Kultum Ramadan: Berhenti Sejenak

Oleh: Syamsuddin Arfah

TANPA terasa perjalanan kita sudah jauh melangkah, meninggalkan titik star awal dari kehidupan. Letih dan lelah terpancar dari wajah, jenuh dan bosan tergambar dari ekspresi muka, laksana musafir dilanda kelaparan dan kehausan, pandangan mata menipu diri, tampak didepan laksana genangan air, ketika dihampiri ternyata gumpalan pasir, itulah fatamorgana kehidupan, bagaikan meminum air dilautan untuk mengusir dahaga ternyata haus tak kunjung hilang, malah menambah haus dan dahaga yang lain.

Sungguh kehidupan ini mempesona diri, tampil bak seorang wanita berdandan cantik memukau pandangan seorang bujang lapuk, menyilaukan membuat lupa diri dan lupa daratan. Bagai seorang politisi ambisi kedudukan, ketika sudah tercapai syahwat kedudukan, ingin  diraih jabatan yang lebih tinggi lagi, sungguh ambisi berbentuk “syahwat kekuasaan” bagaikan pedang bermata dua pada saat tertentu membunuh tuannya, lelah rasa mengejar dunia, ambisi mencapai ke puncak ubun-ubun, sehingga kebijaksanaan akal berpikir, menutup jernihnya kesucian hati, Nabi yang mulia menggambarkan melalui pesannya, ada “nukhthatun sauda’u”, bintik dan noda hitam menutupi bersihnya hati dan jiwa. (HR.Muslim)

Bagaikan cinta buta seorang laki-laki takut ditinggal pergi belaian hati, cemburu buta menjadi benteng diri untuk mempertahankan sang kekasih, Dunia ini membuat sesak diri menumpuk harta dan kekayaan, sehingga segala cara dihalalkan, terkadang kepala dijadikan kaki, dan kaki dijadikan kepala, sikut kanan dan kiri, bahkan teori menjilat atas dan menginjak bawah, yang penting “bos besar selalu oke”, untuk mendapatkan yang dicari. Lalu apakah kepuasan yang akan didapatkan ketika semua telah diraih?, sungguh ironi, bak pungguk merindukan bulan, seakan ingin untuk memeluk gunung apalah daya tangan tak samapai, hati yang sejatinya menjadi cermin diri, terkadang berpungsi sebagai pelita membawah secercah cahaya penerang, disaat sekeliling diliputi kegelapan, cermin yang harusnya bersih itu terkotori, diliputi kabut menutupi pandangan hati, secercah cahaya sebagai pelita penerang tidak berfungsi, karena ada badai dan hujan yang menutupi cahaya.

Sahabat yang beriman, inilah Ramadan datang menghampiri diri, menjalaninya tanpa terasa yang tersisa hanya tertinggal sepertiga bulan, Ramadan datang mengarahkan obsesi diri, dari obsesi seseorang terhadap dunia yang akut, kepada obsesi ukhrowi yang abadi, Allah berfirman: “Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS: Al-A’la :17). Reorientasi diri adalah salah satu tujuan dari Ramadan, agar dunia tidak dijadikan obsesi abadi yang bersemayam dalam hati, Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita yang beriman agar tidak terbuai dengan rayuan dan gombalan dunia: “…..Ya Allah janganlah engkau menjadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar buat kami, dan juga jangan engkau menjadikannya sebagai puncak dari pengetahuan kami….”.(HR. Tirmidzi dan Hakim)

Oleh karenanya bahasa dalam Al-Qur’an untuk mengilustrasikan “kenikmatan dunia”, Allah tidak menyebut dan membahasakan dengan kata “ni’mat”, tetapi menggunakan penyebutan “mata’u”, mata’ itu adalah arti dari :”maa yatamatta’u bihil insaanu tsumma yazulu qalilan-qalilan, (mata’ adalah sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan hilang).contoh: cantik dan tampan, jika ini menjadi orientasi diri maka dipastikan kecantikan dan ketampanan tidaklah langgeng, dia perlahan tapi pasti akan sirna ditelan waktu dan masa, kecantikan dan ketampanan akan redup ditutupi dengan usia yang menua, umur juga demikian, dipastikan jika manusia panjang umurnya dibatasi dengan usia tua lalu mati, tapi tidak sedikit yang mati pada usia muda, jabatan dan kedudukan, jabatan dan kedudukan juga dibatasi waktu, bahasa kita adalah periode dan masa jabatan, tidak ada yang berkuasa sepanjang kehidupannya, jabatan dan kedudukan dinamikanya selalu berganti, hari ini seseorang menjadi terhormat dan mulia, esok harinya menjadi rakyat biasa, hari ini dia memimpin esok lusa dia dipimpin, Umar Ibnu Khattab memberikan pesan kepada kita pada saat dia dilantik menjadi Khalifah, dengan ucapannya” Jangan sampai dengan jabatan ini aku menjadi mulia dihadapan manusia, tetapi menjadi hina dihadapan Allah”. Itulah virus jabatan membuat seseorang terombang-ambing, hilang kemudi dan lupa tujuan, Rasulullah memukul mundur ambisi sahabatnya yang bernama Abu Dzar, dengan sabda beliau: ”Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah lemah, sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jika engkau (tidak bisa menjalankan) amanah itu, maka pada hari kiamat engkau akan menyesal”.(HR. Muslim ). Harta dan kekayaan, teorinya ini sangat sederhana, kalau lah juga harta dan kekayaan berada dalam genggaman, maka seberapapun kuatnya menggengam harta dan kekayaan, hanya ada dua pilihan, harta dan kekayaan bisa meninggalkan seseorang yang menggengamnya dengan erat, menjadikan orang tersebut bangkrut, atau dia yang meninggalkan harta dan kekayaan itu dan yang menjadi pemisahnya adalah ajal.

