian kantor PWI Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, juga sempat dibakar, dan kantor redaksi sebuah harian di Bogor, Jawa Barat, diserbu simpatisan partai politik tertentu.

“Penegakan hukum terkait kasus yang melibatkan wartawan juga belum sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan MoU antara Kapolri dan Ketua Dewan Pers nomor 2/DP/MOU/2/2017-II-2017 yang ditandatangani pada 9 Februari 2017,” sebutnya.

Dalam pasal 15 ayat 2 huruf C UU Pers disebutkan, lanjut dia, Dewan Pers melaksanakan fungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Pertimbangan atas pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf C adalah yang berkaitan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dengan pelanggaran terhadap kode etik.

Dalam MoU Kapolri dan Ketua Dewan Pers di antaranya disebutkan, apabila ada dugaan terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan pemberitaan Pers maka penyelesaiannya mendahulukan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lain.

Di samping itu, kata dia, apabila Polri menerima laporan dan atau pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pemberitaan Pers dalam proses penyelidikan dan penyidik berkonsultasi dengan Dewan Pers. “Dalam prakteknya, penyelesaian sengketa pers tidak semuanya diproses sesuai UU Pers dan MoU tersebut,” ungkap dia.

Di sejumlah daerah, polisi sebagai penerima pengaduan masyarakat atas pemberitaan, langsung memproses menggunakan UU non Pers, misalnya UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP.

“Contoh adalah kasus yang terjadi pada Januari 2019. Koran Jawa Post dilaporkan pimpinan klub sepak bola di Surabaya atas dugaan fitnah dan pecemaran nama baik sebagaimana diatur pasal 310, 311 KUHP dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena membuat berita yang dianggap merugikannya,” jelasnya.

Selain itu, PWI mengimbau agar perusahaan pers tetap memperhatikan kesejahteraan wartawan. Meskipun secara bisnis hampir sebagian besar revenue industri pers dalam posisi menurun drastis, hak-hak karyawan (wartawan) sebagai pekerja secara normatif harus tetap dipenuhi.

“PWI akan terus meningkatkan profesionalisme wartawan anggotanya dengan pelatihan dan meningkatkan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan peraturan perundang-undangan yang terkait, serta pelatihan kompetensi teknis wartawan pada era konvergensi media,” demikian Atal. (*)

Reporter: Mansyur Adityo

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here