Catatan: H. Rachmat Rolau
(Ketua DK-PWI Kaltara)
SEORANG kawan mengirim foto via WhatsApp. Sudah lama sekali. Tapi saya masih ingat. Dua hewan yang berbeda berlari kencang: Singa dan Kijang. Di masing-masing hewan itu ada caption tentang kecepatan berlari.Ternyata, kecepatan berlari seekor Kijang adalah, 70 km/jam. Singa hanya 58 km/jam. Cukup jauh bedanya.
Awalnya saya tidak percaya. Sebab, kalau benar kecepatan berlari seekor Kijang 70 km per jam, lantas mengpa Singa begitu mudahnya mengejar dan memangsa Kijang? Di bawah gambar kedua binatang itu, ada penjelasan lagi yang menurut saya masuk akal.
Begini: meski larinya lebih cepat, Kijang punya kebiasaan buruk. Ia selalu menoleh ke belakang untuk melihat Singa yang mengejarnya. Tidak hanya itu. Kijang selalu berlari dengan cara memutar (zig-zag). Dua kebiasaan buruk ini tentu saja menguntungkan Singa yang larinya lebih fokus pada mangsa.
Pertanyaannya, mengapa Kijang selalu menoleh ke belakang? Jawabnya, Kijang ingin tahu seberapa jauh ia sudah meninggalkan Singa. Padahal, bukannya makin jauh. Justru makin dekat. Manuver Kijang ini konyol. Andai fokus berlari, Singa tidak mungkin mampu mengejar dan memangsanya.
Kawan saya memang tidak menjelaskan makna di balik perbandingan kecepatan berlari kedua hewan tadi. Nah, ketika wabah penyakit menular bernama Covid 19 meledak, tiba-tiba saja saya teringat dengan perilaku kedua hewan itu: Singa saya ibaratkan sebagai Covid. Lalu Kijang saya tamsilkan sebagai manusia.
Singa mengejar untuk memangsa Kijang. Covid 19 mengejar untuk membunuh manusia. Ini sekadar perumpamaan. Oleh pembaca, (mungkin) menilainya sebagai peng-andai-andaian ekstrem yang menakutkan.
Tetapi sesungguhnya tidak ekstrem. Tidak menakutkan. Ini contoh kasus. Tentang perilaku manusia yang tidak serius menghadapi setiap ancaman. Covid 19 itu ancaman. Covid itu predator bagi mereka yang bermain-main dengan aturan. Yang abai terhadap protokol kesehatan.
Di antara puluhan ekor Kijang dalam satu kelompok, Singa hanya memburu dan memangsa satu ekor saja. Dan yang dimangsa tidak lain adalah Kijang yang abai terhadap ancaman. Masih bermain-main ketika melihat Singa sedang mengintainya. Ini fakta. Bahwa setiap hewan yang waspada, tidak akan pernah menjadi mangsa predator. Manusia yang waspada dan selalu mengikuti aturan protokol kesehatan Insya Allah selamat.
Agar tema tulisan ini terkorelasi benar dengan persoalan Covid19, saya lalu menghubungi Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tarakan, DR HM Asbi, Sp.PD, via telepon. Saya minta penjelasan. Mulai dari tantangan, sampai pada pelayanan covid itu sendiri.
Hasbi mengakui, angka penderita Covid19 belakangan ini cenderung naik. Persoalannya, ada di masyarakat. Mereka tidak disiplin dalam upaya mencegah penularan. “Ini yang membuat dokter dan paramedis sangat prihatin. “Masih banyak warga yang suka berkerumun. Berkumpul di tempat-tempat tertentu. Tidak pakai masker, tidak jaga jarak. Ini berbahaya,” tegasnya.
Tentang kesembuhan pasien covid, menurut Hasbi, secara persentase, tingkat kesembuhannya memang jauh lebih besar. Tetapi bukan hanya itu harapannya. Yang diharapkan justru bagaimana agar tidak ada lagi pasien covid di bawa ke rumah sakit. Atau setidaknya makin berkurang.
Sebab, kalau pasien covid makin banyak, pada akhirnya ruang tempat perawatan bakal penuh. Jika ini terjadi, dokter rumah sakit bisa saja menolak. Ini tidak baik. Lalu, satu-satunya cara diisolasi mandiri. Di rumah. Langkah ini pun kadang tidak efektif. Penderita tetap ke luar rumah. Dan itu malah mempercepat menularan bagi yang lain.
“Berbagai upaya sudah kami lakukan. Imbauan untuk tetap menggunakan masker, dan jaga jarak. Bagi pasien yang dirawat, pihak rumah sakit berupaya membuat mereka senyaman mungkin. Ada televisi sebagai hiburan. Makanannya juga bergizi,” ungkapnya menjawab stigma negatif dari masyarakat yang menganggap pelayanan rumah sakit tidak standar. Ternyata, dalam waktu tertentu, rumah sakit menyediakan dokter (psikiater) untuk memantau perkembangan mental si pasien covid. DR Frenky Sintoro, Sp.A yang juga Ketua Komisi Medis RSUD Tarakan, menambahkan, untuk ruangan bayi yang sehat tidak ada masalah. Yang paling repot jika ada banyi yang tertular. Sebab mereka harus disediakan ruangan khusus.
Frenky juga mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi meningkatnya jumlah penderita. Untuk ini, dibutuhkan tambahan ruang perawatan agar pasien dapat dirawat di tempat yang layak dan nyaman. (**)