Maka tak heran, mengapa Al-Qur’an yang bagi sipembacanya membuat hati jadi lembut dan kulit bisa jadi halus, malah kita yang membacanya tidak merasakan apa-apa, tilawah Al-Qur’an menjadi gersang, bahkan hati menjadi kering.  Oo itu karena ketamakan dan kerakusan datang membungkus hati. Dzikrullah yang harusnya membuat ketenangan dan kedamaian hati, tetapi dzikrullah sebagai interaksi hati kepada sang pencipta tertutupi [sa1] dengan tirai su’udzhon (buruk sangka) kepada saudara sendiri, padahal Al-Quran menjembatani hati dengan prediksi serta prasangka melaui wasilah” tabayyun” (klarifikasi), untuk memotong beredarnya fitnah kejam (Al-Qur’an membahasakannya: bagaikan memakan bangkai saudara sendiri). Qiyamulail yang dilakukan seyogyanya membuat pribadi lebih tawadhu’, menjadi hanyut dan larut dibawah derasnya penyakit iri dan dengki terhadap kawan sendiri, Shalat yang ditunaikan apalagi dengan berjamaah jika dibungkus dengan kekhusyuan pasti memberikan dampak “tercegahnya seorang dari perbuatan keji dan mungkar”, lalu dimana shalatnya yang ditunaikan dengan berjama’aah?, ternyata shalatnya hilang tergerus dengan ketidak khusyuan, lalu apa yang menyebabkan tidak khusyu’, menurut dosen saya (penulis) Prof, Ahmad Tafsir itu bisa dikarenakan ada dosa yang mengiringi diri, ada keangkuhan dan arogansi yang menemani jiwa.

Sahabat yang beriman, disepuluh hari terakhir dibulan Ramadan, syariat yang sangat dianjurkan adalah I’tikaf, saya tidak mengulas I’tikaf dari perspektif bahasa dan istilah, tetapi saya ingin mengarahkannya dari aspek filosofi dan esensi, mengapa I’tikaf ini harus ada dalam perjalanan diri, karena perjalanan panjang yang dilewati selama satu tahun, menuntut diri ini untuk “berhenti sejenak”, keletihan dan kelelahan dalam perjalanan mengisyaratkan untuk istirahat sejenak. Berhentilah sejenak wahai saudaraku dari hiruk pikuk dunia, istirahatlah sejenak wahai saudaraku untuk mengambil napas baru serta mengembalikan dan mensatabilkan energy dan stamina diri, ibarat pendaki gunung, ketika satu rute terlewati butuh berhenti sejenak, untuk masuk pada rute yang baru.

I’tikaf itu menjadi kebutuhan jiwa, dikarenakan ada dua esensi: 1. Menstabilkan diri dan menyeimbankan raga dari jiwa, orang yang tidak seimbang jiwanya, pasti tidak stabil dirinya, karena ada factor yang lebih dominan yang mendominasi jiwanya, ketika kita mendalami wahyu Allah yang pertama kali turun, QS: Al-Alaq: 1, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan”, Bacalah ma’nanya adalah ilmu, dan ilmu adalah komsumsi buat akal manusia, Dengan nama Tuhanmu, ma’nanya adalah dzikir, dzikir itu adalah komsumsi buat hati dan jiwa, Yang menciptakan, itu adalah makanan dan juga olahraga dll, yang dibutuhkan sebagai komsumsi fisik, wahyu Ilahi ini sangat luar biasa, satu ayat saja menyentuh aspek vital dan signifikan pada diri manusia, ayat ini menyentuh aspek vital pada intelektual, spiritual serta fisik manusia, inilah firman Allah, I’tikaf (berhenti sejenak), memberikan artikulasi sebagai kontemplasi diri, memetakan perjalanan manusia, dan juga sebagai bentuk introfeksi diri.

Esensi kedua, dari I’tikaf adalah: memberikan energy baru, menstabilkan jiwa dari kegersangan hati serta mencharger ruh baru pada diri seseorang “Ar-ruhul jadid fi jasadil afrad”. Akan muncul semangat iman yang baru, bahka keimanan yang lebih dari yang lalu, itulah iman yang bersemayam dalam hati, membuat pribadi seseorang selalu takut kepada penciptanya, Allah berfirman: ”Belumkah tiba datang masanya kepada orang yang beriman,  agar hati mereka takut kepada Allah dengan dzikrullah…..”. (QS: Al-Hadid: 16). 

Sahabat yang beriman, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan ini, mari kita optimalkan ibadah, berusaha memperoleh lailatul qadar, dan tidak terlewati untuk I’tikaf (berhenti sejenak). Sehingga lahirlah pribadi baru, iman yang baru, stamina dan energj iwa yang lebih kuat, serta fitrah yang lebih bersih.

Allahu a’lamu bis-shawab.


 [sa1]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here