PT Adindo Janjikan Ganti Rugi Bertahap

DUDUK BERSAMA: Warga saat melakukan pertemuan dengan pihak manajemen PT Adindo Hutani Lestari. (Foto: Oktavianus/Kayantara.com)

KAYANTARA.COM, NUNUKAN – Setelah melalui proses negosiasi yang cukup panjang, akhirnya PT Adindo Hutani Lestari (PT AHL) mengakui kesalahannya dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat Tidung.

Sebelumnya, masyarakat adat Tidung mendesak PT Adindo yang merusak tanah ulayat yang dipenuhi tanam tumbuh mereka. Tuntutan itu disampaikan melalui unjuk rasa di lahan yang berada di Peda-Peda Desa Pembeliangan dan kantor PT Adindo Hutani Lestari Desa Pembeliangan, Nunukan, Kamis (27/2).

Negosiasi ganti rugi penguasaan lahan perkebunan antara masyarakat adat Tidung dengan PT Adindo Hutani Lestari (AHL) sempat ricuh. Pasalnya permasalahan yang sudah sejak 2005 silam belum ada penyelesaian hingga saat ini antara kedua belah pihak.

Sebelumnya, kedua belah pihak telah melakukan negosisasi namun belum menemukan titik temu besaran ganti rugi lahan tersebut.

Hal itu diungkapkan, Muhammad Sidik, perwakilan masyarakat adat Tidung yang juga pertama kali menggarap lahan tersebut, yang sebagiannya dikuasai oleh PT AHL.

“Tanam tumbuh milik warga yang tergabung dalam kelompok tani, merasa dirugikan akibat ulah PT Adindo. Seperti kelapa sawit yang tumbuh di atas lahan yang menjadi sengketa saat ini, diurus oleh perusahaan,” katanya.

Karena itu, masyarakat adat Tidung, lanjut Sidik, menuntut agar tanaman yang digusur PT AHL ini diganti rugi. Hanya saja, kesepakatan belum jelas meskipun telah berlangsung sejak puluhan tahun.

Mediasi bahkan pernah dilakukan melalui kepolisian maupun secara langsung, namun tidak direalisasikan.
Sehingga, kami masyarakat adat Tidung turun dengan massa puluhan orang untuk bernegosiasi dengan mengharapkan keadilan atas hak-haknya.

“Saya ada bukti-bukti kepemilikan lahan yang sebagian telah dikuasai PT Adindo dan sejumlah dokumen tuntutan saya tidak pernah terselesaikan,” tegas Sidik.

Bahkan, Sidik mengungkapkan, warga sempat mendapatkan perlakukan yang tidak enak dari PT AHL saat melakukan unjuk rasa di kantor PT AHL.

“Ditelanjangi dan dicambuk bahkan dikasih makan daun akasia,” ungkap Sidik.

Ketua DPP Lembaga Kepemudaan Adat Tidung, Kaltara, Ridwansyah saat pertemuan dengan PT AHL mengemukakan, sejumlah pertemuan penyelesaian kasus lahan memang seringkali dilakukan. Namun harapan masyarakat adat tidak dipenuhi PT AHL.

Ridwansyah berharap, keinginan masyarakat adat dapat dipenuhi oleh perusahaan, yaitu memberikan ganti rugi yang sepadan atas tumbuh tanam yang digusur.

Sementara, Uteng Nurhayat, Manager Social Security Legal dan Lisensi PT Adindo Hutani Lestari (AHL) menegaskan berkomitmen menyelesaikan dengan baik kasus itu.

Dimana PT Adindo bersedia memberikan ganti rugi terhadap tanaman masyarakat adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Kabupaten Nunukan.

“Keberadaan saya di sini menangani langsung negosiasi dengan masyarakat adat Tidung sebagai sebuah komitmen menyelesaikan kisruh yang telah berlangsung sebelum menjabat. Kami datang menemui dan bertatap muka dengan masyarakat adat untuk memberikan solusi,” kata Uteng Nurhayat.

Namun katanya, pertemuan untuk negosiasi pada malam harinya di kantor PT Adindo di Sebakis Desa Pembeliangan sempat terjadi ketegangan dimana perwakilan masyarakat adat tidak menerima besaran ganti rugi.

Dari pantauan media ini, saat melakukan pertemuan di Kantor PT AHL itu, saat itu masyarakat adat memukul meja dan meninggalkan ruang pertemuan karena merasa tidak puas atas penawaran ganti rugi dari perusahaan dan akan menduduki kantor PT AHL.

Bahkan, masyarakat adat Tidung sempat mengacungkan parang panjang jenis mandau di depan kantor perusahaan itu.

Seperti diketahui, dari masyarakat adat Tidung mengakui jika luas lahan yang dituntut adalah 492 hektare dari hasil pengukuran kedua belah pihak disaksikan aparat kepolisian.

Berdasarkan informasi terakhir, PT Adindo Hutani Lestari bersedia membayar ganti rugi pada lahan seluas 42 hektare. Sisanya seluas 450 hektare, perusahaan bersedia membayar ganti rugi atas tanam tumbuh dalam jangka waktu paling cepat dua bulan.

Berdasarkan data dari Kelompok Tani Peda-Peda mulai menanam sejumlah jenis tanaman sejak 2015 pada lahan seluas 450 hektare tersebut.

Adapun berita acara kesepakatan pihak PT AHL dengan masyarakat adat Tidung yang ditandatangani kedua belah pihak bersama saksi dari kepolisian dan KPH.

  1. Penyelesaian untuk areal 13.4 hektare dan 29 hektare yang totalnya 42 hektare akan diganti rugi sesuai standarisasi ganti rugi tanama tumbuh Pemda Kabupaten Nunukan (tanam tumbuh kelapa sawit) dengan perhitungan 42 hektare x 135 pokok (1 hektare) x Rp. 200.000 = Rp. 1.134.000.000
  2. Total keseluruhan areal yang diklaim 492 hektare dikurangi 492 hektare – 42 hektare = 450 hektare (sisa). Dengan penyelesaian kedepan dua opsi jalur hukum atau secara kekeluargaan.
  3. Untuk penyelesaian kasus lama pada tahun 2007 akan dibuktikan dengan foto citra landsat agar pihak PT AHL dan claimer bersama-sama mengetahui apakah ada tanaman sawit sejak tahun 2007.
  4. Penambahan biaya ganti rugi tanam tumbuh untuk tumbuhan buah lainnya sebersar Rp. 91.500.000 + Rp. 1.134.000.000 = Rp. 1.225.500.000.
  5. Setelah poin 1 dan poin 4 direalisasikan, maka petani atau claimer bersedia meninggalkan areal tersebut dan tidak ada tuntutan di objek yang sama. (*)

Reporter: Oktavianus
Editor: Mariani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here